Setelah merapikan diri dengan bercermin sekali lagi, akhirnya Uzma keluar dari kamarnya menuju ruang keluarga. Ayah dan Bunda sedang asyik mengobrol disana sambil minum teh. Bang Furqan tidak pulang semalam, karena ada tugas di rumah sakit. Itu sebuah keberuntungan bagi Uzma. Coba kalau bang Furqan disini, pasti ia akan meledek habis habisan karena Uzma akan mendatangi acara debat tersebut. Alhamdulilah. Syukur Uzma dalam hati."Wah sudah rapi nih putri ayah. Mau kemana, nak?" Tanya sang Ayah sambil meletakkan teh nya ke meja.
"Uzma izin keluar yah, bun, mau mendatangi acara debat kampus. Nanti Uzma usahakan tidak pulang terlalu malam." Jawab Uzma mendekati orang tuanya, sambil melihat jam tangannya yang sekarang menunjukkan pukul 11.00 pagi.
"Ya sudah, hati hati. Kesana sama siapa?" Sahut Bunda yang mulai menginterogasi.
"Sama Fatma, bun. Uzma berangkat ya. Assalamualaikum." Pamit Uzma.
"Waalaikumsalam." Jawab ayah dan bunda bersamaan.
-
"Saya kurang setuju atas pendapat dari anda. Menurut saya,hal tersebut harus menggunakan cara yang efektif . Mengapa saya bilang begitu? Simpel saja jawaban saya, karena...."Dengan wajah seriusnya, Uzma hanya memperhatikan secara detail kalimat yang diucapkan perwakilan UGM, bukannya mendukung perwakilan dari kampusnya yang juga beradu argumen. Melihat ekspresi pemuda tersebut ketika mulai menyanggah dan berpendapat sesuai mosi yang ditentukan moderator membuat Uzma semakin mengaguminya. Jawaban cerdas dan tepat sasaran sangat mematikan bagi lawannya untuk beradu pendapat dengannya. Apalagi kalau sudah mulai saling menyanggah antar satu sama lain yang membuat penonton greget sendiri.
Uzma memanfaatkan baik baik keadaan ini. Kapan lagi Uzma bisa melihat Fahmi Al Fathur secara langsung. Fahmi mungkin tahun ini akan lulus dan ko-ass. Jadi tak ada salahnya kan, kalau Uzma melihat lelaki yang dikagumi nya itu, walau hanya sebentar.
Melihat Uzma yang sangat fokus, membuat Fatma tertegun. Sungguh keajaiban. Dari mulai Uzma yang mau melihat acara debat, menjemputnya lebih awal padahal debat dimulai jam 1, mempersiapkan catatan kecil untuk mengambil inti perdebatan, dan menyaksikan dengan sangat serius sekaligus seksama. Fatma pun juga melihat setiap kata yang ditulis Uzma di catatan kecilnya. Benarkah ini Uzma? Orang yang sebelumnya sangat malas mendengar kata debat menjadi luar biasa antusias. Sebenarnya apa yang terjadi? Dan yang lebih janggal lagi, yang ditulis hanya argumen dari perwakilan UGM. Fatma mengakui jika perwakilan UGM tersebut sangat menarik perhatian. Paras yang tampan, senyum yang memikat, tatapan tegas, dan jangan lupakan soal kepandaiannya dalam berbicara yang patut diacungi dua jempol. Walau kulitnya tidak putih, tapi istilah hitam manis pasti akan melekat dibenak orang yang melihatnya. Oh, akhirnya Fatma mengerti. Dari segala kemungkinan yang ada, hanya ada satu yang paling meyakinkan, bahwa perempuan di sampingnya memiliki ketertarikan kepada pemuda itu. God job, Fatma.
"Sebenarnya kamu tuh dukung siapa sih? Kok malah argumen perwakilan kampus lain yang kamu catat, kamu nggak liat Reivan, wakil ketua BEM UI sedang berusaha mengadu argumennya?" Tanya Fatma dengan nada yang dibuat ketus.
Segera Uzma menutup catatannya. Gugup dan kaget menguasai dirinya. Bagaimana tidak? Ketika sedang memperhatikan dan menyimak dengan fokus, tiba tiba ada orang yang melontarkan pertanyaan yang mengejutkan. Sabar Uzma, sabar.
"Eh itu...kan aku juga mau nambah referensi. Lagian mosi yang dibahas bagus. Kan nggak ada salahnya juga kita mencatat argumen orang lain. Kita kan sama sama mahasiswa. Sama sama anak bangsa. Jadi nggak aa salahnya kan? Di peraturan pun nggak ada kok." Jawab Uzma yang sebenarnya dijawab melantur dan spontanitas saja karena konsentrasi yang terbelah. Untunglah jawabannya masih masuk akal. Uzma pun kembali memfokuskan pandangan ke depan yang sepertinya acara debat sudah akan selesai. Mosi yang dibahas kali ini memang sangat menarik, yaitu membahas tentang demokrasi menurut berbagai argumen dan pandangan rakyat. Termasuk lembaga pemerintahan yang sedang booming dibahas akhir akhir ini.
Fatma pun mulai memancing pertanyaan lagi. "Masa'? Kita kan jurusan farmasi. Ngapain nyari referensi bidang politik. Walau juga bisa sih buat pemahaman semata. Tapi menurut argumen ku, kamu seperti menaruh perhatian disalah satu peserta. Dan di atas buku catatan mu tadi, ada tiga huruf yang sepertinya singkatan nama. F A F, Fahmi....Al Fathur. Iya kan?" Goda Fatma sambil menaikkan sebelah alisnya.
Ya Allah. Sebutku dalam hati.
"Ayo pulang. Semua udah bubar tuh. Ini udah sore banget." Kata Uzma"Ngalihin pembicaraan. Menyebalkan." Ketus Fatma. Namun, tanpa dijawab pun, Fatma sudah tahu apa jawabannya. Sadar nggak sih Uzma, kalau tingkah kamu tuh udah bisa jelasin semuanya. Kata Fatma dalam hati sambil menyayangkan Uzma yang tidak pintar menyembunyikan ketertarikannya kepada laki laki.
-
Uzma mendudukkan dirinya di kasur. Ketika ia akan mengambil majalah untuk dibaca, tiba tiba handphone nya berdering. Terlihat nama Arsya yang muncul di layar handphone nya. Sebenarnya, komunikasi antara mereka berdua memang tidak begitu sering, hanya pada waktu tertentu saja dan itu pun hanya saling kirim pesan. Sangat jarang berkomunikasi lewat telepon. Uzma lalu menjawab teleponnya.'Assalamualaikun, Uzma. Tadi lihat acara debat nggak?'
'Waalaikumsalam. Iya lihat. Perwakilan dari kampus mu sangat pintar berargumen.'
'Benarkah? Padahal Riko tuh paling nggak mau kalau disuruh ikut acara begituan. Itu pun dipaksa karena teman teman yang mengusulkan.'
'Tapi, dia sangat hebat. Lagian debat ini kan memang bukan ajang kejuaraan. Bahkan bisa dikatakan talkshow walau lebih ke mendebat.'
'Memang. Tadi gimana? Fahmi paling jago kan? Jujur aja, pasti kamu paling merhatiin si Fahmi'
Terdengar nada kesal bercampur malas saat Arsya mengucapkan kalimat tersebut. Ada jeda cukup lama yang membuat Uzma segera mengenyahkan rasa penasaran nya.
'Enggak. Apa sih. Yaudah aku mau sholat Isya dulu. Assalamualaikum.'
Balasan salam dari Arsya adalah penutup komunikasi mereka berdua. Memang sudah seharusnya dihentikan pembicaraan mereka, kalau tidak itu pasti akan melibatkan hati.
-
"Ayah, bunda, bolehkah aku meminta waktu sebentar?" Obrolanku dengan ayah dan bunda terputus karena kalimat permintaan bang Furqan. "Ada yang ingin aku bicarakan kepada kalian. Dan kalau diizinkan, boleh kah pembicaraan ini di bahas di ruangan ayah?" Tanya Bang Furqan."Iya bang boleh. Ayo ke ruangan ayah." Kata sang Ayah. Sebenarnya kami bertiga bingung kenapa tiba tiba bang Furqan meminta membicarakan sesuatu di ruangan ayah. Dan maksud dari ruangan ayah itu adalah ruang khusus keluargaku yang biasanya digunakan untuk membicarakan hal hal penting. Walau aku penasaran sekali apa yang akan dibahas, tapi aku juga harus menghargai. Aku melihat ayah dan bunda sudah meninggalkan ruang keluarga. Aku pun menghadap bang Furqan yang berdiri di sebelahku ingin menanyakan maksud bang Furqan. Tetapi sebelum aku menanyakan nya, bang Furqan terlebih dulu mengeluarkan kalimatnya.
"Bentar ya, dek. Sebentar doang kok. Nanti kalau udah dari ruangan ayah, aku akan ke kamarmu. Aku ceritain ke kamu." Ucap bang Furqan mengetahui rasa penasaran ku, lalu mengikuti ayah dan bunda yang sudah dahulu meninggalkan ruang keluarga.
Sebenarnya ada hal penting apa, sampai mereka harus membutuhkan tempat privasi. Sabar Uzma, bang Furqan akan memberitahu nanti.
Tbc. . .
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Idaman (END)
RandomMengagumi seseorang dengan berlebihan. Dari mengikuti instagram nya, melihat acaranya, bahkan sampai berdoa untuk berjodoh dengannya. Hingga sebuah takdir seakan menjawab dan mengabulkan doanya. Tapi, bukan berarti tidak ada rintangan yang akan meng...