🎹2. Keinginan terakhir bapak 🎹

1.6K 91 0
                                    

Bapak sudah dimakamkan. Aku coba tak menangis sejak tadi. Bapak akan sedih jika aku menangis. Aku ingin bapak bisa istirahat dengan tenang tanpa memikirkan aku. Aku akan bertahan dengan  baik setelah kini hidup sebatang kara. Aku, sudah terbiasa ditinggalkan. Ibu, kakek, nenek dan sekarang bapak. Sudah biasa, jalani saja meskipun besok aku menangis tak ada yang tau.

Semua menatap ke arahku dengan iba, dan aku memilih diam. Kini  di ruangan ini aku bersama dengan Mbok Sur, Om Jun dan juga Mas Gula anak semata wayangnya.  Mas Gula senang datang kemari setelah ibunya meninggal. Kami awalnya sangat dekat sebelum akhirnya ia harus ke luar negeri menempuh pendidikan dan baru kembali beberapa tahun ke belakang.

"Yu," sapaan Om Jun membuyarkan lamunanku.

"Ya Om?"

"Terakhir kali ayahmu bilang, dia mau kamu kuliah di Jakarta dan Om bersedia memfasilitasi. Ayahmu bilang kamu pinter nyanyi, dan juga nembang jawa?" tanya Om Jun.

Aku anggukan kepala, nembang jawa bukan hal yang aku pelajari secara profesional. Hanya iseng, ikut-ikutan dan jadi bisa sendiri.

"Kamu bisa kuliah di kampusnya Gula. Kita bisa daftarkan dan kamu bisa ikut dan tinggal di Jakarta, seperti apa yang ayahmu bilang. Dan juga kami memiliki perjanjian." Om Jun menambahkan. Sejujurnya aku merasa bingung dengan perjanjian yang dikatakan oleh Om Jun. Tapi aku memilih untuk selalu memikirkan itu

Aku melirik ke arah Mas Gula, ia hanya terdiam tak banyak bicara. Wajahnya memang manis seperti gula dengan kulit yang putih, kontras dengan kulit Om Jun yang sedikit gelap. Bhakan sepertinya kulitnya lebih putih daripada warna kulitku. Meski wajahnya manis, untul urusan keramahan tak mungkin dapat bintang lima, karena jarang sekali terenyum.

"Kalau kamu di sana akan lebih enak Yu. Akan ada yang rawat kamu." Mbok Sur buka suara.

Aku bukannya enggan, hanya masih belum rela lepaskan kenangan bersama bapak. Banyak yang mengatakan kalau arwah akan tetap berada di rumah selama beberapa hari. Bagaimana kalau bapak sendirian? Aku takut bapak sendirian.

"Yang terpenting kamu selalu kirimkan doa. Bapakmu juga akan selalu ada di samping kamu," kata Mas Gula, ia buka suara setelah terdiam sejak tadi. Seperti mengerti apa yang aku pikirkan.

"Bener, lebih baik kalau kamu ke rumah keluarga Pak Jun, yu. Di sana akan ada yang jagain kamu." Mbok Sur kini buka suara.

"Ini kamu bisa baca sendiri, di sana bapak kamu chat ke Om keinginannya." Om Jun kemudian memberikan ponselnya yang dengan segera aku terima.

Aku menerima ponsel itu dan membaca pesan singkat antara bapak dan Om Jun. Di sana memang tertulis pesan dari bapak. Yang ingin aku kuliah agar menambah teman dan juga ilmu. Bapak mau aku merasakan masa-masa kuliah yang tidak pernah bapak dan ibuku rasakan dulu.

Helaan napaski jadi terasa berat sekali, membayangkan bapak yang mengatakan itu pada Om Jun. Bapak mungkin saja cemas dengan keadaanku yang tak memiliki teman dan fokus mencari uang untuk kami. Meski semua sungguh tak jadi masalah untukku.

"Gimana Yu, mau kan? Kamu enggak usah bawa apa-apa biar semua keperluannya kamu nanti dibeli di sana. Bawa yang penting saja." Om Jun berkata lagi.

Mau tau mau, suka tak suka aku akan ikut ke Jakarta. Memenuhi keinginan bapak. "Iya Om, Ayu ikut ke Jakarta," jawabku.

Dan malam itu aku membawa beberapa lembar pakaian saja, ijazah dan ponsel serta beberapa kotak berisi barang-barang berharga bagiku. Aku pergi diiringi tangisan mbok Sur. Ia menangis pasti sedih sekali karena aku tak akan mengganggunya lagi.

"Sehat-sehat ya Nduk, cah ayu," ucap si Mbok.

"Iya, mbok juga ya yang sehat." Aku memeluknya sebelum akhirnya berjalan menuju mobil untuk segera berangkat ke Jakarta.

Mas Gula menunggu berdiri tak jauh, sejak tadi memang tak banyak bicara karena memang diam sepertinya jadi bakat terpendam. Setelah selesai berpamitan aku berjalan menghampirinya. Lalu kami berjalan bersama, beriringan.

"Kenapa kamu enggak nangis sejak tadi?" ia bertanya tanpa menoleh padaku.

Aku menatap Mas Gula, kemudian mengalihkan tatapanku. "Aku takut bikin bapak sedih Mas," jawabku.

Tak ada jawaban yang ia berikan, sudah. Biasa tak mengejutkan. Ia berjalan lebih dulu dan aku mengikuti sampai tiba di mobil. Aku masuk dan duduk di kursi belakang.  Sementara Mas Gula mengendarai mobil, di sisinya ada Om Jun yang menemani.

Jalan malam menuju ibu kota yang sunyi. Tak ada yang aku dengar selain deru napas kamu bertiga. Sesekali Om Jun bertanya dan aku menjawab seadanya. Jujur saja aku malas bicara, takut menangis. Aku sedang menahan diri untuk tak menangis.

Bohong kalau kukatakan aku baik-baik saja, duniaku seperti dijungkir balikkan. Dalam setengah hari aku sudah dapatkan banyak hal yang mengejutkan. Jujur, ini melelahkan.

Aku lalu menatap layar ponsel. Aku punya sahabat, kami berkenalan online sejak aku SMP. Namanya Sena, kamu sering sekali saling berkirim pesan dan juga melakukan panggilan video call.

Sena:
Istirahat jangan nangis terus.
Yu, enggak apa-apa kan?
Yu?
Yu?
Yu?
Yu? Makan udah?
Gue mau minta lo bales chat gue boleh?
Yu, okay kan?

Semua itu chat dari sens dia cemas. Aku tau, karena tadi pasti lihat status. Dan aku baru sempat lihat semua pesannya.

Aku:
Gue oke Na. Belum makan, dan lagi otw ke Jakarta.

Belum lama pesan terkirim sudah dikirim pesan lagi. Sena membalas cepat sekali.

Sena:
Serius?
Ke Jakarta?
Kita ketemu ya?
Btw, lo oke kan yu, Yu?

Aku:
Enggak Na.
Daritadi nahan nangis
Bapak pasti sedih kalau gue nangis

Sena:
Gue telp mau?
Mau ngomong? Ditemenin Sena?

Aku tersenyum Sena memang perhatian sekali dan aku berterima kasih karena tuhan mengirimkan orang sebaik Sena untukku. Sementara aku menatap ke kaca dashboard, melihat  Mas Gula yang menatapku dari sana. Tatapan kamu beradu sekilas lalu aku alihkan pandangan.

Aku:
Gue masih otw Jakarta Na.
Enggak enak kalau telp juga karena sama teman bapak.
Besok gue hubungi lagi ya?
Thanks selalu care sama gue Na.

Sena:
Iya oke Ndut. Rehat sana.
Nangis kalau mau nangis, nahan perasaan ga baik.
Gue tunggu besok.
Sampai di Jakarta harus ketemu.

,Aku:
Oke, aku istirahat.
Nite Nana.

Sens,:
Nite Ndut.
Bye
Jangan lupa kabarin.

Aku memasukan ponsel kembali, lalu menatap pada Mas Gula yang kini fokus menatap jalan. Aku rasanya ingin terlelap saja. Ngantuk sekali, aku ingin memejamkan mata. Perjalanan masih jauh, dns Om Jun juga sudah terlelap.

"Mas Lala, aku tidur ya?" Tanyaku.

Ia anggukan kepala, dan ya, hanya itu jawabannya. Karena aku menunggu jawaban darinya tapi sama sekali tak ada suara.

***

Update....jangan lupa tinggalkan jejak berupa komen biar aku semangat bunda kaka 🤗

Btw selamat tahun baru 🍊🍊🍊🍊

Si Gembil Kesayangan Pak Dosen // [MYG/BTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang