Dzaki duduk termenung di jendela kamarnya. Sudah tiga hari ini bahkan Najwa tidak mau memakan nasi padang yang sengaja ia titipkan lewat Hafsah.
Dzaki tersenyum pahit, setelah ia tahu perasaan Najwa padanya sekarang. Semuanya begitu menyakitkan.
Dzaki kembali teringat saat Najwa merengek dan menangis karena menginginkan nasi liwet buatan Ummahnya. Dzaki kembali tersenyum getir, matanya sudah mengembun sekarang. Dadanya begitu sesak.
"Ayo, biar saya antar kamu beli makanan," ajak Dzaki saat itu.
"Tapi Najwa mau nasi liwet Ummah," rajuk Najwa.
Dzaki tersenyum lalu menggandeng Najwa dan membawanya menuju warung nasi padang dekat pesantren.
"Disini nasinya sangat enak. Akang jamin kamu pasti suka," kata Dzaki dengan senyum manisnya kala itu.
Meski awalnya ragu, tetapi akhirnya Dzaki berhasil juga membujuk Najwa. Bahkan Najwa memakan dua porsi nasi padang.
"Ini enak sekali," kata Najwa berbinar.
"Aku berjanji, jika kamu bertahan di pesantren ini akang akan setiap hari memberimu nasi padang," janji Dzaki.
"Sungguh? Aku sayang akang! Akang seperti ayah, akang terbaik!" Teriak Najwa senang sambil memeluk Dzaki saking senangnya.
Dzaki sampai membatu di tempat, meski saat itu usia Najwa baru tujuh tahun. Namun....
"Bahkan setelah sekian tahun berlalu bagiku wangi tubuhmu masih melekat di tubuh akang, Najwa," bisik Dzaki lemah.
Dzaki mengusap air matanya kasar, dadanya semakin sesak saat mengingat air mata menyakitkan milik pujaan hatinya. Senyum pedih yang diiringi air mata Najwa hari itu. Tangan Dzaki mengepal dan bergetar, tanpa sadar, dia telah memecahkan gelas di tangannya. Darahnya menetes hingga ke lantai dan sarung yang dikenakannya.
"Astaghfirullah! Dzaki, tanganmu berdarah!" Kata Gus Alwi setengah berteriak saat memasuki kamar adiknya.
Tatapan mata Dzaki seakan kosong, matanya memerah dan mengembun. Gus Alwi tahu yang dirasakan oleh Dzaki. Dia pernah mengalami itu saat akan menikahi istrinya.
Gus Alwi bergegas mendekati adiknya, lalu melepas sorban yang dikenakannya dan membebat tangan Dzaki yang berdarah.
"Istighfar, kamu harus ingat. Kamu gus disini," kata Gus Alwi.
"Ini menyakitkan, mas. Aku pecundang yang bahkan tidak mampu berbuat apa-apa," kata Dzaki serak, air matanya lolos begitu saja. Rasanya sakit di tangannya tak sebanding dengan sakit yang Najwa rasakan.
"Biar aku bersihkan ini dulu, Menyingkirlah, ini berbahaya," kata Gus Alwi tanpa memperdulikan kalimat Dzaki.
Gus Alwi segera berlari keluar dan mengambil sapu untuk membersihkan pecahan gelas. Dia harus membersihkannya sebelum abinya melihat.
Gus Alwi duduk di samping adiknya setelah membersihkan pacahan beling dan bekas darah yang menempel di lantai kamar milik Dzaki.
"Cintamu belum halal, istighfar," nasehat Gus Alwi.
Dzaki masih terdiam, dia memejamkan matanya sejenak kemudian beristighfar.
"Jodoh ngga akan tertukar, Dzaki," kata Gus Alwi.
"Aku sudah berusaha menolak permintaan abah dan Ummi. Tapi, akhirnya mereka tetap mengkhitbah Ning Salwa dan menentukan hari pernikahannya," kata Dzaki perih.
"Yakinlah, pilihan Ummi dan abah pasti yang terbaik untukmu," kata Gus Alwi sambil menepuk pundak Dzaki dan meninggalkan adiknya merenungi semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JATUH CINTA (End)
Espiritualini sequel dari "Abi untuk Najwa" Menjadi anak broken home tidak selalu buruk. Najwa menjadi salah satu si anak malang yang menjalaninya sejak usianya masih sangat kecil. Kerinduannya pada babahnya (red: ayah) selalu dipendamnya dalam-dalam. Dia tak...