2

5.4K 337 0
                                    


Uzma mulai memperbaiki kerudung nya yang dirasa sudah berantakan. Saat ini, ia sedang mendengarkan sang dosen yang sedari tadi menjelaskan hal hal yang hingga kini belum ia pahami. Sangat jenuh dan membosankan. Mata kuliah farmakoterapi yang sangat sulit dan membingungkan bagi Uzma. Namun, Uzma sadar, belajar sangat perlu. Jadi, ketika Uzma mulai lelah dan pasrah, ia akan kembali mengingat hal hal yang harus ia capai sebagai penyemangat.

"Kita akhiri pembahasan hari ini, Wassalamualaikum." Kata dosen mata kuliah farmakoterapi tersebut dan mulai melangkahkan kaki meninggalkan kelas.

"Alhamdulillah, capek mata gue merhatiin tuh layar. Ngantuk lagi." Ucap seorang wanita yang duduk disebelah Uzma. "Pulang yuk, udah selesaikan kuliah hari ini?" Tanyanya kepada Uzma.

"Udah kok. Aku cuma ada satu mata kuliah hari ini. Ayo pulang, tapi mau mampir ke toko buku dulu, cari materi." Kata Uzma kepada temannya tadi yang bernama Fatma.

"Iya iya, gue temenin. Gue juga mau beli novel best seller bulan ini." Kata Fatma sambil menyengir.

Mereka berdua meninggalkan kampus dan menuju toko buku yang berjarak 1 km dari kampusnya.

-
Uzma mulai merenung setelah sampai di kamarnya. Tadi, waktu ia di toko buku bersama Fatma, ia melihat seorang lelaki yang sangat familiar baginya. Setelah diperhatikan lebih jelas, ternyata, itu adalah teman kecilnya waktu sekolah dasar yang dulu sangat dekat dengannya. Bahkan tetangga tetangganya pun memberi julukan kembar tak sedarah karena kedekatan mereka berdua. Namun semenjak lulus dari sekolah dasar, mereka sudah tak lagi bertemu. Katanya laki laki tersebut pindah rumah ke Semarang untuk menemani neneknya disana.

Uzma sebenarnya sangat terkejut melihatnya. Mengapa ia dipertemukan lagi dengan dia setelah bertahun tahun berpisah. Mengingat waktu dulu ia menangis saat mengetahui sahabatnya itu sudah tidak tinggal disini. Apakah memberi tahu kepada Uzma adalah hal sulit untuk dilakukan. Tidak harus bertemu, tapi setidaknya mengirimkan pesan walau hanya satu kalimat perpisahan. Jika ditanya apakah Uzma kecewa, sudah pasti iya. Apalagi setelah melihatnya tadi siang.

"Kenapa aku melihat mu lagi, sya. Setelah hampir 8 tahun kita berpisah. Dan kenapa hati ini sakit saat mengingat hal yang membuat kamu pergi tanpa memberi pesan padaku." Ucap Uzma lirih sambil menyilangkan tangan di meja lalu menenggelamkan kepalanya disana.

-
'Tok tok tok'
Bunyi suara pintu diketok membuat semua anggota keluarga itu berhenti menggoda Uzma. Ya.. setelah seminggu yang lalu yaitu kejadian saat keluarganya mengetahui kalau Uzma menyukai Fahmi Al Fathur membuat keluarga nya gencar meledek Uzma. Apalagi abangnya yang satu itu.

"Udah udah. Coba tengok bang, siapa yang datang." Perintah sang ayah kepada Furqan yang mulai berhenti menggoda Uzma.

"Jangan jangan calon imam idaman Uzma, yah. Yang sering di acara debat itu, di tv. Atau malah si Fahmi langsung ngajak Uzma taaruf nih atau..."

"Abanggg.... " jerit Uzma kesal dengan muka merah karena abangnya yang tidak berhenti menggodanya jika sudah pulang dari rumah sakit. Apalagi kata kata abangnya yang membuatnya semakin berharap dan berkhayal mengenai sosok laki laki yang sangat dikagumi nya itu. Uzma pun mengalihkan pikiran dan mulai beranjak meninggalkan sofa untuk ikut ke ruang tamu, melihat siapa tamu yang datang. Muka Uzma memerah kembali membayangkan jika tamu tersebut adalah Fahmi. Ya Allah. Sebut Uzma dengan mengelus dada dan menormalkan raut mukanya yang apabila dilihat abangnya pasti akan diejek mati matian.

"Kok baru muncul lagi sih. Udah berapa lama coba, kita nggak ketemu. Sekarang udah kerja?" Tanya abangnya entah kepada siapa.

"Belum bang, masih kuliah. Alhamdulillah aku bisa kuliah di undip bang. Uzma gimana bang? Kuliah juga? Udah kangen banget sama tuh anak." Gurau seorang pria yang sangat Uzma kenal suaranya. Ya dia Arsya, teman kecilnya dulu.

"Kalau mau bahas Uzma langsung aja tanya ke orangnya. Bentar aku panggilin dulu, sekalian ayah sama bunda. Duduk dulu aja." Kata Furqan kepadanya.

"Uzmaaa, bikinin minum buat tamu, sekalian kamu ajak ngobrol. Kamu pasti kaget liat siapa yang dateng." Ujar bang Furqan. Nggak akan kaget bang, karena Uzma udah tau. Kata Uzma dalam hati lalu melangkahkan kaki ke ruang tamu dengan beberapa gelas berisi teh.

"Iya yah, bun." Jawab Arsya kepada ayah dan bunda entah pertanyaan apa yang ia jawab. Arsya memang memanggil ayah dan bundanya seperti Uzma, mengingat kedekatan keluarga mereka berdua.

"Yaudah ngobrol aja dulu sama Uzma. Ayah sama bunda mau kedalam. Ingat jaga jarak. Sekarang kalian berdua udah dewasa nggak kayak beberapa tahun yang lalu." Kata sang ayah dan mulai meninggalkan ruang tamu bersama bunda.

"Uzma. Apa kabar." Tanya Arsya saat Uzma sudah duduk di sofa seberang nya.

"Alhamdulillah baik." Jawab Uzma

"Hmm.... Kamu.. kuliah dimana? Apakah di UI seperti impian mu waktu itu." Tanya Arsya sambil mengingatkan hal hal yang berkaitan dengan masa lalu mereka.

"Alhamdulillah, iya." Jawab Uzma singkat dengan menunduk kan pandangannya.

"Aku juga alhamdulillah bisa kuliah di undip. Jurusan matematika. Kamu di Gizi? Seperti katamu waktu dulu?" Arsya kembali melayangkan pertanyaan dan itu lagi lagi bersangkutan tentang impian Uzma yang dahulu ia ceritakan kepada Arsya.

"Tidak. Aku di Farmasi." Kata Uzma mulai lelah menjawab pertanyaan Arsya yang menyangkut pautkan dengan hal hal dulu yang mulai membuat Uzma kesal. "Nggak semua yang aku dulu ceritakan kepadamu bisa terwujud semua. Dan nggak semua yang terjadi saat ini bisa kamu sangkut paut kan dengan kejadian kejadian lalu." Kata Uzma.

"Termasuk aku yang dulu kamu anggap sebagai calon imammu?" Kata Arsya dengan maksud menggoda namun apa yang diperkirakan tidak terjadi. Ia pikir Uzma akan malu dan merana saat ia melayangkan godaan itu. Seperti waktu terakhir kali mereka bercanda. Namun mimik wajah Uzma yang mulai datar membuktikan kalau wanita itu sama sekali tidak suka candaannya.

"Sudah cukup bicaranya? Aku bisa panggilkan bang Furqan untuk menemanimu. Aku ada tugas yang harus dikumpulkan besok." Balas Uzma yang mulai berdiri namun segera dicegah Arsya dengan kalimat panjang dan menohok.

"Apakah ini persahabatan yang dulu kamu bilang. Kamu bilang kita akan tetap  bershabat tak peduli jarak yang memisahkan. Tak peduli peristiwa yang dapat memisahkan. Aku minta maaf kalau candaan ku keterlaluan. Aku minta maaf kalau tindakan ku dulu membuatmu kesal. Maaf. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan keadaan. Tidak bisa merubah takdir. Aku pindah juga bukan untuk keinginanku belaka. Aku disana ingin berusaha berbakti kepada nenekku. Apa mungkin aku disini senang senang sedangkan disana nenek berjuang bertahan walau kemudian beliau meninggal. Ku harap kamu mengerti, Uzma. Sebenarnya aku juga tidak mau kita berpisah. Namun apa daya kalau sebuah kejadian memisahkan kita. Kita juga tidak bisa merubah dan berontak atas takdir dari Allah yang memisahkan persahabatan kita waktu itu." Kata Arsya panjang lebar.

Uzma mulai menitikkan air mata. Mengingat prinsip persahabatan mereka. Mendengar usaha Arsya untuk berbakti kepada nenek nya. Dan semua hal yang berkaitan tentang nya.

"Maaf, sya. Maaf aku egois. Maaf." Sesal Uzma.
"Tidak apa apa. Ku harap kita masih bisa bersahabat walau aku harus balik lagi ke Semarang untuk kuliah. Itupun jika kamu masih ingin bersahabat denganku. Aku pamit dulu. Tolong panggilkan ayah, bunda sama bang Furqan." Pinta Arsya.

"Kita akan tetap bersahabat." Kata Uzma mantap dan memanggil keluarganya untuk menemui Arsya yang akan berpamitan.

Ya. Uzma membuka persahabatan dengan Arsya kembali dan entah apa yang terjadi pada hati nya karena bagaimanapun juga, hati itu pernah bergetar untuk Arsya

Tbc. . . 

Imam Idaman (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang