7. Kembalinya Jebi

3.3K 266 6
                                    

"Nya, lo emang bener-bener nyebelin!" Rere menerobos masuk ke kamar sahabatnya. Rere sempat bertemu ibu sahabatnya di bawah dan menyapa sebentar demi sikap sopan santun.

Anya menatap sekilas, lalu melanjutkan mewarnai kuku-kukunya dengan tenang.

Rere melempar punggungnya di kasur empuk milik Anya. Netranya melirik si tersangka yang tetap anteng meniup kuku-kuku cantiknya. "Ada siasat apa lo sama Jebi?"

"Gak ada."

Rere mendecih sinis, merangkak menjangkau Anya yang duduk di depan meja rias. "Katanya lo gak mau ikut campur. Terus apa-apan sekarang pake ngebeberin semuanya ke si Jebi? Mau lo apa sih, Nya?"

"Si Jebi cuma nanyain tempat tinggal lo doang. Dia nanya, masa gue gak jawab."

"Gak percaya gue." Kedua tangannya bersedekap di dada. Melayangkan tatapan menuntut.

"Bener, Re. Demi jadi milyader tujuh turunan gue! Sumpah!" Raut Anya berubah serius, mau tak mau Rere mempercayainya.

Kembali berbaring, Rere menatap langit-langit kamar bernuansa putih itu. "Kemarin si Jebi ke rumah gue coba," Rere mulai curhat.

"Yang bener? Gila! Nekat bener tuh orang." Anya tak habis pikir tentang aksi nekat Jebi sampai berani bertamu ke rumah sahabatnya.

Rere mengambil bantal, mendekapnya erat. "Lo tau, Nya, hal gila apa lagi yang tuh orang lakuin?" tanyanya dramatis.

"Apa?"

"Sebuah fakta yang bikin gue tercengang ampir ngejengkang bahwa gue sama si Jebi ternyata tetangga!"

Bantal tak berdosa itu diremas Rere dengan kuat, lalu dibanting ke kasur beberapa kali sampai isi bantal itu berhamburan keluar.

"Bantal gue, Re!" teriak Anya panik mendapati bantalnya sudah tewas di tangan sang sahabat.

Rere nyengir, "sori."

"Sialan lo! Ini udah yang keberapa kalinya gue mesti ganti bantal akibat keberingasan lo?!"

Yeah ... ini bukan kali pertama buat Rere merusak bantal Anya. Tiap kali kesal gadis itu dirundung amarah dan kebetulan sedang berada di kamarnya, maka Anya harus dengan kelapangan hati kalau-kalau bantalnya menjadi korban kekerasan sang sahabat.  Kalau saja bantal itu bernyawa mungkin sudah menuntut Rere ke pengadilan.

"Tibang bantal ini, Nya. Keluarga lo kan tajir, bantal satu doang gak berat di kantong beli yang baru."

"Rugi keluarga gue kalau lo rusakin mulu."

"Jangan ngalihin pembicaraan, deh. Ngaku lo sama Jebi udah ngapain aja?"

"Ngapain dalam artian paan, nih?"

Rere berdecak. "Info apa aja yang lo bagi sama si Jebi tentang gue!"

Anya pura-pura budeg. Gadis itu malah memainkan kukunya yang habis diwarnai warna merah bata.

"Lo gak percayaan amat, sih, ma gue. Kita temenan udah berapa lama coba?"

Jemarinya terangkat. Rere menghitung sembari mengingat.

1, 2, 3, "Lima tahun."

"Enam bego!"

Rere mengerjap, lalu mengangguk membenarkan.

"Gue bingung sama kalian berdua. Terutama elo, Re. Sejak ketemu di resto, sikap lo kayak orang yang punya dendam kesumat. Apa sih yang terjadi antara kalian?"

Mata Rere memejam. Mengingat kenangan masa SMA-nya yang menyebalkan. "Kita dulu temenan."

"Hm, terus?"

Meet MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang