Undangan makan siang Jebi ke rumahnya bukan perkara yang dapat diterima dengan lapang dada serba tangan terbuka untuk seorang Rere. Sepanjang makan bersama siang itu, Rere tak henti-hentinya melayangkan tatapan membunuh pada si tersangka tunggal dalam kasus ini. Kalau saja ibunya tidak ada di antara mereka, sudah Rere pastikan kali ini Jebi tidak akan selamat.
Kedatangannya dengan sok manis ditambah membawa buah tangan dari salah satu toko kue terkenal di kota ini membuat Rere muak saja. Beda lagi dengan ibunya, wanita itu justru menyambut hangat Jebi dengan penuh kasih. Ibunya terlalu polos untuk mengerti kalau Jebi tidaklah semanis cangkang luarnya.
Dan, demi apa?! Kali ini Rere yakin seyakin-yakinnya kalau Rere dijebak. Mirisnya, yang menjebak adalah sang ibu sendiri. Dengan dalih kekenyangan yang mengakibatkan mata terasa berat juga tubuhnya yang lelah, ibu tiba-tiba undur diri untuk mengistirahatkan tubuh di kamar. Tentu saja Rere tidak mempercayai bualan tersebut. Penciuman tajam Rere mencium bau-bau 'pencalonan suami untuk Rere'.
"Gila! Kita bisa tetanggan gini, Re. Lo pernah mikir kayak yang gue pikirin gak?"
Rere ogah menjawab. Spesies macam Jebi layaknya sudah punah sekalian. Namun, rupanya Tuhan masuh menyisihkan satu.
"Makasih ya, Re, elo udah berbaik hati ngundang gue makan siang bersama. Elo ternyata seperhatian ini sama tetangga."
"Sebelum elo salah paham, gue mau ngelurusin beberapa hal. Pertama, gue gak akan sudi ngundang lo makan bersama. Yang terjadi adalah nyokap gue yang ngundang. Kedua, gue masih waras untuk nendang lo sekarang juga kalau lo ngeluarin kata-kata menjijikkan kayak barusan. Ketiga, mending lo pulang sana. Sepet mata gue lihat wajah lo."
Bukannya tersinggung, Jebi malah nyengir nggak jelas. Kalau saja tidak diancam ibunya, Rere ingin sekali melakukan niat mulia dengan memaki Jebi. Sayang, sang ibu keburu melayangkan amunisi yang membuat Rere tidak bisa berkutik.
Tidak diberi uang jajan untuk satu minggu kedepan adalah hal paling mengerikan untuk seorang pengangguran macam Rere. Makanya, walau dengan berat hati, Rere menyanggapi dengan setengah hati.
"Jangan judes-judes sama gue. Tiap hari bakal ketemu terus."
"Males banget tiap hari harus lihat wajah elo!"
"Biasain dari sekarang, dong."
Cowok yang siang ini memakai kaos polo warna navy serta celana jeans coklat selutut itu menatap Rere yang lagi-lagi selalu memamerkan wajah cemberut. Kadang Jebi suka heran sendiri, Rere itu spesialis wajah cemberut, ya?
"Lo kenapa mesti pindah kesini, sih?" tanya Rere mengeluarkan unek-unek.
"Kantor mutasi gue pindah ke kota ini. Kebetulan juga ada rumah paman yang gak ke pake. Jadi, ya, udah deh gue terima aja. Eh, ternyata malah ketemu elo pas di resto bareng Anya. Kalau gue gak tanya dia dimana alamat lo tinggal, mungkin gue gak akan pernah tau kalau kita tetanggaan."
Rere menatap Jebi. Sebenarnya, Jebi cukup asyik sebagai teman, dulu. Sekarang Rere nggak punya bayangan bisa mengembalikan pertemanan mereka seperti saat SMA. Jebi terlalu membuatnya kecewa. Dan Rere tidak suka dikecewakan untuk kedua kalinya. Anggap saja sikap Rere kekanak-kanakkan, tapi Rere nggak peduli. Jebi menyakitinya dan Rere tidak mentolerir kesalahan serupa.
"Fakta buruk banget gue harus punya tetangga macam lo," desah Rere terdengar nelangsa.
Jebi tahu, kemarahan serta sikap Rere padanya bukan tanpa alasan. Jebi juga harusnya sadar diri dengan tidak menunjukkan kehadirannya dengan sengaja di hadapan wanita itu. Tapi, Jebi tidak bisa.
Saat melihat Rere di resto tempo hari, sepasang kakinya malah menghianati si tubuh dengan membawa ke hadapan Rere. Harusnya Jebi berhenti di sana, bukan malah menggali informasi lebih dalam dari Anya. Lalu fakta bahwa mereka ternyata tinggal di kawasan yang sama, membuat Jebi tidak bisa menarik mundur langkahnya. Sekali pun ingin, hatinya tidak mengizinkan.
"Tetanggaan sama orang cakep lho ini. Gak bakal rugi!"
Najis memang sifat Jebi yang sok narsis itu. Kepercayaan diri cowok ini memang mengerikan. Haruskah Rere menyarankan Jebi buat diruqyah saja?
"Ketiban sial yang ada!" balas Rere menolak mentah-mentah argumen Jebi. Enak saja dia ngomong kepedean, belum apa-apa Rere sudah rugi besar. Belum lagi hari-hari esok. Uh, Rere makin sebal rasanya.
"Jujur banget, elah. Mau ngaku tapi malu, ya? Gak papa, gue ngerti kok."
Tuh, kan. Apa Rere bilang, Jebi ini memang manusia paling narsis yang pernah Rere temui sepanjang duapuluh empat hidupnya di dunia yang dipenuhi sosok-sosok manusia kurang berfaedah.
"Malu ndasmu!"
Jebi terkekeh.
Sinting nih orang! Mulut bungkam, maka hati yang memaki. Itulah motto hidup Rere.
"Pulang, Je. Mau sampe kapan di rumah orang."
"Di rumah gue sepi. Nggak enak. Mending di sini rame ada elonya. Ada temen bicara kan gue."
Rere menatap Jebi rendah. "Kalau gitu bayar! Gak sudi gue ngeluarin kata, percuma kalau gak jadi duit."
"Astaga, Re, sejak kapan lo jadi matre gini? Perasaan dulu lo kalem, deh."
Rere nggak perlu tersinggung dikatai matre sebab Jebi bukanlah orang pertama yang menyebut demikian.
"Sejak Naruto pensiun dari dunia peranimean dan memutuskan main di film azab!" balas Rere sebodo amat.
Di tempatnya duduk, Jebi ngakak sampai memegangi perut. "Bisa ae tutup termos."
"Udah, ah, gue mau masuk! Bisa gila gue ngeladenin lo lama-lama."
Sebelum masuk ke dalam rumah, Jebi menarik pergelangan tangannya. Rere mematung sesaat, melirik tangan besar itu yang melingkupinya. Cekalan tangan Jebi begitu erat.
"Gue seneng bisa ketemu lo lagi." Jebi tersenyum tulus.
***
Tempat persembunyiannya begitu strategis. Netranya dapat menangkap hal-hal apa saja yang terjadi di sana. Tidak dia lewatkan sedikit pun. Walau pun entah apa yang dua insan itu bicarakan. Sebab dari tempatnya berdiri tidak bisa mendengar jelas. Bukan masalah sih sebenarnya, yang penting rencananya sesuai harapan.
Lalu, mata Desi membeliak sempurna. Senyum girang terpatri pada wajah keriputnya. Hatinya seakan bergemuruh memandang tautan yang terjalin. Bayangan memiliki cucu-cucu lucu nan menggemaskan berlarian dalam kepala.
Misi menjebak calon menantu.
Oke, mungkin agak keterlaluan. Tapi siapa peduli. Desi hanyalah seorang ibu yang mengidamkan anaknya segera menikah. Rumah ini terasa sepi tanpa tangisan bayi. Mengingat para teman arisannya selalu mengagungkan cucu-cucu mereka, Desi jadi panas. Dia juga nggak mau kalah. Apa pun akan ia lakukan untuk dapat cucu. Termasuk dengan menjebak si calon menantu.
Jebi adalah kandidat yang ideal.
Ganteng, sopan, kaya, berpendidikan. Dan yang paling penting masih single! Ada untungnya juga bergosip sambil belanja ia jadi banyak informasi.
Hidup gosip!
Tentu Desi tidak akan melewatkannya begitu saja. Desi tahu ini tidaklah mudah. Jalannya tidak akan semulus yang ia bayangkan. Desi sudah menerka semua itu sebelum menjadikan Jebi tumbal rencana gilanya.
"Aku harus bisa bikin Jebi berletuk lutut di bawah jemari kelingking kaki Rere," tekadnya penuh semangat.
"Hoammm." Desi menguap. Tindakan mematai-matainya membikin mata wanita paruh baya itu terasa berat. "Bobo cantik dulu, ah, biar dapet ide ngejebak mantu," kikiknya meninggalkan lemari tempat persembunyian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet Mate
ChickLitKamu jomblo? Korban gagal move on? Punya ibu yang cerewetnya minta ampun karena lihat anak tetangga udah pada gendong bayi? Oh ... betapa ngenesnya hidupmu! Redeisha Gifani harus mengalami itu semua. Sudah jomblo, setiap ada pertemuan keluarga yang...