3. Gagal Mantu

5K 357 2
                                    

Dalam kurun waktu enam tahun belakangan ini, Rere sebisa mungkin menjauhi teman-temannya semasa SMA dulu. Bukan karena benci atau Rere terlibat hutang yang belum dibayar—perumpamaannya tidak keren sama sekali—namun, karena ada beberapa hal yang membuat Rere serasa enggan bertemu muka atau sekadar menyapa pada mereka yang pernah mengaku teman katanya.

Lagi pula siapa sih yang tidak kenal Rere? Hello, walaupun muka pas-pasan begini kata Anya, sebenarnya Rere itu cukup manis dan bisa dibilang cantik kalau kata ibu cerewetnya. Jahat sekali memang Anya mengatainya pas-pasan. Tidak diperjelas Anya pun Rere sadar diri kalau mukanya ini memang pas segala-galanya.

Bukan tidak mau mensyukuri nikmat yang telah Tuhan beri, namun kadang kala manusia memang suka ngelunjak dan tidak tahu diri cara mengucap syukur. Sebut saja Rere contoh paling dekat.

"Hai, Re. Gak nyangka bisa ketemu di sini?"

Tuhan, maafkan Rere bila hari ini dia banyak mengumpat.

"Hm." Rere menjawab tanpa minat.

"Kalian saling kenal?" Anya bersorak heboh seorang diri. Matanya berbinar-binar seperti menang lotre. Senyumnya cemerlang. Netra coklat itu memberikan Rere kode yang apabila diterjemahkan berarti 'sikat'.

Rere meringis. Ingin rasanya ia cepat pergi. Sayang tangannya keburu dicekal Anya dari bawah meja. Rere tahu, Anya tidak akan membiarkannya pergi kali ini.

"Enggak!"

"Iya!"

"Oke, aku percaya sama masnya kalau gitu," simpul Anya kala melihat gelagat aneh dari sang sahabat. Pasti ada kisah masa lalu yang belum tuntas, benaknya tersenyum iblis.

"Masnya namanya siapa kalau boleh saya tau."

Anya mengulurkan tangan sembari menyebut nama. Rere mencebik kala suara Anya yang terdengar halus dari biasanya.

"Panggil saja saya Jebi." Lelaki itu membalas ukuran tangan Anya.

Panggil saja saya Jelangkung, penjual bakso borak berformalin yang mangkal depan lampu merah.

Rere mendumel sendiri.

"Oke Mas Jebi, silakan duduk. Jangan terlalu lama berdiri, apalagi terlalu lama sendiri nanti bisa kayak sahabat saya ini lho."

Mata Rere mendelik galak. Namun, karena Anya terlampau batu, jadi tidak Anya hiraukan.

"Jangan panggil mas lah, panggil Jebi aja. Saya hanya senang dipanggil mas sama istri saya nanti," kekehan ringan menemani pria itu.

"Sip, Jebi aja."

Pria itu mengambil duduk di antara Rere dan Anya. "Oh iya, Nya, kamu barusan sempet bilang kalau sahabatmu ini terlalu lama sendiri?" Jebi memberikan lirikkan.

Anya mengangguk antusias. Sementara Rere tidak juga menampilkan raut ramah. Air mukanya seperti hendak menelan orang saja.

"Jomblo?" tanya Jebi entah ke siapa. Tapi diangguki Anya.

Ada senyum mengejek di bibir pria itu kala bertemu dengan pandangan Rere.

"Wah, kebetulan kalo gitu."

"Kebetulan apa, Je?" Masih Anya yang bersedia mengeluarkan suara. Maaf saja, Rere tidak akan sudi mengeluarkan satu huruf pun untuk pria itu.

"Saya juga jomblo soalnya, hehe."

Sudah Rere kira, Anyalah yang paling blingsatan mirip cacing.

"Gak mungkin kebetulan, sih, Je. Ini pasti ada turut campur tangan Tuhan," Anya sok berdiplomatis. Lagaknya seperti Anya pakar asmara saja, sendirinya jomblo juga. Rere sekali lagi berdecih.

Meet MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang