38

1.8K 197 66
                                    

"Ma-mas!"

Aku sedikit mendorong tubuh Mas Lala yang mencoba memaksaku. Ia mencium dengan kasar dan aku tak suka diperlakukan seperti ini. Seolah aku hanyalah sebuah objek.

Ia masih memaksa, mencium dan berusaha membuat pakaian yang aku kenakan koyak karena perlakuannya. Sekuat apapun yang aku berusha tetap saja tak bisa aku hentikan perlakuan yang ia lakukan padaku. Ingin ia berhenti, tapi kata-kata yang aku ucapkan selalu saja gagal.

Tuntunan tubuhnya mendesak liar inginkan aku lebih. Tau betul, jika ia marah memang seperti ini dan apa yang ia inginkan masih sangat mustahil untuk aku lakukan. Tantu saja, karena pengobatan yang aku lakukan belum selesai.

"Aku mau kamu Yu," katanya penuh penekanan dnegan napas yang terengah.

"Mas--sto--top!"

Bibirnya kembali kecupi, tanganya terus coba lucuti. Aku tak suka kegiatan kami terjadi dengan cara pemaksaan seperti ini.

Aku memekik saat terasa perih dari bibir aku rasakan, entah sengaja atau tidak tapi bibirku berdarah karen aulahnya. Aku tak bisa tenang . Di antara rasa takur dan juga sentuhan bertubi-tubi yang aku terima. Tidak adsa sentuhan lembut biasanya. Hanya amarah yang membuat hatiku terguncang.

Suamiku benar-benar tak memberikan kesempatan untuk ku melarikan diri. Mas Lala seolah tak bisa berikir fdengan waras setiap kali ia marah. Sentuhan yang ia lakukan menuntut, dan terus menginkanhal yang lebih. Apa tang ia lakukan buat aku gelengkan kepala. Biasanya aku bisa larut dan ikuti inginnya. Kali ini aku tak bisa melakukan itu, aku takut.

Stimulus yang diberikan semakin membuat aku semakin mati rasa. terlalu takut hingga kini aku semakin kuat jauhkan Mas lala dariku. Biasanya ini akan menyenangkan dan membuatku merasa bahagia, terombang-ambing dalam rasa yang tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata.

Perlakuan yang dilakukan semakin kasar. Sensasi yang biasanya membuatku ingin terus melakukantanpa henti kini menakutkan sekali. Semua kehangatan yang ada hilang. Semakin dingin. Saat hujan deras di luar memporakporandakan hangatnya sinar matahari, buat suasana semakin gelap.

tak mampu bertahan, aku mendorong tubuhnya semakin keras. Setelah mengumpulkan semua tenaga.

"Mas kamu kenapa sih?" tanyaku sambi menjauh dan merapikan pakaian. "Aku salah apa?"

Mas Lala menunduk, melirikku dengan tatapan kesal. "Aku udah kasih tahu kamu kan? Jangan buat aku kesal atau marah.  Aku enggak bisa—" dia terhenti. "Intinya jangan buat aku marah."

"Mas Lala itu udah dewasa loh. Masa nggak bisa ngatur emosi? Padahal aku sama Kana dan Sena juga cuman temenan aja."

"Ya, aku emang belum bisa bilang ke kamu. Kalau pun aku bilang ke kamu nggak akan ngerti."

"Coba jelasin ke aku kalau kayak gitu."

"Aku udah bilang ke kamu jangan buat aku marah." Kata-kata yang diucapkannya selalu saja sama dan itu tanpa kejelasan.

Bukankah harusnya ada alasan kenapa aku tak boleh membuatnya marah? Kenapa setiap marah dia selalu melakukan hal kasar seperti itu? Memang itu tabiatnya?

Sementara aku benar-benar ingin dia menjelaskan tentang apa yang terjadi dalam dirinya ketika dia marah. "Iya kenapa? Kenapa aku nggak boleh buat kamu marah? dan apa yang terjadi kalau kamu marah?"

"Kenapa kamu jadi cerewet gini sih?" Dia berkata sambil mengalihkan tatapan dariku. Seolah ingin pembicaraan kita ini terhenti dan ia tak mau menjelaskan sama sekali

Tidak ada yang ia katakan selain diam. Sepertinya benar-benar menimbang Apakah harus mengatakan padaku atau tidak semuanya. Mas Lala meninggalkan aku menuju toilet. Hatiku terluka sekali mendapat perlakuan seperti tadi.

Jujur saja aku merasa tak ada sesuatu yang harus membuatnya marah hingga seperti itu. Dia bisa saja meminta ponselku, kemudian membacanya. Kenapa harus marah-marah seperti tadi sih? Memang, aku sering diingatkan Kalau tak boleh membuatnya marah. Tapi aku merasa apa yang dilakukan Mas Lala kali ini benar-benar keterlaluan

Duduk di sudut adalah hal yang bisa aku lakukan saat ini. Rasanya ingin menangis, tapi aku menahannya. Mas Lala kemudian berjalan keluar dari toilet tanpa menatapku. Dia kemudian duduk di sofa menatap layar televisi, sementara aku memilih merebahkan diri. Sejak tadi sengaja aku biarkan ponsel tergeletak di tempatnya semula.

Terdiam cukup lama, sampai akhirnya aku tertidur.

***
"Yu," panggil Mas Lala.

Aku membuka mata, kemudian melihatnya yang duduk di sampingku. Tatapan matanya masih sama. Bahkan sampai saat ini dia sama sekali tidak meminta maaf padaku.

"Ayo bangun dulu kita makan. Ini udah malam, dan siang tadi kamu juga nggak makan." Nada suara yang terkesan dingin itu membuatku enggan beranjak.

"Kalau kamu mau makan ya makan aja Mas. Aku lagi nggak mau makan."

"Susah ngomong sama kamu."

Jujur saja aku nggak mengerti di mana sisi susahnya untuk bicara tentang apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa susah untuk ngomong padahal tinggal bilang aja kan kenapa aku nggak boleh buat dia marah. Alasannya, sebab, dan akibatnya padahal semudah itu loh.

"Sama susahnya kayak ngertiin kamu nggak? Aku sama sekali nggak ngerti sama sifat kamu yang kayak gitu."

"Sifat aku yang kayak gimana sih? Aku nih suami kamu wajar dong kalau aku cemburu melihat kamu chatting sama orang lain." Lagi-lagi masih berbicara seperti itu. Padahal tahu betul kalau aku sebenarnya paling kesal dengan orang yang kasar. Iya, nggak ada orang yang nggak kesal dengan apa yang dia lakukan tadi.

"Iya, tapi mas kan bisa tanya baik-baik. Kenapa harus ngerebut kayak gitu? Kenapa juga harus marah dan sampai ngelakuin hal kayak gitu?"

"Sampai kapan aja kita mau bahas pembahasan kayak gini? Aku kan udah bilang ke kamu, jangan buat aku marah."

Masalah kemudian beranjak, mengambil jaket miliknya dan berjalan keluar hotel. Entah dia akan pergi ke mana. Jujur saja itu membuat aku benar-benar sedih dan kesal. Seharusnya dia bisa melakukan hal yang lebih baik daripada ini.

Yang jelas saat ini kondisinya memang tidak sedang baik-baik saja. Aku memang tak pernah bisa mengerti mas Lala. Seperti yang selalu aku pikirkan kalau dia seperti memiliki dua sisi yang sangat berbeda. Dan aku benci sisinya yang dingin dan menyebalkan seperti ini.

Yang jadi kemudian adalah aku yang menangis, meneteskan air mata setelah ditinggalkan. Bukankah seharusnya Kalau memang dia orang yang dewasa, bisa menyelesaikan masalah bersama? Bisa berbicara bersama? Bukankah masalah itu harus diselesaikan? Bukankah yang salah itu harus dijelaskan?

Mas Lala yang meminta kalau aku harus dekat dengan rekan-rekan di kampus.  Sekarang apa yang dia lakukan? Marah, kesal, cemburu? Memangnya harus seperti itu ya? Padahal dengan jelas hatiku sudah memilihnya. Kesal setengah mati.

Si Gembil Kesayangan Pak Dosen // [MYG/BTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang