17. Harus Punya Gandengan

2.8K 219 30
                                    

"Ibu tuh empet banget lihat saudara-saudara kita yang tanya mantu mulu sama ibu. Mentang-mentang anaknya udah pada nikah dan punya gandengan, dikira anak ibu gak laku karena belum nikah-nikah. Apalagi si Yuni tuh, bangga banget anak nikah tekdung duluan juga malah sok-sokan. Malah jelek-jelekin anak ibu yang katanya perawan tua. Kalau aja ayahmu gak nahan ibu, udah ibu bikin gak berbentuk tuh mulutnya si Yuni! Sembarangan aja ngatain anak orang!"

Kepala Rere mengangguk takjim dengan dumelan sang ibu pagi ini. Setelah beberapa hari kemarin sibuk membantu persiapan pernikahan Arumi, pagi ini Rere dengan pasrah menerima keluh kesahnya. Sambil sesekali mencomot kue kering yang aromanya menggugah selera karena baru fresh the oven. Ibunya memang pandai memasak dan membuat kue. Meski bakat tersebut tidak menurun pada anak gadisnya.

Rere bangga mempunyai Desi sebagai ibu. Meskipun terkadang mulut wanita itu cerewet apalagi kalau merambat ke status Rere yang masih sendiri, bisa langsung panas kupingnya. Tapi kalau ada yang mengatai jelek anak-anaknya, Desi pasti pasang badan. Sebenarnya bukan sekali dua kali Rere dikatai hal yang mencubit harga dirinya sebagai wanita dewasa dengan umur yang pas untuk menjalin rumah tangga. Hanya saja Rere tidak ambil pusing. Cukup ibunya saja yang bikin pusing, ucapan orang lain nggak perlulah ikut-ikitan.

Lagian Rere heran, orang-orang itu kenapa seperti kebakaran jenggot sih dengan status kejombloan Rere? Apa dunia akan kiamat kalau seandainya Rere tidak menikah? Nggak, kan.

"Re, Jangan dicemilin mulu! abis itu kue buat dibawa ke rumah orang tuanya Arumi nanti."

"Dikit, Bu. Abis aroma dan rasanya bikin ngiler ini."

Kepala Desi hanya bisa menggeleng pasrah. Rere memang sulit di kasih tahu. Membantu tidak, menghabiskan iya. Untung saja stok sabar Desi melimpah ruah.

"Nikahan si Arumi Jumat ini lho, Re," beritahu sang ibu dengan nada santai.

"Hmm. Terus?" Dikira Rere demensia apa sampai tidak ingat. Jahat sekali ibunya kalau mengira Rere pelupa sedang tiap detik selalu diingatkan akan statusnya di KTP.

Tunggu. Kenapa perasaan Rere jadi tidak enak, ya? Apa mungkin karena kebanyakan makan kue kering?

Sebaiknya Rere mengeluarkan jurus seribu bayangannya saja sekarang sebelum terlam--

"Ibu belum selesai bicara, Re. Jangan main kabur kamu!"

--bat!

Terlambat Fergosong! Esmerendah! Sukijan! Sukiyem!

"Rere mules ini, Bu. Gak nahan."

Entah karena aktingnya yang buruk atau niatnya yang terbaca jelas oleh sang ibu, Rere keder dipelototi mata macan yang siap menerkam itu sehingga membuatnya tidak bisa kemana-mana.

"Alasan!"

Jiwa dangdut Rere tiba-tiba bergejolak ingin didengar dunia dan seisinya. "Seribu alasan~"

"Suaramu bikin kuping ibu budeg mendadak," sahut ibunya menghentikan nyanyian Rere.

Sambil menata kuenya yang telah siap ke dalam toples, Desi memulai introgasinya. "Jadi, Nares atau Jebi pilihanmu, Re?"

Rere yang sedang meneguk minumannya di dalam kulkas seketika kepalanya terantuk kulkas serta tersedak mendadak. Pertanyaan Desi yang tanpa tedeng aling-aling itu sukses membuat Rere syok luar biasa.

"Ibu jangan ngawur, deh," komentar Rere tidak terima.

Keduanya jelas bukan pilihan yang bijak dan dapat diandalkan. Mengingat sama-sama punya masa lalu yang pahit serta tidak mengenakkan, Rere tidak akan sudi memilih di antara salah satunya.

Meet MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang