10. Gofood Abal-Abal

2.8K 214 3
                                    

Ibunya selalu bilang, kalau semakin bertambah usia seorang perempuan, maka ia akan semakin sulit mendapatkan pendamping. Terlalu mengindahkan celetukkan para tetangga julid serta nyinyir mirip akun gosip terkemuka dan terdepan di dunia permedsosan, sang ibu kerap kali mendorong anak gadis satu-satunya untuk mencari pacar yang siap menikahi.

Andai saja segampang itu hatinya berlabuh, Rere tidak akan semengenaskan ini dengan status jomblo yang melekat di belakang namanya.

Well, Rere tidak semengenaskan itu kayaknya. Tidak sedikit lelaki yang pernah mendekatinya. Menawarkan sebuah hubungan yang cukup menjanjikan. Bahkan usaha ibunya untuk menjodohkan sudah Rere alami. Sayang beribu sayang, hatinya telah terkunci pada satu nama. Pada rupa yang selalu dipuja di alam bawah sadarnya.

Nareswara Aluhan.

Laki-laki yang tampannya kelewatan serta pesona yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Orang yang masih Rere sayangi dan diam-diam meminta Tuhan untuk lembali mendekatkan mereka berdua. Dan kala doa itu akhirnya terkabul, Rere malah kayak orang sawan yang perlu diselamatkan.

"Aaaaa!!!"

Badannya bergerak menolak diam. Kakinya menghentak-hentak. Tubuhnya berputar. Rere tidak tahu harus mengekspresikan kebahagiaannya dengan cara apa selain jingkrak-jingkrak kayak orang kesurupan.

"Senengnya dalam hati," nyanyinya sumbang. "Kalau diajak kencan. Oh seperti dunia, tak ada yang punya. Aye!!!"

"Rere~ berisik! Kamu ngapain di dalam kamar sampe gaduh begitu? Buka pintunya, Rere!"

Gedoran di pintu tidak Rere hiraukan. Tubuhnya kembali meliuk-liuk seperti ulat, Rere hanya terlalu bahagia.

"Rere buka atau ibu dobrak?!"

Sontak saja Rere menghentikan tarian yang jauh dari kata menari itu. Ancaman ibunya cukup membuat Rere dengan terpaksa berjalan ke daun pintu. Bukan tidak mungkin sang ibu mampu mendobrak pintu dengan kekuatan super mother-nya seperti waktu SMA dulu saat Rere menolak membuka pintu. Rere takut kejadian itu terulang kembali.

"Apa, sih, Bu?"

Desi menenteng rantang susun tiga, mengangsurkan ke depan muka bingung Rere.

"Anterin ke rumahnya Jebi."

Muka bingung Rere masih setia terpatri di sana yang membuat sang ibu berdecak. "Ambil terus kasih ke Jebi. Ibu mau pergi arisan dulu." Desi membawa rantang itu ke tangan sang anak.

"Harus Rere? Kenapa gak ibu aja sekalian keluar mampir dulu ke rumahnya." Rere mengeluh. Sorak sorai gembira tadi menguap seiring nama Jebi disebutkan sang ibu. Nama itu bagai kutukan penghilang gembira untuk Rere. Hanya mendengar namanya saja, darah Rere bergejolak.

"Ibu buru-buru!"

"Bu—"

Terlambat. Desi sudah melenggang pergi meninggalkan suara mobilnya yang kian menghilang. Rere mengangkat rantang tiga susun tersebut yang menguarkan harum masakan. Desehan putus asa lolos dari bibirnya. Mau tidak mau Rere harus mengantarkan makanan ini ke rumah depan.

Rere melangkah dengan tidak ikhlas. Kakinya terasa berat untuk dihela. Lebih kepada diseret sebetulnya ketimbang disebut berjalan.

Tangannya memencet bel dengan anarkis. Andai saja penghuni rumah ini tidak keluar begitu bel dibunyikan, bel rumah si pemilik mungkin sudah tewas.

"Cari siapa, ya,?"

Kepala Rere mendongak tatkala bukan seseorang yang ia kenal muncul membuka pintu. Tubuh tinggi semampai itu membuat Rere merasa kerdil. Kelihatan jomplang sekali. Rere hanya sebatas dagunya barangkali.

Meet MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang