Sampai saat ini, Hayase tidak diberi kesempatan untuk ke luar dari perasaan yang bahkan dia tidak ingat kalau dia pernah masuk ke dalamnya. Dia pikir, dengan dia datang ke sana dan membuang harga dirinya, dia akan mendapat jawaban untuk semua pertanyaan? Tapi, kesalahan yang tidak dia perkirakan membuatnya sangat sakit.
Langkahnya sangat berat setiap kali dia seret. Mungkin dia harus menyerah dan menerima kenyataan kalau apa yang dia lakukan selama ini sangat membuang waktu dan tentu saja, tidak pernah ada hal berguna yang dia dapatkan untuk apa yang sudah dia perbuat.
Dia bahkan menyia-nyiakan kesempatannya menjadi manusia. Hanya untuk mencari tahu sesuatu yang nyatanya sia-sia.
Saat Hayase masuk ke dalam rumahnya, dia sudah melihat Yanagi duduk di Kotatsu. Gadis itu terlihat sangat mengantuk tapi matanya seperti dia paksakan untuk terus terbuka sambil terus mencoba menghubungi seseorang melalui ponselnya. Detik selanjutnya, Hayase merasakan ponsel dalam saku celananya bergetar.
Tentu saja, apa yang dia harapkan? Dia sudah punya seorang gadis yang dengan suka rela menunggunya. Menunggu, untuk dia cintai....
"Menelepon siapa?" Tanya Hayase sambil mengangkat ponselnya, memperlihatkan nama gadis berambut pendek setengkuk yang sedang meneleponnya entah sejak kapan, itu ke atas.
Kelegaan terpancar dari wajah cantik itu saat dia melihat Hayase tersenyum ke arahnya. Yanagi segera berlari dan memeluk Hayase penuh kecemasan, "Aku pikir sesuatu yang buruk terjadi padamu...." serunya dibarengi isak tangis yang mungkin sudah sejak tadi dia tahan.
Sesuatu yang buruk memang sudah terjadi, pikir Hayase. Tapi sambil membalas pelukan gadisnya, Hayase berjanji tidak akan mengulangi itu. Dia tidak akan membiarkan hal buruk lain membuat gadisnya khawatir.
•ᴥ•
Meski dia meminta kunci apartemen Goro sebelum meninggalkan rumah sakit, nyatanya dia sama sekali tidak ke sana.
Dia menghentikan sepeda motornya tepat di sebuah lapangan basket setelah membeli beberapa kaleng bir dan meminumnya di sana.
Beberapa kali dia mengusak rambutnya sendiri sebelum kembali menenggak kaleng-kaleng bir itu sampai habis.Di salah satu bangku panjang yang ada di dalam lapangan basket itu, Ooka menaruh kaleng bir yang sudah kosong tepat di sebelah kakinya, ada sekitar empat dari enam kaleng yang sudah dia habiskan sejak dia tiba di sana.
Setelah menyingkirkan helm full face yang awalnya dia taruh di sampingnya ke bawah bersama kaleng-kaleng bir itu, di bangku yang sedang dia duduki, Ooka memutuskan meluruskan punggungnya sejenak.
Setelah menurunkan setengah dari resleting jaket kulit yang dia pakai, Ooka mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi seolah ingin menggapai langit gelap tanpa bintang di atas sana.
Sepasang mata dengan warna lebih gelap dari kabut pekat itu tidak lagi terlihat dingin. Tatapannya bahkan lebih kosong dari yang pernah terlihat. Sambil terus mencoba meraih udara dengan tangannya, Ooka bergumam...,
"Apa yang sudah kulakukan...?" Tanyanya dengan suara sangat dalam, bergetar dan terdengar penuh dengan keputusasaan.
•ᴥ•
"Aku buatkan bekal, kau harus menghabiskannya nanti." Ujar Yanagi bersemangat saat Hayase ke luar dari kamar mandi.
Di tangan gadis itu, ada sekotak bekal makan siang yang sudah diikat rapi dengan selembar kain berwarna hitam, bermotif sakura putih.
Tanpa menjawab, Hayase hanya tersenyum dengan anggukan ringan sambil terus mengusak rambutnya yang basah dengan handuk.
Pagi ini, gadisnya terlihat bersemangat meski semalam mereka nyaris tidak tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Normal
Teen FictionKunieda Hayase, harus terjebak dalam dunia yang tak dia mengerti saat seseorang datang padanya membawa cinta, sementara dia bukanlah seorang gay? Apa yang harus dia lakukan setelah dunia yang coba dia lupakan perlahan merayap naik dan membuat rasa...