Matahari semakin menyembunyikan dirinya di ujung barat, tapi tidak juga membuat sesosok perempuan beranjak dari tempat duduknya. Selama 3 jam dia terus membolak balikkan kertas, tugas mahasiswanya, yang luar biasa menguras tenaga.Satu jam kemudian, perempuan tersebut yang tak lain adalah Uzma mulai membereskan barang barangnya dan meninggalkan ruangan. Sungguh hari yang melelahkan.
"Alhamdulillah selesai. Huft sekarang pulang." Katanya semangat.
Uzma melangkahkan kaki ke parkiran dimana sepeda motornya terparkir cantik disana. Walau kendaraan disekitarnya sudah sangat berkurang dan bisa dihitung jari, mengingat saat ini sudah melewati magrib.
Mengendarai motor, menerobos keramaian jalanan di kota Jogja menjadi kesenangan tersendiri bagi Uzma. Uzma berhenti sejenak di masjid untuk menunaikan sholat magrib. Dan kembali menuju rumah nya. Hingga tak terasa, ia sudah sampai. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian kornea matanya, yaitu mobil hitam yang berhenti tepat di depan rumahnya. Seperti familiar dengan itu mobil. Batinnya.
Uzma segera menghentikan sepeda nya tepat disebelah mobil itu. Melihat kesekeliling hanya sunyi yang ia dapati. Uzma turun dari sepeda diikuti oleh seorang pria yang turun dari mobil tanpa ia sadari.
Astaghfirulahaladzim. Ucap Uzma dalam hati setelah melihat siapa sosok pria itu.
"Asalamualaikum Uzma, maaf, buat kaget. Sebenarnya nggak sopan ya berkunjung di waktu sekarang, sekali lagi maaf. Tadi saya nunggu setengah jam disini, tapi nggak ada siapapun, jadi saya berencana mau pergi dan mengurungkan niat saya ketika melihat kamu datang." Kata pria itu panjang lebar seraya menjelaskan maksudnya.
"Waalaikumsalam, kalau boleh tahu, memangnya ada apa ya?" Tanya Uzma ke pria tersebut.
"Hmm dapatkah kita sambil duduk diteras itu? Supaya lebih nyaman." Usul sang pria.
Uzma mengangguk kan kepala dan langsung duduk di kursi teras. Syukurlah pria tersebut tidak meminta masuk ke dalam, takut ada fitnah.
Disamping itu hati Uzma ketar ketir tidak karuan. Memikirkan berbagai hal, khususnya maksud dari Fahmi Al Fathur tersebut. Ya dia.
"Dokter, sebenarnya ada apa?" Keingin tahuan Uzma semakin menjadi setelah sekitar 3 menit duduk tidak juga bersuara. Uzma lebih memilih memanggilnya dengan profesi, dibandingkan kakak, mas atau pak. Panggilan dokter ia rasa lebih nyaman.
"Hmm, saya... ingin bertemu orang tuamu." Jawabnya singkat dengan tidak memandang Uzma.
"Kenapa dok?" Tanya Uzma tak sabaran sambil mengenyahkan pikiran yang dengan tak tau diri hinggap begitu saja dibenak Uzma.
"Saya ingin melamarmu." Katanya lagi.
Ya Allah. Apa itu tadi. Please Uzma tidak paham. Jantung Uzma berdetak dua kali lebih cepat mendengarnya. Otaknya sulit mencerna dan perutnya.... huh dia tidak paham untuk menjelaskan. Melamar? Aku? Kenapa? Berbagai pertanyaan semakin berontak dan... kenapa ia tidak bertanya padaku dulu? Kan belum tentu juga aku terima lamarannya. Kenapa ia dengan sembarang langsung bertemu orang tuaku. Walau aku luar biasa mengaguminya tapi untuk masalah terpenting seperti ini, Uzma tidak akan sembarangan. Jika ia melamar bukan dari hati, mohon maaf yang Uzma inginkan adalah hatinya. Untuk apa kita memilikinya jika hatinya tak bersama kita. No. Uzma harus menghentikan berbagai pemikiran sekarang juga.
"Kenapa? Kenapa saya?" Tanya Uzma hampir tak bersuara. Oh suara... dimanakah kamu...
"Karena itu kamu. Kamu mampu menarik perhatian saya."
"Mengapa langsung ke orang tua saya? Dokter nggak menanyakan ini pada saya lebih dulu?" Tanya Uzma dengan suara lebih keras setelah pertanyaan sebelumnya ia kehilangan suaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Idaman (END)
RandomMengagumi seseorang dengan berlebihan. Dari mengikuti instagram nya, melihat acaranya, bahkan sampai berdoa untuk berjodoh dengannya. Hingga sebuah takdir seakan menjawab dan mengabulkan doanya. Tapi, bukan berarti tidak ada rintangan yang akan meng...