🎹21🎹

2.8K 230 31
                                    

Entah mengapa aku masih berdiri di sini, di depan pintu kamar suamiku. Seharusnya aku tak terlalu curiga pada Mas Lala, lagipula pembicaraan itu terdengar seperti biasa saja, mungkin ia membahas masalah pekerjaan. Aku putuskan untuk berjalan ke dapur dan minum air hangat.

Setelahnya, kembali berjalan menuju kamar. Aku harus tenang sebelum berpapasan, karena rasa cemburuku yang keterlaluan. Saat aku akan membuka pintu, pintu terbuka dan menunjukkan sosok suamiku yang menatap dengan terkejut.

"Yu, kapan kamu pulang?" tanyanya, masih menatapku dengan kedua alisnya yang bertaut.

"Barusan Mas. Aku  mandi dulu ya, Mas mau makan apa? Biar aku masak nanti."

"Jangan masak, enggak usah masak, kamu kecapekan nanti. Aku pesan makanan, mandi dulu sana. Nanti kalau udah kita makan bareng." Mas Lala mengecup keningku, lalu berjalan meninggalkanku menuju ruang makan.

Segera kubersihkan diri, mengganti pakaian lalu segera berjalan keluar menghampiri Mas Lala. Ia sudah siap di meja makan, sudah ada makan malam di sana, dua porsi nasi goreng. Aku duduk di kursi yang tepat berada di sampingnya. Biasanya kami saling berhadapan, sepertinya tadi ia sengaja menggeser posisi kursi. Kududukan bokongku di sana kemudian menatap ke arah Mas Lala yang masih saja tersenyum.

Malam ini kami makan dan tak banyak bicara. Karena sejujurnya aku juga lelah sekali hari ini setelah memikirkan tentang tugas yang diberikan oleh suamiku itu. Dan masalah juga sepertinya mengerti Kalau aku sangat lelah hari ini. Meskipun begitu setelah makan nanti, aku tetap harus mengerjakan tugas. Karena waktunya yang sangat terbatas, dan aku tak boleh menunda lagi.

Setelah makan malam aku mengambil tas, laptop, kemudian membawanya ke ruang tengah. Di sana masalah tengah menonton televisi. Aku duduk di karpet, kemudian menata semua perlengkapan di atas meja. Lalu kau keluarkan semua buku yang tadi telah ku tandai dan harus aku ketik hari ini.

"Memangnya kamu sama Kana ngambil tema apa?" Ia bertanya tanpa menatap ke arahku dan sibuk dengan televisi di hadapannya.

"Aku ngambil tema musik death metal. Sama perkembangannya di Norwegia tapi lebih fokus sama grup band yang vokalisnya namanya Ohlin itu."

"Ah, Mayhem?"

Aku menganggukan kepala cukup terkejut juga karena ternyata mas Lala tahu tentang band itu.  "Masih masuk ke dalam materi pelajaran kan?'

Suamiku tak menjawab, ia malah melihat buku-buku yang ia berikan kepadaku tadi. "Masih masuk kok. Di kelas kita kan juga ada pelajaran aliran musik lain selain musik klasik. Musik era 40an, 70an, 60an dan 80an. Sebenarnya kalau mau dikategorikan musik-musik tema kayak gini nggak masuk di musik klasik. Tapi kelas kita Emang membahas semua genre. Tapi untuk kelasnya diberi nama musik klasik supaya lebih enak didengar aja."

Aku mendengarkan saat dia menjelaskan semua hal mengenai kelasnya. Jujur saja aku tak tahu mas Lala punya beberapa sisi dalam dirinya, tetapi rasanya ia memiliki banyak sisi yang tidak aku ketahui. Seperti kawin yang diputar kemudian ditutup oleh tangan, tidak ada yang tahu reaksi dan sisi mana yang akan ia tunjukkan kepadaku.

"Kenapa kamu ngeliatin aku kayak gitu?" Ia bertanya.

"Kadang aku heran aja. Kenapa Mas Lala seolah punya sisi yang beda-beda."

"Sisi berbeda yang seperti apa?" Ia kemudian mendekat, membelai lembut rambutku dan kami saling menatap dengan intens.

"Nggak tahu, cuman aku ngerasa aja kalau kamu itu punya sisi yang nggak aku ketahui. Satu persatu terbuka, setiap kali kamu mau menunjukkan sisi diri kamu ke aku."

"Itu cuma bentuk reaksi aku aja. Hmm? Bukan berarti aku bersikap berbeda ke kamu." Ia mengecup lembut bibirku, lalu melepaskan, dan menatap. "Ini sisi dominan, aku suka kegiatan seperti ini Yu. buat emosi aku lebih baik." Iya mengatakan itu dengan tatapan yang tak bisa membuatku berpaling. Seseorang Ada tarikan dari tatapan, sentuhan dan segalanya mendominasi. Benar itu sisi dominan,  sulit sekali ditolak.

"Ekhm! Aku harus ngerjain Tugas mas." Segera kupalingkan wajah karena jika terus seperti ini aku akan tergoda kemudian takluk pada dominasinya.

Mas Lala kemudian berpindah duduk di sampingku tubuh kami benar-benar menempel. Aku melirik, dan ia tersenyum. "Kamu ngerjain tugas biar aku duduk dan ngeliatin kamu."

Di tentu saja apa yang dikatakan olehnya membuatku segera menoleh. Aku membelai wajah suamiku itu, perlahan ku kecup bibir tipisnya. Segera kulepaskan, hanya saja Mas Lala kembali mencium, melumat, ingin dapatkan lebih dari sekedar kecupan manis.

Kami berdua adu tatap, sudah berulang kali dan jantungku selalu tak terbiasa dengan kegiatan kami.  Tatapan matanya seolah mengajak, inginkan aku.  Meski dalam hati benar-benar tak tau, apa ia inginkan aku sepenuh hati atau hanya sekedar perkara kebutuhan seksualnya saja. 

"Hukumannya, inget kan?" Ia bertanya dengan napas tersengal-sengal.

Aku mengangguk pasrah, senyum asimetris terlihay, ia kecup bibirku lagi dan buka pakaianku terburu-buru. Setelah semua benang di tubuhku tanggal tak menyisakan apapun. Kini aku membantunya membuka pakaian, hingga kami sama. Aku bisa dengar suara merdunya merayu, bibir nya mengecup, dan aroma tubuh Mas Lala yang maskulin.

Bergerak menggesekkan bagian bawah tubuh hingga aku desahkan namanya berkali-kali. Ia juga sama suaranya menajdi berat dan sensual, jemarinya mengusap bibirku, lalu memaksaku menghisap, manis. Tubuhnya mendekati telinga, ia kecup di sana, ini geli, semakin membuat gemelitik dan basah.

"Kamu punya aku," ucapnya dan aku hanya bisa anggukan kepala perlahan sambil terus mendesah.

Semakin malam semakin gila, kucengkram bahu Mas Lala ketika tiba pada klimaksnya. Ia merubah posisi, aku bisa melihat proporsi tubuhnya. Mungkin tak sempurna, tapi luar biasa. Ku sebut namanya, terus menerus, memohon agar ia tak berhenti. Tapi, Mas Lala berhenti sambil tersenyum.

"Mas!" seruku kesal. Aku nyaris sampai pada klimaks, dan dengan kurang ajarnya ia mengehentikan pergerakan.

"Sebel ya?"

Aku duduk, dan berniat mengambil pakaian. Sebelum ia menahan dengan memegangi tanganku. "Aku masih mau coba masukin, punya aku ke sini." Katanya sambil menunjuk organ intimku. "Kalau masih sulit, lusa kita ke rumah Konsul."

Aku mengangguk rasanya, bagian itu sudah cukup basah dan siap. Mas Lala mencoba, dan aku sekuat tenaga menahan rasa sakit yang masih sama. Air mataku menetes, meski tak aku minta ia hentikan kegiatannya. Mas Lala tau aku kesakitan, dan ia memutuskan untuk menghentikan. Ia lalu usai wajahku dan kecup pipiku.

"Masih susah, aku juga sakit ngelakuin ini."

"Maafin aku Mas," ucapku kemudian duduk dan menutupi tubuh dengan pakaian yang berserak.

Ia memelukku, "no need sorry sayang. Jangan ngerasa bersalah, oke? Hmm?"

Aku bisa melihatnya kecewa lagi, dan aku juga tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ah, Ayu kenapa sih?

Si Gembil Kesayangan Pak Dosen // [MYG/BTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang