20. Gara-Gara Pipa

3.9K 322 37
                                    

Sejak itu, hampir tiap hari Jebi selalu menyatroni rumah Rere. Entah untuk tanding ps bersama Kenan, main catur yang selalu dikalahkan oleh si kepala rumah tangga, atau ngobrol ngalor-ngidul bersama ibunya. Dalam sekejab saja Jebi sudah akrab dengan para anggota keluarga Ibrahim.

Sementara dengan Rere selalu beradu mulut berujung perdebatan yang tentu saja dilakukan di belakang orang tuanya.

"Re, ke rumahnya Jebi sana, bilang tolong benerin pipa wastafel kayaknya mampet lagi."

Keberadaan para lelaki di rumah ini sudah raib sejak tadi pagi. Kenan berangkat le kantornya sebelum matahari terbit, sementara sang ayah telah pergi mengajar tak lama setelah Kenan berangkat. Jadi tidak ada yang bisa diandalkan sekarang. Mau tidak mau Rere harus menemui Jebi sebagaimana titah sang ibu negara, meski sebenarnya malas harus bertatap muka dengan makhluk Jelangkung itu.

"Ibu gak takut nanti Rere diapa-apain? Di rumahnya kan tinggal sendiri, nanti Rere pulang dalam keadaan tidak utuh gimana?" tutur Rere memdramatisir.

"Ibu maju paling depan Jebi apa-apain kamu."

Rere tersenyum pongah. "Sekalian getokin kepalanya ya, Bu."

"Maksud ibu tuh, ibu dukung Jebi kalau mau apa-apain kamu. Artinya kan ibu bentar lagi bakal dapet cucu. Itu yang ibu harapkan supaya cepat kesampaian."

Gubrak!

Senyum Rere raib seketika.

"Cepetan sana ke rumahnya calon mantu ibu, Re!"

Dengan langkah diseret, Rere menghampiri rumah Jebi. Sejujurnya Rere heran pada orang satu itu, dia itu pengangguran tahunan atau apa sih kok tiap waktu ada di rumah terus. Bukannya ingin menghina sesama pengangguran. Rere nggak sekejam itu, kok. Jebi kan pernah bilang kalau dia dipindah tugaskan oleh kantornya ke kota ini. Tapi yang Rere tahu, tidak sekalipun melihat Jebi pergi dengan pakaian kantor selain mereka bertemu di mall tempo hari itu.

Tanpa sungkan, Rere dengan seenak jidat masuk ke dalam tanpa permisi begitu pintu depan terbuka lebar. Rumah dengan nuansa biru lembut itu menyambutnya. Rere baru sadar kalau tempat tinggal Jebi terasa menenangkan dan membuat mata jelalatan. Jujur saja walau beberapa kali mengunjungi kediaman Jebi sebab paksaan dari sang ibu, Rere tidar pernah benar-benar memperhatikan seluk beluk kediaman lelaki itu.

Ya, bisa dibilang kali ini pun sebernarnya berupa paksaan.

"Ada badai apa ini tetiba datang kesini?"

Rere berjengit kaget saat sebuah suara bass menyapa samping kanan telinganya. "Ngagetin aja!" semburnya jengkel.

Sementara si tersangka hanya cengengesan. "Tumben kesini. Pasti kangen kan gak lihat gue seharian kemaren? Ngaku lo?"

Bibir Rere mencebik. "Dih! Ke-PD-an jadi orang." Tangannya bersedekap angkuh. "Disuruh ibu tuh benerin pipa wastafel."

"Gak bisa apa bilang 'tolong' kalau mau minta bantuan?"

"Gak!"

"Ya udah sih, kalau gak mau bilang, gue males bantuin orang yang gak tau tata krama."

"Yang nyuruh ibu, bukan gue!"

Jebi mengangguk kalem. "Dan yang datang elo Re, otomatis lo dong yang harus bilang gitu."

"Gak sudi gue bilang tolong ke elo, bisa turun harga diri!"

"Oke. Gue lagi sibuk. Bye."

Mata Rere membola. Bisa dikuliahi berjam-jam kalau pulang tanpa membawa serta Jebi. Secepat kilat tangannya meraih Jebi agar menghentikan niatnya untuk melakukan apapun itu yang ingin laki-laki itu perbuat.

Meet MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang