"Nak Jebi, kalau butuh apa-apa jangan sungkan. Bilang aja sama Ibu atau Rere, kami pasti bantu. Namanya hidup bertetangga kan harus saling tolong-menolong, bahu membahu."
Kepala pemuda itu mengangguk sambil menarik kedua ujung bibirnya memperlihatkan deretan giginya yang putih sebahis disikat gigi tapi belum mandi itu. Maklum, hari ini udara terasa menusuk kulit sehingga kulit Jebi tiba-tiba saja alergi ketemu air. Jadilah Jebi absen dulu mandi pagi. Entah kalau sore, tunggu saja.
"Iya, Tante nanti saya pasti bilang kalau perlu bantuan," sahutnya berusaha sopan.
Sebetulnya, Jebi sudah diwanti-wanti sama pamannya tentang tetangga depan rumah. Wakil kepala keluarga rumah bercat telor asin itu terbilang pelit naudzubillah, menurut penuturan sang paman kala di suatu hari Jebi mengutarakan untuk tinggal di mantan rumah pamannya. Selain pelit yang tidak kira-kira, ibu dari teman semasa SMA-nya itu—fakta yang baru saja ia ketahui—terkenal dengan galaknya yang ngalahin penagih hutang.
Bukan tanpa sebab pamannya menebar aib demikian, itu tak lain karena sang paman sudah khatam merasakan kekejamannya.
Jebi jadi meragu, apa ia perlu percaya pada ucapan pamannya kala fakta di lapangan berbicara sebaliknya?
"Gak usah formal gitu panggilannya."
Alis Jebi menukik, bingung akan kata-kata formal yang tersemat pada ucapan wanita paruh baya yang masih terlihat anggun itu. Formal bagian mananya coba? Menurut Jebi, sih, wajar-wajar saja.
Si tante mabok kali.
Jebi langsung menggampar mulutnya akan ucapan batin yang tidak mungkin teruji kebenarannya. Orang waras mana yang mabuk pagi-pagi? Udah tua pula? Ups. Mungkin otak Jebi sedang dalam mode error kali sampai ia berkata dalam hatipun yang disalahkan mulutnya.
"Panggil Ibu, saja. Nak Jebi kan di kota ini hidup sendiri, jadi anggap tante ini sebagai ibunya Jebi. Ibu juga udah nganggap Nak Jebi bagian dari keluarga Ibu." Wanita usia pertengahan abad itu tak henti-hentinya menebar senyum yang semoga saja tidak membuat giginya kering serta bibirnya kram seketika.
"Apa gak masalah saya panggil Ibu, takutnya nanti ada yang marah lagi." Jebi menanggapi santai.
"Aduh nak Jebi ini saya malah seneng kok dipanggil Ibu. Berasa punya anak lagi selain Kenan dan Rere."
Jebi bingung dengan kedatangan ibu Rere pagi ini yang tiba-tiba membawakannya sarapan. Katanya, dia teringat Jebi yang barangkali belum sarapan. Jebi tentu saja senang bukan main diberi sarapan gratis saat perutnya melakukan demo besar-besaran di dalam sana. Masakan ibu Rere ini benar-benar nikmat yang membuat ketagihan. Nasib tinggal sendiri ya gini, menerima makanan siap saji yang dibawakan tetangga karena tidak ada yang mau memasakannya.
Dipikir-pikir mungkin Jebi harus mencari asisten rumah tangga nanti.
"Kalau dianggap anak sama wanita secantik Ibu, sih, saya senang."
Kontan saja Desi tersipu dengan ucapan Jebi. "Bisa aja Nak Jebi, saya sudah tua lho, sudah lima dua."
"Masa, sih? Tapi ibu kelihatan kayak lima satu."
Bibir Desi cemberut. Hati yang baru berbunga-bunga sehabis dipuji kini bunga itu kuncup sudah.
"Saya becanda, Bu. Serius saya gak boong, ibu memang kelihatan masih cantik di usia ibu sekarang."
"Nak Jebi gak lagi nge-prank ibu lagi, kan?" tuduh Desi.
Tontonan macam apa yang ibu Rere tonton selain sinetron azab di televisi ikan terbang?
Jebi menggelengkan kepala. Wajahnya serius kali ini. "Beneran, Bu. Swear saya," ucapnya sungguh-sungguh.
"Hahaha ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet Mate
ChickLitKamu jomblo? Korban gagal move on? Punya ibu yang cerewetnya minta ampun karena lihat anak tetangga udah pada gendong bayi? Oh ... betapa ngenesnya hidupmu! Redeisha Gifani harus mengalami itu semua. Sudah jomblo, setiap ada pertemuan keluarga yang...