16. Patah Kedua

2.7K 197 5
                                    

Langkah Jebi terhenti. Matanya menyipit saat mengenal seseorang di depan sana tengah mematung di depan etalase sebuah toko pakaian.

"Rere!!!" teriaknya narsis seraya melambai-lambaikan tangan.

Mata Rere membola. Melirik ke kanan kiri untuk mengetahui siapa gerangan yang mengaungkan namanya dengan tidak keren di tengah hiruk piruk para pengunjung pusat perbelanjaan ini, lalu netranya terhenti di satu titik. Alarm dalam kepalanya berdengung. Tanpa pikir panjang kali lebar tambah volume, Rere memilih kabur.

"Dunia sempit banget elah. Gak di rumah, gak di mall, gak di alam ghaib tuh orang muncul mendadak mulu udah kayak setan!" Rere mendumel. Tak diindahkannya panggilan yang menyebut namanya yang terasa semakin dekat. Langkahnya dibuat cepat. Sayang beribu sayang, secepat apapun kakinya melangkah, Jebi jelas lebih unggul dengan kaki panjangnya.

Rere mengutuk tidak adil diberi kaki lebih pendek dari punya Jebi.

"Kok kabur? Gue bukan rentenir lagi."

Rere bersedekap. "Lo gak malu teriak-teriak udah kayak di hutan?" sengitnya. Matanya menyorot geram. "Heran gue, sikap lo banyak minusnya!"

Laki-laki yang masih lengkap dengan pakaian kantor—tanpa jas itu tersenyum lebar. "Sori, Re. Abis gue seneng banget ketemu lo."

Mulut Rere nyaris terbuka. Namun karena sadar itu akan mengurangi kadar kecantikannya, Rere mengatupkan kembali.

Mungkin otak laki-laki ini sudah digadaikan atau diganti dengan barang cacat? Mereka bertetangga lho, dipastikan hampir tiap waktu bertemu walau sebenarnya Rere jengah melihat tampang Jebi. Apalagi tanpa Rere ketahui diam-diam abangnya ternyata sudah akrab dengan Jebi. Pernah beberapa kali main ke rumah untuk tanding ps.

Dan apa tadi yang orang ini bilang? Dia senang bertemu Rere sedangkan keduanya sering bersinggungan di tempat mereka tinggal.  Fix! Kadar keanehan Jebi semakin mengerikan tiap harinya.

"Sikap lo itu norak tau!"

"Lo masih marah sama gue?" Tampang Jebi berubah serius. "Belum maafin gue gara-gara waktu itu?"

Rere menyandarkan punggung pada pinggiran pagar pembatas mall lantai tiga. "Penting buat lo? Emang lo pernah peduli sama perasaan gue? Jangan sok baik deh kalau ujungnya bikin gue muak." Rere membuang muka.

"Gue labil waktu itu. Gue gak maksud buat nyakitin elo, Re. Patah hati emang bikin manusia jadi goblok." Jebi menatap Rere dalam. "Waktu gue ngomong kata-kata kasar di rooftop sekolah itu, otak gue lagi gak sinkron. Gue nyesel setelah ngelihat lo pergi sambil nampar gue. Dan bodohnya gue baru sadar setelah kena tamparan lo yang cukup keras. Gue bahkan masih inget perihnya di pipi gue." Tangan Jebi spontan menyuntuh pipinya yang sempat dihadiahi Rere.

"Karna lo patah hati terus gue harus maklumin gitu kata-kata kasar lo ke gue? Enak banget ya." Rere melayangkan senyum sinis. Matanya menatap Jebi tak suka.

"Bukan gitu maksud gue. Sikap gue emang gak harus lo maklumin Re, gue sepenuhnya sadar apa yang gue ucapin. Lo satu-satunya cewek di sekolah yang gak tertarik sama gue. Itu kenapa gue betah temenan sama lo. Dan seharusnya gue gak ngelampiasin patah hati gue ke lo yang bahkan masih ada di sisi gue saat keadaan gue lagi kacau. Gue emang brengsek, Re. Tapi gue gak mau biarin masalah ini berlarut-larut tanpa penyelesaian." Jebi menarik napas panjang. "Gue coba ngehubungin lo paginya, tapi hp lo gak aktif. Gue mau ke rumah lo buat minta maaf, tapi bodohnya gue sampe gak tau alamat rumah temen gue sendiri."

Beberapa pasang mata tampak tertarik memandang dua manusia di tengah-tengah pusat perbelanjaan yang berseteru tegang. Bahkan ada yang di antara mereka sengaja merekam kalau-kalau saja ada adegan yang bisa menjadi viral.

Meet MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang