Bab 6

39.8K 3.2K 120
                                    

Dzaki sudah memegang sebungkus nasi padang kesukaan Najwa. Meski sejak kemarin Najwa menolaknya, dia akan tetap membelikannya dan mengirimkannya untuk Najwa.

Dzaki melewati asrama putri, dia memiliki akses bebas untuk memasuki semua wilayah. Karena dia seorang Gus dan kebetulan mengajar sbg Ustadz.

"Assalamu'alaikum, dek," sapa Dzaki saat berpapasan dengan Hafsah di samping musholla.

"Wa'alaikum salam, ada apa mas?"

"Dek, mas titip ini untuk Kak Najwa," bisik Dzaki lirih sambil memberikan bungkusan.

"Seperti biasa, buat adek satu dan buat Najwa satu," jelas Dzaki lagi.

"Ma-af, Kak. Kak Naj-wa s-su-dah bo-yong ke-ma-rin," cicit Hafsah terbata.

"A-apa?" Dzaki tersentak kaget mendengarnya, tangannya gemetar.

Rasanya seakan dunianya runtuh, Najwa pergi dan tidak memberinya pesan apapun.

"Ini salah akang, Najwa. akang yang salah," bisik Dzaki putus asa.

"Mas, yang sabar," kata Hafsah menenangkan kakaknya.

Dzaki tidak memberikan respon, nasinya terjatuh di lantai begitu saja. Pantas saja Najwa tidak keliatan seharian ini. Bahkan saat dia mengajarpun, Najwa tidak terlihat sama sekali.

Dzaki berjalan dengan tatapan kosong menuju kebun belakang. Dia duduk di atas sebuah batu besar. Rasanya dadanya sangat sesak sekarang.

Ini menjadi tempat favorit Najwa, Dzaki sering memperhatikan Najwa dari jauh. Segala tingkah lucu dan menggemaskan milik Najwa. Senyum dan tawa renyah yang sering Dzaki lihat.

Kembali teringat, air mata Najwa yang disertai senyuman pahit saat memberikan selamat. Ini mungkin sangat menyakitkan untuk Najwa. Tapi sebenarnya, ini lebih menyakitkan bagi Dzaki.

"Hiks... Najwa kasihan banget, dia sampai pingsan di lapangan karena tiga hari tidak makan apapun sejak pertemuannya dengan Gus Dzaki," kata seseorang sambil menangis.

Dzaki menoleh, jantungnya berdetak hebat hanya dengan menyebut namanya saja. Dzaki masih terdiam dengan tangan mengepal, dia masih ingin mencuri dengar tentang kondisi Najwa yang sebenarnya.

"Kamu kan tahu, Najwa sangat mencintai Gus Dzaki. Bahkan tiada hari tanpa membahas tentang Gus Dzaki," celetuk yang lainnya.

"Aku benci Gus Dzaki, dia jahat sama Najwa, hiksss," kata seseorang sambil menangis.

"Ayu, ngga boleh bilang begitu"

"Tapi Najwa pergi karena disakiti Gus Dzaki! Gus Dzaki jahat sama Najwa. Hikss... Dia kesakitan, sampai tidak makan sama sekali dan jatuh sakit. Entah apa yang dibicarakan mereka sebelumnya. Tapi Najwa tidak pernah seperti itu sebelumnya!" Teriak Ayu lagi.

Hati Dzaki mencelos, Najwa tidak makan beberapa hari dan jatuh sakit?

Dzaki membenci dirinya sendiri, dia si pecundang yang tidak bisa berbuat apa-apa. Dia menyakiti Najwa, dia yang selalu bilang akan menjaga Najwa justru menjadi orang yang menyakitinya.

Dia pernah bilang tidak akan menjadi seperti babahnya, Dzaki pernah berjanji akan selalu menjaga Najwa. Tidak akan membiarkan Najwa tersakiti lagi, tapi kali ini dia sendiri yang paling menyakiti Najwa.

"Maaf, Najwa. Maaf..," bisik Gus Dzaki berulang-ulang.

"Astaghfirullah, itu Gus Dzaki. Ayo, pergi dari sini," celetuk seseorang. Kemudian terdengar suara krasaka krusuk. Ketiga sahabat Najwa telah pergi.

Dzaki menatap kepergian ketiganya dengan mata mengembun. Dzaki duduk sambil memeluk dirinya sendiri, rasanya semua ini sangat menyakitkan.

"Assalamu'alaikum, Gus Dzaki," sapa Gus Alwi.

"Wa'alaikum salam, pergi dari sini," jawab Dzaki dengan dingin.

"Dzak, sudah mas bilang. kalau jo- ," kata Gus Alwi. Belum sempat Gus Alwi menyelesaikan kalimatnya, Gus Dzaki sudah memotong pembicaraannya terlebih dahulu.

"Pergi saya bilang!" Teriak Gus Dzaki lantang. Tatapan matanya yang dingin membuat Gus Alwi sedikit gemetar. Dia tidak pernah melihat kemarahan Dzaki sebelumnya, ini pertama kali baginya  melihat kemarahan Dzaki.

"Istighfar, kamu Gus. Jangan sampai suara kamu terdengar oleh santri lain," peringat Gus Alwi tegas.

Dzaki melayangkan tangannya yang mengepal hendak memukul Gus Alwi, namun dia membelokkan pukulannya pada sebatang pohon pisang di depannya. Air mata Dzaki lolos begitu saja. Tatapan sedih dan dingin membaur menjadi satu.

Dzaki terus memukuli batang pohon pisang berulang-ulang untuk melampiaskan kemarahannya, kesedihannya. Dengan air mata berurai, Dzaki secara membabi- buta memukuli batang pohon pisang hingga pohonnya tumbang. Tangannya sangat merah dan lecet.

Gus Alwi manatap adiknya iba, dia tahu pasti sangat menyakitkan bagi mereka berdua. Tapi mau bagaimana lagi, siapa yang berani menentang keputusan abah?

"Pergi," kata Gus Dzaki dingin.

"Istighfar. kamu dikuasai setan! Berwudhulah, Gus," kata Gus Alwi mengingatkan.

Gus Dzaki dengan tatapan dinginnya menatap kakaknya tajam.

"Lataghdzob walakal jannah. Jangan marah, bagimu surga," kata Gus Alwi mengingatkan adiknya.

Gus Dzaki beristighfar dalam hati, dia memejam kan matanya untuk meredam emosinya walau hanya sesaat.

"Pergi," ulang Dzaki dengan suara sedikit lebih melembut.

"Dek, kamu harus istighfar. Jodoh tidak akan tertukar," kata Gus Alwi.

Gus Dzaki menatap Gus Alwi tajam, tatapan dingin menusuk hingga membuat Gus Alwi sedikit gemetar.

"Lalu,  kamu pikir saya akan poligami seperti abah. Menjadikan Najwa sebagai istri kedua seperti dia menjadikan Ummiku istri ke dua dan menceraikannya setelah memiliki bayi," kata Gus Dzaki menusuk.

Gus alwi tersentak kaget, dia baru pertama kali mendengar adiknya membahas soal Umminya. Gus Alwi memang anak pertama dari istri pertama, sedangkan Gus Dzaki adalah anak dari istri kedua. Hafsah sebenarnya adik kandung dari Gus Alwi. Tetapi selama ini Gus Dzaki tidak pernah membahas itu, dia anak yang sangat penurut.

"Pergi! Kamu tidak akan tahu rasanya. Kamu dan abah sama saja. Kamu bisa menikahi wanitamu setelah pernikahan perjodohan itu.Lalu menceraikan istri pertamamu tanpa belas kasih. Tetapi tidak dengan saya. Cukup air mata Ummi menjadi pengingat diri saya," ucap Dzaki tajam.

Gus Alwi menunduk, dia tahu  perkataan Gus Dzaki sangat menyakiti hatinya. Tapi Gus Dzaki memang tidak sepenuhnya salah.

Dia tidak pernah tahu apa yang terjadi pada Ummi Aliya, istri kedua abahnya.

"Di cap sebagai pelakor, di pandang sinis oleh para santrinya sendiri," ucap
Gus Dzaki dengan suara rendah.

Gus Alwi terdiam, dia tidak pernah tahu soal itu.

"Kalian bahkan belum membayar setiap tetes air mata Ummiku. Jika bukan karena permintaan Ummi, saya tidak akan sudi menetap disini," ucap Gus Dzaki lagi.

Akhirnya Gus Alwi mengalah, dia tidak mau terjadi keributan. Dia beranjak pergi meniggalkan adiknya sendiri. Sepertinya Gus Dzaki memang membutuhkan waktu untuk menenangkan diri untuk saat ini.

"Akang yang terbaik! Nanti kalau Najwa sudah besar dan kita menikah, Najwa akan makan nasi padang setiap hari. hahahha," kata Najwa saat itu.

Dzaki mengepalkan tangannya semakin kuat. Memori kenangan saat bersama Najwa kembali terputar di otakknya.

"Menikah dengan Kang Dzaki? Mau... mau... mau!" Kata Najwa kegirangan saat dulu Dzaki mengatakan akan menjadikan Najwa sebagai istrinya.

Matanya memerah, rasanya sangat menyakitkan. Suara Najwa terngiang-ngiang di telinga Dzaki. Isak tangis Najwa, wajah menyedihkan Najwa. Semua berputar ulang di otak dan matanya. Dzaki seakan berputar. Dzaki terduduk dengan menutup  mata dan telinganya kuat. Sayangnya, suara isak tangis dan air mata Najwa terus semakin kuat di matanya. Tatapan sedih Najwa, air mata Najwa, semuanya terus berputar di benaknya. Dzaki terjatuh ke dalam jurang penyesalan yang sangat dalam.

Akhirnya, Dzaki terjatuh dan  tergeletak di kebun, dia pingsan.

JATUH CINTA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang