"Kenyang nangisnya?" Adalah kalimat pertama yang diucapkan Jebi.
Keduanya kini sedang berjalan-jalan menyusuri taman kompleks yang tidak jauh dari tempat keduanya tinggal.
Rere cemberut. Padahal ia sudah berhenti menangis semasih di rumah. Itu pula yang membuat Jebi berinisiatif membawa Rere keluar untuk mencerahkan pikiran wanita itu katanya saat pamit pada sang ibu tadi.
"Lo kok ngeselin, sih?" Kali ini, untuk pertama kalinya juga Rere tidak menambahi nada permusuhan dalam suaranya.
Jebi diam, lalu menatap Rere dengan mata terbelalak yang berlangsung dua detik. Mungkin Jebi merasa kaget karena tidak lagi mendapati ucapan ngegas yang biasa perempuan itu berikan khusus untuknya. Meskipun waktu itu sempat berbaikan, namun kali ini terasa ada yang berada.
"Duduk yuk, pegel."
Rere mengiyakan mengikuti langkah Jebi. Mereka menemukan kursi kosong di bawah pohon akasia. Pohon tersebut cukup menaungi siapun yang berteduh di bawahnya dari sengatan matahari.
Semilir angin membuat bunga dari pohon tersebut berguguran sedikit. Kebisuan mengambil alih. Keduanya merasa dimanjakan dengan sapuan angin yang menyejukkan menyentuh pori-pori kulit. Tanpa bisa dicegah, mata Jebi melirik teman sebangkunya. Kali ini, perempuan itu tidak menguncir rambutnya. Dibiarkannya rambut itu beterbangan dibawa angin. Membuatnya jauh indah di mata Jebi. Apalagi dengn bergugurannya bunga akasia, salah satu bunga tersebut hinggap di atas kepala Rere.
"Cantik," gumam Jebi.
Merasa ada yang berbicara, Rere menoleh ke samping dengan pandangan bertanya. "Apa, Je?"
Jebi mengerjap. "Apanya yang apa?" Ia merutuk pemilihan katanya yang dirasa membingungkan.
"Tadi lo ngomong apaan gue gak denger jelas."
"Ngg ... oh, itu di kepala lo ada bunganya."
Tangan Rere terangkat hendak meraihnya sebelum tangan lain mendahului.
"Nih, bener kan." Jebi memperlihatkan.
"Bunganya cantik. Kayak bunga sakura, ya."
"Iya, cantik. Cantik banget," ujar Jebi dengan pandangan lurus ke arah Rere. Sementara Rere memperhatikan bunga yang ia dapatkan dari sapuan angin.
"Gue emang cantik nggak usah terpesona gitu lah." Rere nyengir bangga.
"Hah? Apaan sih! Narsis beut! Maksudnya kan bunganya." Jebi mengalihkan pandang.
"Terus gue gak cantik gitu? Lo mau bilang gue kalah saing sama bunga akasia ini?" tuntut Rere.
"Lo kenapa jadi ngegas lagi, deh. Gak takut meledak apa."
"Ish, Jebi! Ngeselin banget lo!" Rere melipat tangan di dada. Apa sih susahnya bilang iya gitu. Sebagai seorang perempuan tulen dari masih dalam kandungan, Rere juga mau kali dipuji cantik. Siapa sih yang nggak mau dibilang cantik? Pasti semua wanita mengharapkan itu, kan. Apa salah kalau Rere juga mengharapkan hal serupa?
Tunggu, kayak ada yang keliru?
Batinnya yang waras memprotes.
Ini masih dengan Rere, kan? Rere putri dari pasangan Desi dan Damar Ibrahim. Kenapa sekarang Rere jadi merajuk hanya karena persoalan remeh lenjeh-lenjeh gini, sih. Kemana Rere yang senggol bacok menghilang? Kembalikan Rere yang dulu!
"Lo marah gak gue bilang cantik? Sebegitu pengennya kah?" ucap Jebi dengan nada jail.
Rere mencebik. "Dih, sori ya, gak perlu lo ungkapkan pun semua orang juga punya mata untuk bisa menilai. Gue cantik dari lahir, sih. Udah. Titik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet Mate
ChickLitKamu jomblo? Korban gagal move on? Punya ibu yang cerewetnya minta ampun karena lihat anak tetangga udah pada gendong bayi? Oh ... betapa ngenesnya hidupmu! Redeisha Gifani harus mengalami itu semua. Sudah jomblo, setiap ada pertemuan keluarga yang...