5. Tetanggaan

4.1K 313 2
                                    

"Ibu gak pernah ngajarin kamu bersikap gak sopan sama orang. Dari kecil ibu ngedidik anak-anak ibu supaya bisa ngehargain orang lain tanpa pandang bulu."

Telinga Rere saat ini mungkin sudah memerah dalam artian harfiah. Pulang belanja tadi, ibunya tiba-tiba menjewer telingan Rere sampai gadis itu memekik minta ampun. Entah apa yang terjadi sampai sang ibu menjadi beringas macam itu.

Tangannya masih setia mengusap telinga. Untuk mengurangi panas yang menjalar akibat jeweran, sekaligus meredam omelan ibunya. Suara ibunya yang tidak kalah dari teriakan maling jemuran itu cukup membuat penging mendadak. Jadi, untuk keamanan indra pendengarnya agar tetap sehat wal afiat serta berfungsi sebagai mana mestinya, Rere memilih untuk mengurangi intonasi omelan ibunya dengan membekap telinganya sekalian.

Wajah Rere sudah keruh sedari tadi. Hanya ada ia dan ibunya di rumah. Sementara para laki-laki pergi bekerja. Rere beruntung untuk itu, karena kakak dan ayahnya tidak ikut andil mengomentari sikap yang kata ibunya jauh dari kata sopan.

"Dengerin ibu ngomong gak, Re?!" Desi menarik tangan Rere yang menutupi telinga. Menatap garang Rere. Yang diberi atensi justru nyengir seakan tak terjadi masalah.

"Denger, Bu. Telinga Rere masih berfungsi dengan baik sejauh ini."

Desi kembali meneruskan memotong sayuran dengan tetap memberi atensi pada anaknya. "Kamu harusnya minta maaf," putus Desi sepihak.

Rere sudah akan menyanggah, namun mulutnya terkatup rapat. Bisa bahaya apabila ibunya kembali menguliahinya dengan materi 'cara bersikap santun terhadap orang baru'. Jadi, lebih baik diam karena diam lebih aman.

"Kamu tuh kebiasaan orang tua ngomong suka gak dianggap," Desi berdecak. "Daripada diam gak jelas mending bantuin ibu masak. Cuci ikannya, tuh."

Rere manut. "Iya, Rere bantuin. Tapi kalau terjadi perang dunia yang meluluhlantahkan dapur ibu tersayang ini, jangan salahin Rere."

"Lihat aja kalau kamu berani berantakan dapur ibu. Gak ibu kasih jatah makan baru tahu rasa!"

Alamak. Ibunya kok makin hari makin jahat. Rere ini benar anak kandungnya bukan sih? Atau jangan-jangan Rere ini anak orang yang dipungut ibu di pinggir jalan?

Haduh, Re, kepalamu itu minta disleding emang.

Mengingat kemiripan wajah Rere dengan sang ibu lebih banyak dibanding ayahnya, maka sekali lihat saja orang bakal tahu kalau ia adalah anak kandung sang ibu.

Seakan tersadar, Rere mengamati belanja sang ibu yang tampak lebih 'wah' dari biasanya. Ada daging, ikan, sayur mayur sampai buah-buahan ibunya borong dari tukang sayur. Padahal nih, ibunya itu tidak mau repot masak banyak kalau bukan untuk acara-acara tertentu. Ada apakah gerangan? Apa sang ibu tiba-tiba mendapat wangsit untuk menyenangkan perut Rere dengan makanan super banyak dan teruji kelezatannya ini?

Rere sih bahagia. Gak tahu kalau si mantan. Eh, malah nyambung ke mantan lagi. Dasar gagal move on!

Tolong kasih tahu Rere tempat melenyapkan kenangan mantan yang selalu datang tiba-tiba tanpa terduga!

"Bu, tumben masak banyak. Ada angin apa?"

Desi menghentikan memotong bumbu untuk membuat ayam rica-rica. Wajahnya berseri berlebihan yang membuat Rere jadi berpikir curiga.

Abis kejeduk apaan nih ibu gue?

"Sekali-kali gak papa lah ibu masak banyak."

"Ibu abis menang arisan, ya?"

Kepala ibunya menggeleng. Rere ingat terakhir kali ibu masak seabreg adalah kala menang arisan beberapa bulan lalu.

"Terus apa dong? Kalau gak menang arisan apa mungkin ibu menang togel?" tanya Rere ngaco yang dibalas dengan cubitan. Ibunya suka sekali menganiaya fisiknya. Walau cubitan ibunya itu tidak seberapa sakit, hanya kadang Rere menanggapinya terlalu berlebihan. Lebih mengarah ke lebay mungkin.

"Ibu mau ngundang seseorang. Jadi biar kesan utamanya bagus, ibu wajib menjamu dengan dengan layak."

Rere selesai mencuci ikannya bermenit-menit lalu, yang Rere lakukan saat ini tidak lebih dari memainkan air wastafel. Istilah membantu sang ibu hanya Rere anggap angin lalu. Ya, kadang Rere memang nggak seberguna itu. Rere sadar sih, tapi karena sudah kepalang sifat malasnya seperti mendarah daging. Menyatu dalam aliran darahnya. Mau bagaimana lagi kan?

"Siapa? Kok kayaknya ibu kelihatan seneng."

"Iyalah seneng orang tamunya cowok ganteng."

Rere menatap horor. "Inget ayah, Bu! Istigfar coba. Jangan main hati sama cowok lain," tuturnya sok bijak.

Tentu saja ibunya itu tersinggung. Desi berkacak pinggang. "Suudzon terus sama orang tua sendiri. Cinta ibu udah abis sama ayahmu, gak tersisa buat cowok lain. Lagian ibu mana mau sama cowok yang seumuran kamu. Cepet bantuin ibu masak jangan mainin air terus. Air PAM mahal sekarang!"

Tangannya mematikan pancuran air. Rere tidak mau bikin ibunya darah tinggi karena sering marah-marah.

"Rere penasaran, siapa sih orang itu sampe buat ibu repot."

"Itu lho kamu tahu kan rumah bekas keluarga Pak Hanung?"

Kepala Rere mengangguk, teringat rumah menimalis yang terlihat nyaman di sebrang jalan yang berhadapan dengan rumahnya. Rumah itu beberapa bulan terakhir memang tidak ada yang menempati dikarenakan keluarga Pak Hanung sudah membeli rumah yang lebih besar. Maklum, orang kaya mah bebas. Beli rumah tinggal menjentikkan jari pun jadi. Apalah daya sobat missqueen nan pengangguran macam Rere yang serba susah.

"Kenapa sama rumah itu? Ibu mau membelinya?" Rere bertanya bingung.

"Satu aja gak abis-abis, Re!" Desi mulai gemas. "Rumah itu udah ada yang nempati. Kata ibu-ibu yang hobi ngegosip di gang depan, rumah itu katanya diisi sama saudaranya Pak hanung yang sebelumnya tinggal di luar kota."

"Terus urusannya sama kita apa?"

"Nah ini nih gara-gara kamu!" tuduh ibunya menunjuk tepat ke hidung gagal mancung milik Rere.

"Kok nyalahin Rere? Emang Rere bikin masalah apa?"

"Pake nanya lagi! Gara-gara sikap kamu yang gak sopan sama yang bertamu kesini kemarin malam, ibu jadi gak enaklah sama dia. Jadi, ibu ngundang makan siang bareng hari ini sebagai ucapan permintaan maaf. Cowoknya ganteng lho Re, sopan lagi. Masuk kriteria menantu ideal idaman mertua."

Kepala Rere memproses lambat.

Tamu?

Kemarin malam?

Cowok?

Mata Rere melebar, jantungnya nyaris berhenti berdetak barang satu detik. Demi apa? Ibu nggak lagi nge-prank Rere kan?

Sumpah, Rere nggak akan bisa terima kalau orang yang dimaksud ibu sama dengan yang ada dalam kepalanya saat ini.

"Namanya siapa, Bu?" Rere bergumam lirih. Memasang telinga baik-baik.

"Nama panjangnya sih Aljebiard Irhan, tapi kata orangnya panggil aja Jebi."

Ibu sudah kembali menekuri masakannya. Sementara Rere? Tenang, Rere masih napas kok. Tapi mendadak kepalanya seperti berkunang-kunang. Badannya tiba-tiba lemas. Rere seperti kehilangan semangat hidup.

Sial, nama Jebi emang penyakit.

Meet MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang