8

3.3K 229 0
                                    


Uzma mendudukkan dirinya di perpustakaan yang suasananya sedang sepi. Pusing yang melanda nya sejak tadi seakan akan tidak mau pergi dari kepalanya yang sedang memuat berbagai hal. Apalagi mata kuliah yang semakin sulit dicerna otaknya seolah menjadi momok tersendiri bagi Uzma di semester 5 ini.

Sebuah novel bergenre spiritual menjadi teman dalam keheningan. Tidak. Uzma tidak membacanya. Uzma hanya menjadikan novel tersebut sebagai objek untuk dipandang.

Uzma memijat pelan kepalanya yang masih terasa pusing. Entah kenapa, sejak kemarin, kepalanya sakit. Mungkin karena ia sedang banyak pikiran.

Uzma mulai beranjak dari tempat duduk di perpustakaan itu, dan keluar menuju kelas. Masih ada satu mata kuliah yang harus ia ikuti jika tidak mau mengulang tahun depan. Masih sekitar 10 meter menuju kelasnya. Tapi pusing yang melanda kian menjadi. Akhirnya, Uzma berhenti berjalan dan  mendudukkan diri. Mungkin, kondisi tubuhnya tidak mengizinkan untuk mengikuti mata kuliah terakhir hari ini. Lalu ia mengeluarkan ponsel, mencoba menghubungi Fatma yang mungkin dapat membantunya, namun yang didapatinya adalah suara operator. Uzma mencari nama kontak bang Furqan di ponselnya dan mulai meneleponnya. Setelah telepon tersambung, Uzma langsung memberitahukan kepada abangnya tentang kondisinya saat ini.

-
"Kamu tuh jangan banyak pikiran. Jalani aja hidup dengan santai tapi punya tujuan. Udah, sekarang kamu tiduran dulu. Biarkan pikiranmu istirahat, dek. Abang mau nelpon kak Adiba dulu." Kata Bang Furqan yang sudah berstatus sebagai kepala rumah tangga dari 2 minggu yang lalu. Aku memang tidak mau ke rumah sakit. Menurutku itu terlalu berlebihan untuk orang yang hanya merasa pusing.

"Iya bang. Uzma nggak papa. Tiduran bentar juga sembuh. Cepetan deh nelpon kak Adiba, kasian kalau nyariin." Ucap Uzma lemah. Abangnya itu dari tadi tidak berhenti memberi nasihat ini itu. Apalagi, saat menemukannya sedang terduduk di tepi jalan dengan muka pucat dan mata sayu.

Bang Furqan pun keluar dari kamar Uzma setengah hati dengan raut khawatir yang  masih sangat kentara. Mungkin, karena ayah dan bunda sedang tidak ada dirumah membuatnya merasa khawatir berkali lipat. Ditambah jauhnya jarak rumah ini dengan rumahnya dan kak Adiba yang baru ditempatinya 1 minggu yang lalu membuatnya semakin bimbang meninggalkan Uzma sendirian. Namun, ia memang harus mengabari Adiba, takut kalau Adiba mencari nya, karena biasanya jam segini Adiba sudah selesai jam praktik sebagai psikolog.

-
"Udah kak, udah mendingan." Jawab Uzma menanggapi pertanyaan Adiba dengan muka segar. Uzma sudah tidak pusing lagi setelah tidur selama 3 jam. Sekarang, semua anggota keluarga sedang berkumpul di ruang keluarga.

"Syukurlah. Kakak sangat khawatir dari tadi." Lega Adiba yang duduk bersebelahan dengan Uzma.

"Kalau Uzma merasa capek dan tidak kuat, izin kuliah dulu aja. Jangan dipaksain." Tutur bunda lembut sambil mengelus kepala Uzma yang berbalut kerudung.

"Iya bunda." Jawab Uzma dengan senyuman, menenangkan sang bunda.

Setelah mengobrol panjang lebar tentang banyak hal, ayah dan bunda izin ke kamar untuk beristirahat, karena memang sudah malam. Sedangkan bang Furqan pamit ke rumah sakit. Beberapa menit yang lalu ia menerima telepon dari rumah sakit bahwa ia harus ikut menangani pasien. Tinggal Uzma dan Adiba yang masih berbincang di sana. Namun, seketika tubuh Uzma menjadi kaku saat Adiba menanyakan mengenai suatu hal. "Dek, kamu suka sama Fahmi ya?"

"Eng...enggak Kak." Jawab Uzma gugup. Sudah 2 minggu sejak pertemuan tak terduga tersebut terjadi. Kadang, sampai sekarang, Uzma masih tidak percaya terhadap peristiwa tersebut. Jangan pikir kalau saat pertemuan itu, Uzma berbicara panjang lebar dan langsung akrab dengan Fahmi, karena yang ada, Uzma hanya terdiam dan mendengarkan obrolan mereka. Tak bisa dipungkiri juga bahwa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Mukanya memerah. Dan kedua tangannya dingin bergetar. Mungkin itulah yang membuat kakak iparnya tersebut menanyakan hal ini.

"Jujur aja dek. Nggak papa. Kagum sama seseorang itu diperbolehkan kok, asalkan tidak melewati batas. Bahaya kalau sampai melanggar aturan Allah." Ucap Adiba memancing Uzma untuk mencurahkan hatinya, seperti memancing pasiennya yang konsultasi padanya. Benar benar berjiwa psikolog.

"Iya kak. Tapi cuma suka cara dia bicara aja kok. Waktu debat debat gitu. Buat banyak orang termotivasi. Termasuk aku." Secara bertahap, akhirnya Uzma mempercayai Adiba tentang perasaannya dan mulai menceritakan bagaimana ia bisa jatuh sedalam ini kepada hamba Allah yang satu itu. Adiba sangat serius mendengarkan ceritanya dan menanggapi nya dengan tanggapan positif. Namun, tanpa Uzma sadari, terdapat raut bersalah tergambar di wajah Adiba setiap nama Fahmi disebut oleh Uzma.

-
Fatma berlari kencang menuju ke arah Uzma. Wajahnya menggambarkan kepanikan. Ia langsung menyeret Uzma yang sedang berdiri membelakanginya untuk diajak duduk di seberang tempat dimana Uzma berada. Walau awalnya Uzma terkejut, namun ia langsung memahami dan dapat menebak apa yang akan ditanyakan Fatma padanya.

"Kamu nggak papa, Uzma? Kemarin kamu sakit? Maaf aku nggak jawab telepon dari kamu. Maaf banget. Gimana sekarang keadaan kamu? Udah baikan?" Tanya Fatma secara beruntun tanpa menjeda kalimatnya untuk mengambil napas.

"Alhamdulillah udah baikan. Kamu nggak usah khawatir. Sampai ngos ngosan kayak gitu. Lagian cuma pusing aja kok." Jawab Uzma sembari mengeluarkan sebotol air mineral kepada Fatma.

"Syukurlah." Lega Fatma mendengar jawaban Uzma. Kemudian, Fatma meminum air yang tadi disodorkan Uzma untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering.

Mereka pun berbincang bincang sambil menunggu bus di halte Universitas yang tidak segera muncul.

"Uzma.." suara lelaki membuat kedua perempuan berkerudung tersebut menolehkan kepalanya. Disana, berdiri seorang laki laki yang sangat familiar bagi Uzma, namun sangat asing bagi Fatma. Bagaimana tidak, sebab seseorang itu adalah sahabat Uzma, alias Arsya yang entah kenapa ada di Jakarta, dan entah kenapa ada di kampus ini.

"Hei." Jawab Uzma singkat dengan melambaikan tangan memerintahkan seseorang tersebut mendekat ke arahnya. "Kamu ngapain disini?" Tanya Uzma to the point setelah Arsya sudah berdiri dekat dengannya yang duduk di halte.

"Iya. Aku baru datang kemarin. Ada urusan keluarga di Jakarta, sekalian ngucapin selamat kepada bang Furqan. Kan waktu pernikahannya, aku nggak datang. Jadi aku mau ngajak kamu ke rumah bang Furqan yang nggak kuketahui alamatnya. Aku udah kerumah, tapi kata Bunda, kamu masih di kampus. Jadi aku langsung ke sini. Katanya, jadwal kuliah kamu udah selesai." Jelas Arsya panjang lebar. Memang seperti itulah Arsya, langsung menjelaskan semuanya tanpa harus diberi pertanyaan satu per satu. Hal yang sangat dikagumi dan disukai Uzma.

"Oh gitu. Ya udah ntar aku temenin ke sana. Aku masih nunggu bus sama temanku. Oiya, ini Fatma, teman satu fakultas."

"Hai, aku Arsya. Sahabat Uzma. Salam kenal." Namun, wanita yang diajak bicara tersebut hanya membisu dengan pandangan terpana kepada lelaki di hadapannya. "Subhanallah, maka nikmat tuhan mana lagi yang engkau dustakan." Jerit batin Fatma.

"Hallo... assalamualaikum,... mmm... Fatma." Jelas Arsya sekali lagi.

"Waalaikumsalam." Sadar Fatma. "Salam kenal juga." Fatma segera mengembalikan kesadarannya yang tadi hilang akibat kekagumannya pada lelaki yang ada di depannya tersebut. Sedangkan Uzma dari tadi hanya melihat dan menggelengkan kepalanya.

"Aku bawa mobil kok. Fatma aku antar aja, sekalian langsung ke rumah bang Furqan." Usul Arsya yang langsung disetujui kedua wanita tersebut.

Arsya berjalan meninggalkan halte, untuk mengambil mobilnya yang terparkir tidak jauh dari sana.

"Uzmaaaaa.... Kamu kok nggak bilang punya sahabat super ganteng dan sopan kayak gituuu. Tau nggak. Jantungku udah mau keluar dari tadi. Masyaallah. Imam idaman ku." Dramatis Fatma

Sementara, Uzma hanya menghela napas dan membiarkan Fatma terus berceloteh tentang Arsya sampai sebuah mobil, yaitu mobil milik Arsya berhenti didepan mereka. Uzma pun meninggalkan Fatma yang terpaku sambil memegangi dada nya entah karena apa, dan langsung membuka pintu mobil belakang lalu duduk disana. Baru setelah itu, Fatma menyusul dan duduk diam di sebelah Uzma. Sungguh luar biasa cara Fatma menyembunyikan perasaannya saat ini. Patut diacungi jempol.

Tbc. . .

Imam Idaman (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang