Sudah seminggu ini Najwa dan Gus Dzaki pindah ke rumah baru mereka. Jarak rumah dengan kampus Najwa tidak terlalu jauh. Kepindahan Najwa yang mendadak tentu saja mengagetkan semua orang. Tetapi hal itu justru membuat Ummah merasa bahagia. Karena Ummah tidak perlu lagi merasa tidak enak hati kepada besannya jika terus menjenguk Najwa.
"Bee, ini kertas kartonnya," kata Gus Dzaki yang baru saja menginjakkan kakinya di rumah. Hari ini Gus Dzaki membantu Najwa mengumpulkan dan membuat perlengkapan yang dibutuhkan mahasiswa baru.
Najwa menyerngitkan dahinya, kemudian cmberut.
"Kok putih?" Tanya Najwa drngan nada kecewa.
"Yang merahnya habis, jadi ya sudah akang beli yang itu. Adanya cuma itu," kata Gus Dzaki pelan dan hati - hati.
Najwa menghembuskan nafasnya kasar, lalu beranjak dari tempatnya duduk.
"Siniin deh kunci mobilnya, biar Najwa beli sendiri," kata Najwa lemah."Eh, loh... Ya sudah maaf. Biar akang beli lagi, kirain boleh putih juga. Kan sama - sama karton ini," jawab Gus Dzaki.
Najwa menggerutu, dia bergumam tidak jelas dengan wajah menahan kesal. Padahal Najwa harus membayar mahal agar Gus Dzaki membantunya, Najwa semalaman suntuk di gempur olehnya tanpa ampun sampai menjelang subuh. Bahkan Najwa melewatkan sholat lailnya karena Gus Dzaki terus menerus meminta berulang- ulang "upahnya".
" Iya, ini mau berangkat. Jangan ngambek dong," kata Gus Dzaki pasrah.
"Harus sesuai catatan loh," kata Najwa.
"Iya, sweetheart," jawab Gus Dzaki.
Dengan terpaksa Gus Dzaki kembali keluar rumah mencari kertas karton yang salah warna itu.
.
.
."Bee, ini cuma beda setengah cm masa harus di ganti lagi?" Tanya Gus Dzaki pelan.
Ini sudah menjadi entah ke berapa kali Gus Dzaki menggantinya. Gus Dzaki membuatkan sebuah kubus dengan kertas karton dengan ukuran yang telah ditentukan oleh senior Najwa di kampus. Dan Najwa tidak mau kubusnya salah ukuran meski hanya setengah mili.
"Ih, itu loh kebesaren. Ganti atuh, kang. Salah loh itu," jawab Najwa pelan.
Gus Dzaki tersenyum kaku mendengarnya, lembaran kertas kartonnya tinggal dua lembar.
"Iya, ini akang buat lagi," desah Gus Dzaki pasrah.
"Ikhlas atuh akang," kata Najwa manja.
Najwa mengerjapkan matanya, dia menggelendot manja di lengan Gus Dzaki.Gus Dzaki tersenyum tipis, istrinya selalu semenggemaskan itu. Bagaimana bisa Gus Dzaki kesal padanya jika istrinya sudah bertingkah begitu?
"Ikhlas sweety. Ikhlas banget. Ini mau bikin ulang," kata Gus Dzaki sambil tersenyum. Saat bibir Gus Dzaki hampir menyentuh pipi Najwa, Najwa dengan sigap menjauh.
"Selesaikan dulu, itu harus bikin limas juga, tapi warna ungu," kata Najwa sembari menunjuk tumpukan kertas karton di sampingnya.
Gus Dzaki mendelik melihat Nawja menolak di cium olehnya.
"Paling cium pipi aja ngga boleh," gerutu Gus Dzaki.
Najwa terkikik pelan, melihat suaminya menggerutu pelan.
"Nanti ngga bakalan kelar. Akang ngga mungkin cuma cium pipi. Lagian semalam sudah sampai pagi. Ini Najwa sudah ngantuk, pegel, capek, pengen bobok," kata Najwa malas.
"Sweety, kalau kamu saja begitu bagaimana akang yang dari lepas subuh sampai jam satu siang begini mondar - mandir cari perlengkapn sama bikin ini semua?" Kata Gus Dzaki sembari menunjuk ruang tengah yang berantakan karena prakarya yang berserakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
JATUH CINTA (End)
Spiritualini sequel dari "Abi untuk Najwa" Menjadi anak broken home tidak selalu buruk. Najwa menjadi salah satu si anak malang yang menjalaninya sejak usianya masih sangat kecil. Kerinduannya pada babahnya (red: ayah) selalu dipendamnya dalam-dalam. Dia tak...