Bab 19

1.1K 127 11
                                    

Hayase tidak tahu apa yang terjadi hari itu. Yang dia ingat, dia hanya sedang duduk di rumah dengan mainannya setelah selesai mengerjakan tugas yang diberikan guru, sementara Seikyou sedang belajar untuk ujian minggu depan sampai tiba-tiba telepon rumah berdering, karena waktu itu tubuhnya kecil dan tidak tinggi seperti sekarang, sampai tidak bisa meraih gagang telepon yang di taruh di atas meja.

Saat Seikyou menerima telepon itu, dia hanya asyik bermain, tidak paham apa yang kakaknya bicarakan di sana, yang dia tahu dia hanya harus sekolah, bermain, dan menunggu ayah dan ibunya pulang bekerja kemudian mereka akan makan malam bersama, tertawa bersama dan dia akan tidur dalam pelukan ibunya setelah perut mereka kenyang.

Tapi malam itu tidak seperti malam yang selalu berakhir bahagia.

Malam itu Seikyou menjatuhkan gagang telepon yang masih ada suara seseorang bicara di sana. Karena penasaran, Hayase mendekati kakaknya, bertanya kenapa bahu pria itu bergetar? Tapi yang dia dapatkan hanya sebuah pelukan, pelukan yang terus menjadi sangat ketat setiap kali dia bertanya "kenapa?"

Setelah mendengarkan kakaknya menangis, tiba-tiba paman dan bibinya datang ke rumah dalam keadaan panik, mereka juga ikut menangis sambil memeluk mereka berdua setelah itu, sementara Hayase yang melihat semua orang menangis spontan ikut menangis, meski dia tidak tahu untuk alasan apa dia menangis.

Setelah paman dan bibinya datang, mereka semua pergi ke rumah sakit. Di sana, Hayase melihat ada banyak sekali polisi, ambulance dengan sirine yang menjerit sangat keras juga seorang remaja seumuran Seikyou sedang berdiri di depan pintu UGD.

Tubuh remaja itu terbungkus selimut putih tipis, sepasang matanya menatap nanar saat melihat Hayase, Seikyou, juga paman dan bibinya berlari masuk ke dalam rumah sakit. Rambut pria itu sedikit berantakan, basah oleh air yang mungkin digunakan perawat untuk membersihkan darah yang mengucur dari kepalanya, karena di dahi pria itu terpasang perban yang membungkus sebagian kepalanya, bahkan dari sana Hayase bisa melihat ada sedikit darah merembes ke luar.

Saat Hayase yang digendong pamannya di bawa masuk ke dalam rumah sakit, remaja pria itu terus melihat ke arah mereka. Menatap mereka masih dengan sepasang mata nanar yang sama, detik selanjutnya setitik air mata turun di ujung matanya, terus turun hingga melewati pipi dan berakhir jatuh ke tanah.

Hayase masih terus melihat remaja itu, sampai tiba-tiba seorang petugas polisi mendekatinya dan membawa dia pergi. Sementara Hayase, terus dalam gendongan sang paman hingga mereka tiba di sebuah ruangan cukup besar, dingin, dan berbau tidak biasa.

Di ruangan itu ada beberapa ranjang kecil, di mana seseorang berbaring di atasnya lalu ditutupi sempurna oleh kain-kain putih. Di sana, pamannya sama sekali tidak menurunkan Hayase, mereka membawanya pada salah satu ranjang di sudut ruangan tak jauh dari pintu.

Saat seorang perawat membuka kain penutup itu, sekali lagi tangis bibinya pecah, begitu juga dengan Seikyou.

"Ma—mama, Papa...?" Panggil Hayase saat wajah pertama yang dia lihat adalah orang yang selalu memeluknya setiap dia pulang bekerja dan mereka akan tidur bersama setelahnya. Tapi, kenapa sekarang ibu dan ayahnya sudah tidur dan tidak mengajaknya?

"Mama...?"

Panggil Hayase lagi sambil mengulurkan tangannya, mencoba meraih wajah itu, tapi pamannya malah memeluknya sangat erat, memalingkan wajah Hayase ke punggungnya sementara dia bisa merasakan bagaimana bahu pamannya bergetar sangat hebat. Sama seperti Seikyou tadi.

"Mama...? Mama kenapa paman? Papa kenapa?" Satu pertanyaan ke luar dari mulut Hayase dan sukses membuat tangis sang paman pecah.

Hayase coba melirik ke sisi lain, berharap dia bisa melihat ibunya lagi tapi saat kepalanya coba dia palingan, dia kembali melihat pria kecil itu di ambang pintu. Melihatnya dengan tatapan yang sama dan wajah yang sama, juga air mata yang seperti tidak bisa kering, seperti milik paman dan bibinya.

NormalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang