Bab 2

50.9K 3.7K 36
                                    

"Sudah, jangan mengeluh lagi. Nanti aku bantu," kata Arsy mencoba menenangkan sahabatnya.

Najwa sudah terus mengeluh dan menggerutu sejak dua jam lalu karena kena takzir pengurus. Arsy dan beberapa teman sekamar Najwa hanya menahan tawa saat melihat Najwa yang terus mengerucutkan bibirnya sambil mencabuti rumput.

Seperti biasa, Arsy dan dua orang teman sekamarnya akan diam-diam menemani Najwa yang terkena takzir. Tentu saja, hanya Arsy yang bersedia membantu karena Ayu dan Aini hanya akan menjadi penonton dan pendengar setia gerutuan Najwa saja.

Najwa sekarang sedang menjalankan hukuman karena kejadian hari itu. Setidaknya, hari ini Najwa beruntung karena orang tuanya tidak dipanggil lagi ke pesantren.

Mungkin pengurus mulai lelah terus menerus memanggil orang tua Najwa ke sini.

"Aku harus bagaimana, Kang Dzaki bahkan makin dingin," keluh Najwa sambil terus mencabuti rumput di tengah lapangan dengan bibir yang terus mengerucut.

"Salah kamu, aku udah bilang. Jangan bertindak macam-macam lagi. Stop bikin masalah. Gus Dzaki pasti capek bantuin kamu terus," cerocos Arsy sebal.

"Aku cuma berniat baik. Nila butuh bantuanku saat itu," sanggah Najwa membela diri.

"Dan kamu tahu, kabur dari pesantren itu salah. Kamu kapan sih, ngertinya," kata Arsy semakin geram.

Najwa menghembuskan nafasnya berat, padahal dia hanya berniat baik saja.

"Untung saja orang tua kamu ngga dipanggil, Najwa," kata Ayu dengan wajah serius.

"Iya, jangan berharap Guz Dzaki akan membantu kamu lagi untuk bebas dari hukuman tuan putri," gerutu Aini pada sahabatnya itu.

Najwa mengangguk pasrah, biasanya Guz Dzaki tidak semarah itu. Sampai memasang wajah garang, bahkan enggan menjawab sapaan Najwa. Senakal apapun Najwa, Gus Dzaki biasanya hanya tersenyum geli. Lalu membebaskannya dari takzir secara diam-diam. Ustad yang satu itu, seperti kakak laki-laki bagi Najwa. Yang selalu ada sejak Najwa kecil, sosok lelaki yang selalu ada dalam doa Najwa selain babah dan ayahnya.

"Kamu beruntung, sejak kecil disini. Seluruh santri di pesantren ini tahu kamu santri anak mas. Jadi, sejauh ini ngga dipaksa keluar atau pindah dari pesantren karena abah sangat menyayangimu," kata Arsy lagi sambil membantu memasukkan rumput yang sudah dicabuti Najwa ke dalam karung.

"Iya, dan jika aku dikeluarkan Ummah adalah orang pertama yang akan sangat bahagia," jawab Najwa sambil menggerutu.

Arsy tertawa pelan mendengar Najwa menggerutu. Arsy tahu, bagaimana setiap hari Najwa di telpon ibunya bahkan setiap hari bertanya kapan akan boyong dari pesantren. Ibunya begitu posesif, apalagi semenjak hamil adik Najwa.

"Ummahmu sangat menyayangimu, Najwa," kata Arsy sambil tersenyum.

"Iya, aku tahu. Kamu tahu, Ummah adalah wanita terhebat. Dan kami beruntung Allah mengadirkan ayah untuk kami," bisik Najwa pelan dengan senyum mengembang.

Arsy mengangguk, dia tahu persis bagaimana Najwa menahan diri untuk selalu bersikap baik pada Babah dan keluarga barunya setelah segala perlakuan buruk yang diterimanya.

"Babah kamu juga sangat menyayangimu, Najwa," lanjut Arsy yang masih sibuk menekan isi karung dengan menginjaknya agar semakin banyak rumput yang masuk ke dalam karung.

"Iya, tapi Babah tidak sayang Ummah. Dan aku, tidak suka itu. Babah jahat," bisik Najwa lirih menahan air matanya yang menggenang di pelupuk mata. Rasanya masih saja sangat sesak, mengingat bagaimana Babahnya meninggalkan Ummah dan menikahi wanita lain. Bagaimana Ummahnya menata hati karena hancur disakiti Babahnya.

"Ssstt... Sudah, ikhlaskan. Lagian, Ummah kamu sudah bahagia bersama ayah kamu, kan?" Bujuk Arsy sambil memeluk sahabatanya yang menangis sesegukan.

Najwa mengangguk samar, lalu mengurai pelukannya. Dia mengusap air matanya.

"Kamu balik ke kamar sana, nanti bisa kena takzir kalo ketahuan bantu aku disini," kata Najwa mengingatkan.

"Yakin, kamu ngga papa sendiri?" Tanya Arsy ragu.

Najwa mengangguk mantap, Arsy akhirnya terpaksa harus meninggalakan Najwa sendiri menyelesaikan hukumannya. Najwa memang benar-benar tidak ada kapoknya.

...

Dzaki menatap Najwa dari kejauhan, sebenarnya iba melihat Najwa lagi-lagi kena takzir, tapi bagaimana lagi Najwa memang bersalah.

Dzaki memejamkan matanya, beristighfar dalam hati. Najwa dengan segala tingkah cerobohnya selalu membuatnya serasa senam jantung.  Dzaki berniat meninggalkan Najwa yang sedang melaksanakan hukumannya. Namun, sebelum Dzaki berhasil pergi, Najwa melihat Dzaki yang berdiri di teras samping ndalem. Dzaki melotot saat Najwa hendak berlari ke arahnya. Najwa memang selalu bertingkah absurd. Dzaki memberi peringatan pada Najwa dengan menunjukkan kepalan tangannya ke udara mengarah pada Najwa.

"Kang...," Cicit Najwa dengan wajah memelas dan tidak berani melanjutkan langkahnya menuju tempat Dzaki berada. Najwa melihat Dzaki menggeleng lalu berbalik meninggalkan Najwa. Najwa menghela nafas pasrah dan melanjutkan pekerjaannya.

"Kang Dzaki masih marah," lirih Najwa lesu.

Setelah hampir seharian, akhirnya tugasnya membersihkan lapangan selesai. Bahkan sekarang sudah hampir masuk waktu Dzuhur. Najwa berbenah diri, lalu berlalu menuju kamarnya untuk bersiap mandi dan melanjutkan kegiatan seperti santri lainnya dengan tidak bersemangat.

"Hari ini ngga dapet nasi padang," cicit Najwa lesu. Siapa yang akan memberinya nasi padang jika Kang Dzaki saja masih marah begitu.

JATUH CINTA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang