19. Terjebak

3.7K 277 40
                                    

Rere yakin jika otak Jebi telah digadaikan atau yang lebih parahnya lagi sebagian otaknya mengalami disfungsi fatal. Bagaimana bisa Jebi mengatakan kalimat sakral itu dengan enteng dan tanpa beban? Apa yang sebenarnya Jebi pikirkan sebelum mengatakan hal yang akan dipertanggung jawabkannya kemudian?

Kenapa Jebi selalu bikin Rere naik darah?!

Rere jadi menyesal menjadikan Jebi sebagai tumbal jika pada akhirnya justru dirinyalah yang ditumbalkan Jebi. Rere pikir dengan mengajak Jebi ia bisa terhindar dari ucapan nyinyir para kerabatnya, namun takdir berkata lain. Sekarang bagaimana Rere meluruskan masalah ini pada keluarganya kalau antara ia dan Jebi tidak pernah terjalin hubungan menye-menye iyuh-iyuh khas anak ABG.

"Jadi kamu sama Jebi, Re?" tanya Kenan dengan nada menuduh. Sontak saja Rere menggelengkan kepala tak terima. Lelaki masih banyak di dunia ini dan karena saking banyaknya makhluk adam yang bertebaran di bumi, kenapa harus Jebi yang bersikap sok pahlawan untuk membela harga dirinya?

"Nggak, Bang!"

Dua kali sudah Rere dituduh dengan hina oleh abangnya. Kemarin-kemarin Nares, sekarang Jebi. Kenapa bukan Oppo Song Joongki saja sih yang dituduh punya affair dengan Rere. Status duda nggak masalah buat Rere. Yang penting single. Zaman sekarang kan duda lebih menggoda. Bikin ambyar!

"Jangan malu-malu, Re. Ibu dukung kalau kamu Jebi. Anaknya sopan, ganteng, mapan juga. Restu itu nggak perlu diminta lagi, udah ibu sedekahin buat kalian," timpal Desi antusias dengan mata berbinar cerah. Bayangan cucu-cucu manis nan menggemaskan berlarian dalam kepalanya. Desi tersenyum girang. Wanita itu lupa jika beberapa jam yang lalu sudah membuat kehebongan di pernikahan kerabatnya.

Sementara si tersangka utama duduk anteng menyeruput teh hangat buatan sang ibu untuk menemani sidang dadakan ini. Jebi menyugar rambutnya dengan gaya sok keren mendengar pujian Desi tentang dirinya. Matanya bersirobok dengan Rere membuat Rere segera membuang pandangan.

"Jebi cuma main-main, Bu. Jangan dianggap serius lah," ucap Rere dengan tawa dibuat-buat yang hanya bertahan lima detik sebab di ruang tamu itu tidak ada yang ikut tertawa bersamanya. Tengsin, abis! Rere mingkem dulu aja sambil lihatan cicak yang merayap di dinding.

"Saya gak pernah main-main dalam ucapan. Yang saya ucapkan pasti saya pertanggung jawabkan kok," tegas Jebi.

Jederr!!!

Rere kehabisan napas. Ini Jebi menantang baku hantam apa?
Please, kasih tahu Rere dia cuma di prank, kan?

"Jangan ngelawak, Je. Nggak lucu tau!" kesal Rere menahan dongkol. Kalau tidak ada kedua orang tuanya mungkin sekarang Rere sudah menerjang Jebi untuk melaksanakan niat mulianya memberikan jambakan mesra sampai rambut di kepalanya rontok semua.

"Saya serius. Jika kamu siap, keluarga saya akan datang segera," ucap Jebi tak ada main-main dalam katanya, pun demikian dengan sorot matanya.

Laki-laki yang masih memakai baju batik lengan panjang warna pink pucat itu tampak bersungguh-sungguh menyakinkan keluarga Rere. Setelah menggemparkan dengan mengatakan bahwa Rere calon istrinya di hadapan keluarga besar tadi, Damar segera memboyong semua keluarganya untuk menyelesaikan masalah ini di rumah. Sebagai kepala keluarga, Damar tidak ingin masalah ini sampai berlarut-larut tanpa penjelasan. Mengingat tiba-tiba ada lelaki asing yang mengklaim putrinya sebagai calon istri, tentu saja Damar dilanda curiga dan asumsi yang memenuhi kepalanya.

"Ibu siap kok," sela Desi bersemangat. "Niat baik kan gak boleh ditunda-tunda. Nak Jebi juga udah ibu anggap calon menantu selama ini. Seneng kalau mau jadi mantu ibu beneran."

Sepertinya yang terlalu bersemangat dan mendukung penuh hanya Desi seorang. Seakan wanita tua itu yang mau menikah. Rere yakin jika ibunya sudah dipelet Jebi dengan ajian jaran goyang versi marawis.

"Rere gak suka sama Jebi, Bu! Rere gak mau nikah sama dia pokoknya!" tolak Rere seperti anak kecil yang tidak mau mandi karena keasikan main tanah berlumpur.

Damar memijit pelipisnya pelan. Sakit kepala melihat drama yang terjadi di keluarganya sendiri.

"Abang juga lebih setuju kamu sama Jebi daripada si Nares yang sok cool itu. Cowok itu yang dipegang bukan hanya ucapannyanya Re, tapi bagaimana dia bisa mempertanggung jawabkan apa yang sudah dia ucap. Jangan kemakan janji manis tapi busuk mulu."

"Abang gak tahu apa-apa soal dia!" Tunjuk Rere murka. "Dia ini gak seperti yang abang lihat. Jebi lagi berlaga sok-sok'an baik! Jangan ketipu sama tampilan luarnya!"

"Re, jaga mulutmu! Ibu gak pernah ngajarin kamu ngomong sekasar itu."

Rere diam mendapat hardikan ibunya. Semuanya jadi menyalahkan Rere. Yang Rere ucapkan itu betulan, kok. Jebi memang nggak sebaik tampilan luarnya, Rere pernah sakit hati dengan sikap pria itu dulu. Kedatangan Jebi yang tiba-tiba lalu mengacaukan hidupnya membuat Rere mengingat luka lama. Apa pria itu tidak cukup menyakitinya dulu dan ingin melunaskannya sekarang?

"Apa yang dikatakan Rere tidak sepenuhnya salah, Bu. Saya memang pernah menoreh luka di masa lalu, yang sangat saya sesali hingga detik ini." Jebi memandang Rere yang menunduk. "Re, gue pernah salah. Yang terjadi antara kita dulu gak bisa ngerubah penilaian lo terhadap gue sekarang. Gak papa. Gue terima. Tapi satu yang harus lo tahu, bahwa Jebi yang sekarang gak akan labil kayak dulu lagi. Gue bukan lagi remaja ingusan yang salah mengenal cinta, kali ini gue cukup yakin bahwa tempat gue untuk berlabuh dan pulang adalah elo. Lo gak perlu menjawab kesiapan lo saat ini, gue sabar nunggu sampai lo bilang iya."

Terjadi keheningan untuk beberapa saat sampai suara deheman Damar memutus hening. "Saya sebagai kepala rumah tangga tidak bisa memaksakan kehendak. Semuanya Rere yang memutuskan menerima atau menolak. Saya juga belum mengenal nak Jebi sepenuhnya, kapan-kapan temani Om main catur, ya!"

Jebi mengiyakan dengan senyum lebar. Sebodo amat walau ia tidak bisa seujung kuku pun bermain catur. Itu masalah belakangan yang terpenting restu orang tua sudah dikantongi. Jebi tidak tahu mengapa ia bisa segirang ini dan dengan nekad mengklaim Rere sebagai miliknya di hadapan ratusan pasang mata, Jebi memang sudah kehilangan kehawarasan.

"Berarti masalah ini clear, ya? Kalau udah izin mau mandi, gerah soalnya." Kenan bangkit tanpa menunggu persetujuan.

"Ibu juga harus bersih-bersih ini. Nak Jebi juga sebaiknya pulang dan istirahat, pasti capek kan? Nanti malem kita makan bareng-bareng, ya. Ibu masakan yang enak khusus buat nak Jebi. Kan sebentar lagi jadi bagian dari keluarga ini jadi harus membiasakan diri berbaur."

Jebi merasa rikuh, namun dengan cepat mengiyakan ajakan Desi.

"Re, anterin Jebi sampe depan. Jangan galak-galak sama calon mantu ibu," pesan ibunya sebelum menghilang dari pandangan diikuti sang ayah. Menyisakan Rere serta Jebi berdua di ruang tamu.

"Gue sebenernya mau nyakar elo dan buang bangkainya buat jadi santapan ikan-ikan piranha. Tapi denger sendiri, kan, ibu gue udah beramanat supaya baik-baikin, lo. Gue mohon tarik ucapan lo. Lo gak bener-bener pengen nikahin gue, kan? Kalau niat lo cuma buat ngebantuin gue biar gak makin malu di nikahannya si Arumi, gue bener-bener berterima kasih. Tapi jangan dilanjut, ya, niatnya kan pura-pura. Cukup sampai di sini aja, Je." Rere memohon.

"Gak papa kalau lo anggap pura-pura. Gue punya banyak waktu buat yakinin kok, sampe lo sadar kalau gue emang seserius itu sama lo."

"Sekarang coba aja pikirin, semua orang udah tahu kalau lo udah punya calon suami, kerabat lo juga hadir semua kan di nikahan si Arumi, coba lo pikir kalau gue niatnya cuma main-main, apa gak dapat cibiran nantinya kalau gak jadi? Apa tante Desi bakal dinyinyirin kayak tadi lagi? Tega ngelihat ibu lo kembali dihujat? Karena lo pintar, lo tahu kan apa yang harus lo lakuin," tutup Jebi memberikan seringai lebar sebelum beranjak pergi tanpa diantar Rere.

"Tuhan ... dosa gue banyak kayaknya." Rere meratap pilu.

Meet MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang