Bab 10

39.1K 2.9K 60
                                    

"Persiapkan dirimu, Gus. Karena kita akan sowan ke tempat Ning Salwa lagi dua hari lagi. Kita akan membicarakan tentang hari pernikahan kalian," kata Abah hari itu.

Gus Dzaki masih tetap terdiam mendengar ucapan abahnya. Dia masih tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada seseorang yang mengkhitbahkan seseorang tanpa membicarakannya terlebih dahulu pada yang bersangkutan.
"Jadi, silahkan nanti Gus persiapkan diri terlebih dahulu," kata Ummi lembut.

Gus Dzaki tiba-tiba terkekeh geli mendengar ucapan Ummi dan abahnya. Mereka sudah membicarakan tentang pernikahan dan tanpa menanyakan kesanggupannya terlebih dahulu, apa pendapatnya tidak penting bagi keputusan yang akan digunakan?
"Astaghfirullah, Gus. Ada apa?" Tanya Ummi khawatir.

Gus Dzaki menghentikan tawanya. Dia menatap nanar pada kedua orang tuanya.
"Afwan Ummi, abah. Saya heran saja, masalah sebesar ini kenapa sampai saya tidak di tanya dan tidak diberi tahu sebelumnya terlebih dahulu?" Tanya Gus Dzaki, dari nada bicaranya terlihat jelas dia sedang menahan amarahnya sekarang ini.
"Ning Salwa adalah muslimah yang baik. Abi rasa kamu pasti akan setuju. Dia serang hafizah, dia juga telah hafal banyak hadist. Dia putri satu-satunya dari sahabat Abah, sudah jelas insyaallah dia yang akan menjadi penerus pesantren ayahnya kelak," terang Abah.
"Afwan Abah, saya tidak bisa melanjutkan rencana pernikahan ini. Saya telah memilih calon lain," kata Gus Dzaki dengan suara lirih.
"Astaghfirullah, Gus. Apa kamu sadar dengan yang kami ucapkan barusan?" Tanya Abahnya heran.

"Saya sadar sepenuhnya, Abah. Saya telah memilih calon lain. Abah tidak perlu repot-repot begitu hanya demi mempersiapkan masa depan saya. Insyaallah saya akan bertanggung jawab dengan apa yang akan saya pilih nanti," jelas Gus Dzaki lirih dan berhati-hati.
"Gus, apakah kamu tega membiarkan Abah dan Ummi kamu malu dengan membatalkan rencana pernikahan ini, persahabatan Abah dengan sahabatnya akan menjadi renggang. Bukankah sebaiknya kita menjalin silaturahmi," kata Ummi berusaha membujuk anaknya.

"Afwan Ummi, Abah. Saya benar-benar tidak bisa melanjutkan ini semua.  Saya sudah ada calon istri yang akan saya khitabah," kata Gus Dzaki kekeh dengan pilihannya.

"Gus, Abah rasa kamu harus mempertimbangkan setiap keputusan yang Abah buat. Kamu tidak bisa merencanakan sesuatu tanpa memperhatikan pertimbangan dan keputusan kami selaku orang tuamu," kata Abah bijak.

"Abah, saya dan keputusan yang akan saya ambil sudah sangat bulat. Saya benar tidak bisa melanjutkan dengan Ning Salwa," tolak Gus Dzaki pelan.

"Gus, jika calon yang kamu anggap telah kamu pilih adalah Najwa maka sebaiknya lupakanlah. Najwa baru kelas tiga Aliyah. Perjalanan dia masih sangat panjang. Usia kamu Abah rasa sudah lebih dari cukup jika akan menikah. Sedangkan Najwa masih perlu melanjutkan pendidikannya di Kairo," jawab Abah dingin.
"Afwan Abah, saya bersedia menunggu jika itu memang harus yang saya lakukan," jawab Gus Dzaki.

"Gus, kamu sadarkan berapa usia kamu sekarang?" Tanya Ummi.
Gus Dzaki hanya terdiam, dia rasanya malas untuk berdebat dengan kedua orangtuanya. Semuanya akan menjadi lebih rumit dari yang dibayangkan jika dia terus saja membantah ucapan Ummi dan abahnya.

"Gus, kamu tahu kamu bukanlah seperti orang kebanyakan. Kamu adalah anak Abah. Kamu ingat posisi kamu sebagai Gus disini. Contohlah kakakmu si Alwi. Dia tidak pernah membantah Abah. Pokoknya nanti kamu ikut Abah dua hari lagi," kata Abah kemudian beliau pergi meninggalkan ruangan anggota tengah diikuti oleh ummi.

Gus Dzaki tersenyum miris, lalu dia berjalan meninggalkan ndalem. Gus Dzaki berjalan dengan langkah cepat keluar dari pondok pesantre. Berharap menemukan tempat lebih baik untuk sekedar meregangkan ototnya yang mulai kaku, meringankan beban pikirannya selama ini.

.
.
.
.
.
.
.

Saat berjalan di depan sebuah cafe yang tidak begitu jauh dari pesantren, Gus Dzaki sempat berhenti. Gus Dzaki melihat Najwa berjalan pulang dari sekolahnya.

Gus Dzaki mengejar Najwa,

"Assalamualaikum, Najwa," sapa Gus Dzaki ramah.

Najwa berhenti lalu menengok ke belakang. Jantung nya berdetak dengan cepat. Dadanya bergemuruh, berhadapan dengan Gus Dzaki adalah hal yang paling ingin Najwa hindari. Rasanya masih belum siap menampung rasa pedih di hatinya. Najwa belum bisa menghilangkan rasa cinta nya pada Gus Dzaki, namun sayangnya Najwa harus mengikhlaskan semua rasanya pada Gus Dzaki. Mengubur dalam semua rasa cinta nya. Gus Dzaki si mengkhitbahkan Ning Salwa. Najwa harus menjauhinya.

"Wa-wa'alaikum salam warahmatullahi wabarokatuh, Gus Dzaki ada perlu apa?" Tanya Najwa sambil menunduk.

"Najwa, akang perlu bicara. Akang bisa jelaskan semuanya pada Najwa," lirih Gus Dzaki dengan hati-hati.

"Afwan Gus, sebenarnya apa yang akan Gus Dzaki jelaskan?" Tanya Najwa dengan suara bergetar.

"Please... Kamu salah paham. Kita ngga akan sejauh ini, kan?" Gumam Gus Dzaki penuh harap. Rasanya jantungnya berhenti berdetak begitu mendengar Najwa memanggilnya dengan sebutan Gus.

"Salah paham apa, saya kira memang tidak ada kesalahpahaman pahaman apapun diantara kita," tolak Najwa hati-hati.

"Kita harus bicara. Beri akang waktu, please," kata Gus Dzaki memohon.

Najwa tidak bergeming dari tempatnya. Dia masih setia menutup mulutnya, matanya mulai berkaca-kaca.

Gus Dzaki tanpa menunggu langsung menarik ujung tas milik Najwa. Dia berjalan ke arah cafe yang berbada tidak jauh dari tempat nya berdiri sekarang.
Mereka memasuki cafe dengan Gus Dzaki berjalan di depan dan Najwa di belakang.

"Najwa mau makan juga?" Tanya Gus Dzaki.

"Tidak, Gus. Najwa minum saja," kata Najwa canggung.

Suasana sangat canggung, bahkan mereka masih sama-sama terdiam sampai pesanan mereka datang.

"Najwa, kenapa menjauh dan menghindari akang?" Tanya Gus Dzaki lirih.

"Afwan, Gus. Saya tidak menghindar, saya rasa wajar saja. Tidak baik seorang lelaki dan perempuan yang bukan mahram harus menjaga jarak agar tidak terjadi fitnah dikemudian hari," jelas Najwa dengan berhati-hati.

Gus Dzaki terdiam, dia seolah kehilangan kata, suaranya tiba-tiba saja tertelan dalam kerongkongan.

"Apa kita sekarang sejauh ini, Najwa. Hingga menjadi saya, apakah akang sudah menjadi orang lain bagi kamu?" Tanya Gus Dzaki dengan suara rendah, hatinya a begitu hancur sekarang. Dia tidak akan bisa menjadi seperti ini dengan Najwanya. Ini terlalu menyakitkan.

Najwa masih terdiam, dia memainkan cangkir di depannya. Mengaduk-aduk ice cappucino kesukaan Najwa dengan mata berkaca-kaca.

"Najwa, akang tidak pernah mengkhitbahkan siapapun. Akang sayang kamu, akang akan menunggu Najwa lulus Aliyah untuk menikahi Najwa," jelas Gus Dzaki.

Tangan Najwa bergetar, air matanya akhirnya mengalir deras. Dia sangat mencintai lelaki di depannya ini. Tapi posisi mereka terlalu sulit. Najwa tidak ingin merusak hubungan orang lain.

"Afwan, Gus. Saya rasa ada baiknya mulai sekarang kita menjaga jarak. jangan sampai kedekatan kita menjadikan rusaknya hubungan Gus Dzaki dengan Abah dan Ummi. Jangan sampai hubungan kita menjadikan rusaknya hubungan Abah dan sahabatnya. Semua ngga bisa dipaksakan begitu saja," tolak Najwa halus.

"Najwa, akang sayang kamu. Akang cinta kamu. Akang rela menunggu kamu. Akang tidak akan menikahi gadis manapun selain kamu," kata Gus Dzaki dengan sorot mata yang tajam.
Najwa menangis, kenapa saling mencintai sesakit ini?

"Najwa mohon, jangan persulit kondisinya. Najwa tidak mau dianggap perusak hubungan orang. Tolong... Jauhi Najwa," kata Najwa putus asa. Air matanya jatuh tanpa terbendung.

"Jangan m nangis, please ... Akang ngga pantas buat kamu tangisi,"bisik Gus Dzaki sedih.

Mereka sama-sama tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Merasakan pedih dan sakit yang ada di dadanya.




Masya Allah pakai hp suami suseeeeh banget.hiks...
Harus ketik berulang bolak balik. Haish......

Happy reading ...
Semoga hp cepat pulih biar ngga emosi terus pas ngetik buat update.

Jangan lupa vote komen dan follow...

Yang kemarin jadi hari spesial...
Barakallah ..

Semoga segala yang terbaik tercurah untuk kamu sekeluarga.aamiin....

JATUH CINTA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang