3

4.5K 301 0
                                    


"Kamu beneran mau balik sekarang? Baru satu minggu loh disini. Nggak kangen tempat ini?" Tanya Uzma saat mulai mendudukkan dirinya di tempat duduk bandara. Ya. Uzma ikut mengantarkan Arsya yang akan kembali ke Semarang beberapa menit lagi.

"Kamu udah tanya kayak gitu berapa kali sih Uzma? Aku beneran harus balik hari ini. Besok ada rapat mahasiswa untuk mengirimkan perwakilannya di acara debat yang akan diselenggarakan bulan depan. Aku kan juga wakil ketua BEM, jadi nggak bisa lepas tanggung jawab gitu aja." Jawab Arsya. "Nanti kalau ada waktu, aku kesini lagi kok. Tenang aja. Lagian kan kita bisa kontak an di media sosial." Sambungnya.

"Iya sih, yaudah deh." Lesu Uzma. "Eh omong omong debat bulan depan itu di Jakarta kan? Kampus ku udah bahas minggu kemarin. Tapi wakil ketua BEM UI yang jadi perwakilan." Kata Uzma.

"Eh eh. Malah sibuk ngobrol berdua." Kata Bang Furqan yang baru saja selesai menerima telepon. Bang Furqan memang ikut ke bandara menemaniku mengantar Arsya. Katanya ia sedang tidak ada jadwal dirumah sakit. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa harus ada jarak dan pengawasan supaya Uzma dan Arsya tidak melebihi batas. Ya sudah lah. Iya kan saja.

"Pada ngobrol apa nih? Serius banget dari tadi?" Tanya Bang Furqan penasaran.

"Acara debat bang. Universitas ku mau rapat untuk mengirimkan perwakilan mahasiswa buat ikut acara itu bulan depan di Jakarta." Jawab Arsya sambil menggeser tubuhnya agar Bang Furqan bisa duduk di tempat yang sama dengannya dan Uzma. Bang Furqan pun mendudukkan dirinya disana. Tepat diantara Uzma dan Arsya. Menyebalkan memang.

Melihat seringai jahil bang Furqan membuatku sedikit bingung. Memang apa salahnya kalau dua orang mahasiswa membicarakan acara kampus. Kan acara debat juga termasuk... Debat? Seketika Uzma mulai menyadari apa arti seringai jahil itu. Itu pasti..

"Ada Fahmi Al Fathur nggak? Yang dari UGM? Dia adik tingkat ku di fakultas yang sama. Ada nggak? Nanti kalau aku nggak tanya, ada yang kepo sampai ngestalk ig. Sampai buka berita. Sampai nggak bisa tidur dan kehabisan kuota karena cari info." Kata Bang Furqan sambil menahan tawa.

Sesuai dugaan. Tepat. Tidak meleset. Pantas saja Bang Furqan langsung antusias dari tadi. Langsung saja aku memegang lengannya dan sedikit menariknya supaya bisa berhadapan. Sambil menahan geram dengan muka memerah kesal aku pun mengeluarkan sentakan. "Bangg..."

Melihat kejanggalan seperti itu, sontak Arsya pun menoleh dengan tatapan bingung yang sangat kentara. Bodoh Uzma. Astaghfirullahaladzim. Istighfar ku dalam hati. Dengan perlahan ku atur nafasku supaya tidak terlalu memperlihatkan kekesalanku.

" Sebenarnya ada apa? Emang kenapa kalau bang Furqan tanya soal adik tingkatnya itu, Uzma? Kenapa kamu terlihat kesal?" Tanya Arsya meminta penjelasan.

"Gimana enggak, sya. Orang si Fahmi itu..."
"Bukan apa apa, sya. Jangan dengarkan abang." Potongku supaya bang Furqan tidak meneruskan ucapannya.

Arsya pun dengan terpaksa menahan keingintahuannya. Walau wajah bingung masih menggambarkan kalau dia  sangat penasaran tetapi sepertinya dia menahan rasa kepo nya tersebut. Syukurlah ia mengerti.

"Fahmi ikut bang, mewakili kampusnya. Beberapa kali aku satu acara dengannya saat perwakilan kampus." Jawab Arsya. Ohh kenapa pembicaraan ini tak segera berhenti, Ya Allah. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa ada setitik rasa bahagia saat mengetahui bahwa pemuda itu juga mengikuti acara debat bulan depan. Setidaknya Uzma bisa melihatnya secara langsung, walau mereka tak saling kenal. Uzma tidak akan melewatkan momen ini. Dengan menjadi suporter atau pendukung kampus ketika acara itu.

"Tuh kan bengong. Sesuai dugaan. Adikku ini sangat mengagumi si Fahmi itu." Ceplos bang Furqan. Tamat sudah ketika melihat Arsya bangkit sambil melebarkan matanya kearah ku.

"Serius?" Ucap nya padaku. "Kamu suka Fahmi?"

Diumumkan kepada penumpang pesawat jurusan Semarang akan berangkat 5 menit lagi. Dimohon segera....

"Tuh dah dipanggil. Hati hati ya. Salam buat keluargamu disana." Kata Bang Furqan setelah pengumuman keberangkatan diserukan.

"Iya bang. Uzma, aku masih menunggu jawaban mu tadi. See you next time." Kata Arsya.

"Baik baik disana. See you." Jawab Uzma.

Arsya pun segera beranjak pergi setelah mengucapkan sesuatu kepada bang Furqan. Setelah itu, Arsya tak lagi kelihatan di antara kerumunan orang yang akan menaiki pesawat.

"Yuk dek, pulang." Ajak bang Furqan. "Siap siap kuota. Ntar buat cari info acara debat." Gurau bang Furqan.

"Please, quiet." Pungkas Uzma yang kemudian mendahului bang Furqan yang tertawa dibelakangnya. Sangat mengesalkan.

-
Uzma mendudukkan dirinya di kantin fakultas. Sebenarnya ia masih memikirkan kejadian di bandara dua hari yang lalu saat Arsya menanyakan tentang ketertarikannya kepada Fahmi. Namun hingga saat ini tidak ia jawab dan selalu mengalihkan pembicaraan apabila menyinggung hal tersebut saat berkomunikasi di sosial media.

Ekspresi Arsya saat menanyakannya di bandara lah yang membuatnya kepikiran. Ekpresi yang terlihat kecewa dan aura wajah yang meredup memunculkan tanda tanya besar bagi Uzma. Kenapa Arsya berekspresi begitu? Emang ada salahnya kagum dengan seorang pria? Entah lah, Uzma pun tak mengerti.

Saat ingin beranjak dari duduknya, tiba tiba Fatma duduk disebelahnya sambil menahannya untuk tidak melangkahkan kaki. Dengan menghembuskan nafas pelan, Uzma pun kembali duduk di tempatnya lagi.

"Ada apa sih fat? Ngagetin aja. Kan bisa salam dulu biar nggak bikin orang jantungan." Kesal Uzma

"Maaf Uzma.." sesal Fatma. "Ini aku mau kasih informasi. Kan ada acara debat bulan depan, jadi mau ikut nggak? Ya... walaupun bukan ketua BEM sih yang datang, tapi wakilnya yang mewakili kampus ini. Kalau aku sih datang. Kan lumayan cuci mata liat orang ganteng kampus lain." Kata Fatma sambil menyengir.

"Hmmm... gimana ya. Yaudah deh ikut aja." Jawab Uzma yang sebenarnya bisa langsung dijawab dengan semangat olehnya. Namun, karena tidak mau menimbulkan rasa penasaran temannya itu, akhirnya ia mencoba menormalkan ucapannya.

"Sip." Seru Fatma. "Eh omong omong dari tadi ngapain bengong aja? Makan juga nggak habis tuh." Ujar Fatma sambil menolehkan kepala ke bekas piring yang masih tersisa sedikit. Maafkan aku ya Allah. Tapi gimana lagi. Kalau mau tetap dipaksa menelan, pasti langsung muntah karena sudah kenyang.

"Nggak papa fat, udah kenyang. Lagian aku juga nggak mikirin apa apa kok." Jawabku sedikit berbohong.

"Yaudah deh." Pungkas Fatma. "Bentar lagi aku ada kelas nih. Bye." Pamit Fatma dengan segera meninggalkan kantin fakultas farmasi.

Entahlah apa yang terjadi dengan Uzma. Di satu sisi, ia memikirkan tentang sahabatnya yang masih menjadi tanda tanya besar atas sikapnya 2 hari yang lalu. Namun, disisi lain, Uzma juga tidak bisa menyembunyikan bahagia nya mengetahui bahwa orang yang dikagumi nya bisa ia lihat secara langsung dalam waktu dekat ini.

Tbc. . .

Imam Idaman (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang