🎹7. Ke apartemen 🎹

3.3K 304 40
                                    

Malam hari aku terbangun dan bisa merasakan mataku yang bengkak karena menangis seharian tadi. Tatapanku mengedarkan kemudian melihat Mas Lala yang tertidur di sofa. Jadi terharu juga rasanya karena ditemani seperti ini. Aku memegang kening yang terasa dingin, sebuah plester demam menempel. Hari ini sepertinya aku demam lagi karena terlalu larut dalam perasaan sedihku sendiri.

Kuambil bantal dan selimut, lalu berjalan mendekati Mas Lala. Aku menyelimuti tubuhnya. Setelahnya Aku kembali menuju tempat tidur kembali untuk mengistirahatkan diri setelah cukup lama menangis tadi. Rasanya masih sangat mengantuk.

Pagi kemudian datang saat sinar matahari masuk melalui celah-celah jendela. Kembali terbangun segera kutatap ke sofa dan Mas Lala tak ada lagi di sana. Aku bergegas mandi kemudian berjalan turun ke bawah. Pagi ini berniat membantu menyiapkan sarapan. Hanya saja sepertinya terlambat karena semua sarapan sudah tersaji di atas meja.

"Ayo sini makan sama-sama," kata Nenek Ratih.

Aku segera melangkahkan kaki turun. Di meja makan sudah ada Om Jun dan juga Mas Gula.  Hanya saja tak ada istri kedua dari Om Jun di sana. Mas Gula tak banyak bicara, hari ini ia hanya diam di meja makan seraya menatap ponsel miliknya.

"Hari ini kamu harus ikut Gula ke apartemennya." Nenek Ratih berkata kepadaku dan tentu saja itu membuat terkejut.

"Apartemen?" tanyaku.  Jujur saja aku berpikir kami  akan tinggal di sini.

"Iya, Gula punya apartemen sendiri. Selama ini memang dia tinggal di sana, hanya sesekali aja main ke sini." Nenek Ratih memberitahu lagi.

Aku menatap cara suamiku yang hanya diam dan kini tengah menyantap roti panggang miliknya. Bingung juga kenapa ia tak mengatakan itu kemarin? Bukankah seharusnya Mas Gula bilang, kalau ia punya apartemen dan mungkin saja kami akan tinggal bersama di sana?

"Karena Ayu mau kuliah jadi harus tinggal di apartemen supaya lebih dekat nanti berangkat ke kampus." Om Jun mencoba menjelaskan karena sepertinya ia tahu kalau aku sangat terkejut dengan apa yang dikatakan oleh nenek tadi.

"Kalian nggak usah buru-buru kalau nggak mau punya anak—"

"Uhukk!" Aku tersedak minuman, saat nenek Ratih tiba-tiba mengatakan hal itu.

Mas Gula menepuk-nepuk punggungku. "Kamu hati-hati dong kalau minum."

"Nggak usah terlalu kaget Ayu. Kalian kan suami istri sudah pasti ada rencana mau punya anak. Paling enggak sekarang kalian pengenalan dulu satu sama lain. Kalau Ayu mau kuliah berarti memang harus ditunda dulu rencana punya anak. Dua atau tiga tahun. setelah kuliah selesai, baru kalian bisa menikmati hari-hari dan merencanakan untuk punya momongan." Ratih berkata lagi.

Aku terdiam, sebenarnya pembicaraan hari ini benar-benar di luar prediksiku. Aku sudah terkejut ketika nenek mengatakan perihal apartemen. Dan kini nenek membahas lagi masalah mempunyai momongan? Aku benar-benar tambah memikirkan semua masalah itu ketika setuju untuk menikah dengan Mas Gula.

"Sepertinya pembahasan seperti itu nggak usah kita bahas sekarang deh Nek." Mas Lala coba untuk alihkan pembicaraan.

"Oke, kalau gitu kalian bebas membicarakan ini di apartemen kamu nanti." Nenek Ratih kemudian menghentikan pembicaraan dan fokus pada sarapan pagi ini.

Dan setelah sarapan benar saja Mas Lala mengajakku untuk apartemennya. Suamiku itu kini duduk di kursi menatapku yang tengah merapikan tas yang kuisi dengan bawaanku dari rumah.

"Kamu nggak usah terlalu mikirin apa yang diomongin sama nenek," katanya.

"Jujur aku kaget sih Mas. Soalnya sama sekali nggak mikirin masalah itu ketika aku setuju sama pernikahan kita."

Mas Lala mengangguk. "Dan aku juga nggak tahu kalau akan ada pembahasan seperti itu di meja makan tadi."

"Jadi sekarang aku tinggal di rumah sama kamu Mas?" Aku bertanya lagi mencoba untuk meyakinkan diri.

"Nggak berpikiran akan tinggal di sini selamanya kan? Dengan status kamu yang sudah jadi istri aku?" tanyanya dingin.

Aku mengangguk, jujur saja seringkali Aku bingung dengan sikap Mas Lala. Dirinya acap kali terlihat begitu hangat dan perhatian, tetapi bisa saja tiba-tiba menjadi orang yang dingin dan ketus seperti ini.  Kepribadian Mas Lala benar-benar sulit untuk ditebak.

Lalu kami berjalan keluar berpamitan pada nenek dan Om Jun.  Om Jun mengatakan kalau istrinya saat ini tengah pulang ke rumah orang tuanya jadi tak ada di rumah.

Mobil sedan hitam milik Mas Lala melaju. Siang ini perjalanan berlangsung dengan cukup lancar. Aku bisa melihat ibukota dengan jelas, tak seperti malam ketika aku datang. Tapi aku merasa malam itu semua terlihat jauh lebih indah daripada siang ini. Mobil kemudian berhenti di sebuah gedung tinggi. Jadi ini yang namanya apartemen? Aku memang sering mendengar, tapi sama sekali tak pernah datang baru kali ini aku injakan kaki.

Kami naik hingga ke lantai 9, lalu berjalan menuju kamar nomor 3. Setelahnya segera masuk ke dalam. Ruangan itu terlihat cukup luas didominasi dengan warna putih. Masuk ke dalam bisa terlihat dengan jelas ruang makan, lalu di sisi kirinya ruang tengah dengan sebuah TV layar besar sebuah sofa berwarna putih besar berbentuk L, di sebelah ruang makan Ada dapur terlihat kecil tapi sangat manis.

Lalu kami berjalan masuk melewati ruang tengah. Di sisi kanan ada sebuah kamar. Mas Lala lalu membuka  pintu kamar. Kamar itu terlihat cukup besar sebuah kasur berukuran King size berada di tengah. Dan jelas itu adalah kamar Mas Lala.

"Kamar aku di mana Mas?" Aku bertanya karena tak mungkin karena aku tidur di sini?

Masalah menggerakkan kepalanya ke arah kamar. "Kamu tidur di sini."

"Aku?" tanyaku lagi.

Mas Lala anggukan kepala. "iya, kita kan udah menikah jadi apa salahnya tidur bareng-bareng?"

Aku telan saliva mendengar apa yang dikatakan oleh Mas Lala barusan.  Bagaimana bisa ia dengan mudahnya mengatakan tidur bersama seperti itu?

"Mas, tunggu." Aku masih mencoba mencerna situasi apa yang terjadi saat ini.

"Apa?" tanyanya.

"Kita ini baru kenal loh." Aku mencoba menekankan. Ya memang kami sudah kenal lama, tapi kan sebelumnya kami memang tak terlalu dekat untuk bisa  langsung menjadi sepasang suami istri yang akrab seperti ini kan?

"Tapi kita udah nikah."

"Iya, memang," jawabku.

"Terus?" Ia bertanya lagi.

Situasi ini benar-benar membuat kami merasa canggung. Tidak, tidak, sepertinya aku yang terlalu merasa jauh di sini karena Mas Lala terlihat biasa-biasa saja. 

"Aku belum siap."

"Belum siap apa? Kita cuman tidur nggak ngelakuin hal yang aneh-aneh. Pikiran kamu yang dibersihin. Kamar ini kita tidur sama-sama. Bukan untuk ngelakuin hal aneh-aneh ya Ayu." Mas Lala berkata. "Masukin barang-barang kamu ke lemari yang itu," katanya sambil menunjuk sebuah lemari besar berwarna putih yang berada di samping lemari yang berwarna abu-abu.

"Aku udah minta Mbak yang kerja di sini, untuk kosongkan lemari itu jadi bisa kamu pakai."

"Makasih Mas," kataku kemudian berjalan masuk ke dalam kamar.  Sementara kemudian Mas Lala lalu memilih untuk berjalan meninggalkanku

Mas Lala benar, aku tak seharusnya merasa cemas karena kami hanya tidur bersama dan bukan melakukan hal yang aneh-aneh. Ya tentu saja maksud masalah adalah tidur dalam konotasi yang sebenar-benarnya kan? Aku harap seperti itu.

***

.
.
.
.
Siapa yang menunggu?

Si Gembil Kesayangan Pak Dosen // [MYG/BTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang