9

3.2K 244 1
                                    


"Selamat ya bang, atas pernikahan mu. Ku doakan menjadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah. Jadi imam yang baik di keluarga abang. Pokoknya Arsya doakan yang terbaik untuk abang dan kak Adiba." Tulus Arsyad kepada bang Furqan yang duduk di depannya.

"Iya sya, makasih atas doanya. Kapan balik ke Semarang?" Tanya Bang Furqan kepada Arsya.

"Insyaallah besok pagi, bang. Habis ini mau silaturahmi dulu ke saudara di Tangerang." Jawab Arsya. "Uzma dan kak Adiba kok nggak muncul muncul ya bang." Heran Arsya sambil menengok ke arah dapur. Sekitar 1 jam yang lalu, kedua perempuan tersebut izin ke dapur untuk membuat kan hidangan. Sebenarnya, Arsya tidak ingin merepotkan mereka, namun ia juga enggan menolak tawaran kak Adiba agar makan dahulu sebelum pulang. Dan hingga saat ini, mereka tidak juga selesai dengan aktivitas mereka didapur.

Berbagai cerita dan topik telah dibahas oleh kedua laki laki yang sedari awal tidak berpindah dari tempat duduknya. Hingga suara perempuan masuk ke pendengaran mereka, mengajak untuk makan di ruang makan. Bang Furqan dan Arsya mulai bangkit dan menuju ruang makan.

"Hmmm sepertinya lezat nih. Terimakasih para bidadariku." Kata Bang Furqan ketika sampai di ruang makan yang perkataannya ia tujukan untuk istri dan adiknya.

Mereka pun mulai menyantap makanan yang sudah tersaji didepan mereka.

-
Di dalam mobil, hanya suara rintik hujan saja yang terdengar. Kebisuan yang melanda kedua orang berbeda jenis tersebut, membuat sang lelaki mengawali pembicaraan.

"Uzma, mau putar lagu nggak? Sunyi banget kalau gini." Usul Arsya.

"Boleh." Jawab Uzma singkat. Entah kenapa kecanggungan menyelimuti mereka berdua. Sudah 30 menit berlalu, dan keadaan di mobil masih sama sejak mereka memasukinya untuk meninggalkan rumah bang Furqan tadi. Selama 30 menit itulah, hanya kesunyian yang mengisi gendang telinga mereka. Padahal, biasanya mereka langsung bertukar cerita, bukan canggung seperti ini. Mungkin, yang membuat Uzma canggung ialah ketika ia baru saja mengingat kembali pesan Arsya yang terakhir tertera di chating mereka. Ya. Yang sampai saat ini masih membingungkan bagi Uzma.

Instrumen musik mulai mengalun, menyingkirkan kesunyian yang sedari tadi menemani mereka. Akhirnya, Uzma memberanikan diri untuk menanyakan hal yang sedari tadi hinggap di pikirannya.

"Em Sya, aku mau nanya." Uzma melirik Arsya yang berada di jok kemudi. Melihat Arsya menaikkan alis dan menoleh ke arahnya sekilas, seolah menjadi kode untuk Uzma melanjutkan kalimatnya. "Pesan yang waktu itu, maksudnya apa ya? Kok aku merasa, orang yang kamu maksud itu aku. Eh bukannya aku terlalu pd atau gimana, tapi.."

"Emang itu kamu" putus Arsya.

Jantung Uzma terasa berhenti berdetak dalam beberapa detik. Arsya.. tolong jangan buat aku gini. Jerit Uzma dalam hati.

Mengerti akan keterkejutan Uzma, Arsya pun melanjutkan kalimatnya dengan mengabaikan dadanya yang berdesir dari tadi.

"Sebenarnya, aku hanya ingin Allah, malaikat, dan hatiku saja yang tahu. Tapi, setelah hampir 3 tahun aku seperti itu, aku sekarang mulai membebaskan hatiku untuk berbicara secara gamblang kepada pemikatnya. Kamu mungkin tidak tahu, tapi 3 tahun yang lalu, aku melihatmu di suatu tempat yang membuatku langsung jatuh pada saat itu juga. Tidak perlu ku ceritakan kronologi nya ataupun runtutan ceritanya, karena biar aku saja yang menyembunyikannya." Kata Arsya.

"Kalau dia dapat menyadari respon ku saat aku dengar ia mengagumi lelaki lain, dan yang lebih mengejutkannya yang ia kagumi ialah orang asing yang belum pernah ada di hidupnya. Belum pernah menyebut nama nya. Belum pernah menatapnya. Tetapi tatapannya yang menunjukkan bahwa ia memang tidak sekedar suka, tapi lebih dari itu, membuat hatiku remuk dalam sekejap. Ketika ia selalu menghindar dan mengalihkan pembicaraan jika mulai membicarakan tentang ini. Dia yang antusias mendengar kehadirannya di sebuah acara. Dan aku merasa tertampar akan kenyataan. Membuat egoku muncul dan hati nyeri jika mengingat kekagumannya pada lelaki lain. Lalu, aku bertekad sudah i saja aku mencintainya dalam diam. Bukan untuk berhenti mencintai, tapi untuk mencintainya secara terang terangan." Ucap Arsya panjang lebar dengan tatapan yang masih fokus memandang jalanan yang sepi.

"Sya.."
"Aku sebenarnya malu. Malu ngomong gini. Lelah sama jantung yang selalu berdetak hebat saat disampingmu. Mengingat namamu. Mendengar suaramu. Katakan lah aku budak cinta. Katakanlah aku orang baper an. Tapi aku tidak akan pernah menyalahkan rasa ini." Lanjut Arsya

"Sya maaf. Maaf aku nggak pintar memahami perasaanmu, jujur aku juga pernah merasakan hal itu." Jeda Uzma, penasaran dengan reaksi yang akan Arsya berikan, dan ya lelaki tersebut terkejut. "Tidak hanya selama 3 tahun, tapi sejak kita mulai memasuki sekolah dasar. Kuyakini, ini bukan cinta, kuyakini, ini bukan rasa. Tapi semakin aku menanamkan prinsip tersebut, aku malah semakin gila dan mengelak. Selalu seperti itu. Yang kemudian perasaan tersebut dengan mudah terhapus mengetahui kepergianmu dan kurasa saat ini, aku hanya dapat bersahabat denganmu. Sudah sya, berhenti. Kumohon, jikalau saat ini aku masih menyimpan rasa itu untukmu, aku juga tidak akan membiarkanmu menguasai hatiku. Karena hatiku untuk calon suamiku." Kata Uzma

"Aku paham. Aku pun berprinsip sama. Mungkin 4 tahun lagi aku dapat menyerahkan hatiku kepada orang yang Allah takdirkan untuk menjadi pendampingku ." Balas Arsya.

"Udah ah, malah suasana nya gini. Aku ngomong gini bukan buat membuatmu merasakan hal sama sepertiku. Aku cuma mau mengungkapkan saja. Ini membuatku lega. Apabila lelah, pasti hati ini juga akan berhenti untuk sendirinya. Pokoknya baik ada rasa maupun tidak, kita saat ini adalah sahabat." Alih Arsya

Arsya berhasil membuat pembicaraan baru, menjauh dari topik sensitif yang sebenarnya memang tidak tepat untuk mengawali pembicaraan awal tadi. Namun keduanya sama sama lega. Dan tidak tersakiti setelah membahasnya.

-
Fatma segera mendekat ke kursi Uzma setelah beberapa detik yang lalu, seorang dosen meninggalkan kelas nya.

"Uzmaaaa, kamu masih punya hutang penjelasan sama aku. Bisa bisanya kemarin kamu tidak menjawab. Langsung to the point aja, ceritakan semua tentang Arsya di kehidupanmu. Nggak boleh ngelak lagi. Nggak boleh menghindar lagi." Paksa Fatma agresif.

"Arsya sahabatku dari kecil." Singkat Uzma. Nama Arsya yang menjadi topik bahasan malah mengingatkannya pada pembicaraan mereka di mobil. Tidak. Uzma tidak sakit hati, tapi entah kenapa masih sedikit sensitif untuk dibahas.

Fatma membuka mulutnya dengan lebar. Apa itu tadi? Berapa puluh kata yang Fatma ucapkan hanya dijawab Uzma seperti itu? Fatma menggeram kesal dan menarik tangan Uzma yang sedang memasukkan alat tulisnya ke dalam tas.

"Uzma, please jangan pelit pelit dong. Ayolah jelaskan... kamu juga tidak akan rugi kok." Fatma tak sabaran.

Uzma menghembuskan nafas lelah dan membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Fatma mengabaikan ingatan pembicaraan tadi malam.

"Arsya adalah tetanggaku. Kamu tau tidak, rumah bercat biru yang berada disamping rumahku? Itu dulu adalah rumah Arsya. Tapi, dia pindah ke Semarang ikut neneknya karena neneknya sakit. Baru beberapa bulan lalu, ia ke Jakarta lagi. Neneknya meninggal belum lama ini. Dia kuliah di Undip." Jelas Uzma. Uzma menoleh ke Fatma setelah selesai merapikan alat tulisnya. Dan betapa terkejutnya Uzma, melihat Fatma yang sedang terpana. "Hey, Fatma.!"

"Ehhh, Gimana? Em maksud nya.. Apa?" Fatma gelagapan.

Fyuhh.. ya allah, tolong sadarkan teman hamba ini. Batin Uzma.
Uzma beranjak keluar dan Fatma langsung mengekor dibelakangnya.

"Anak yang berbakti." Terdengar lirihan pelan dibelakang Uzma. Uzma hanya membiarkannya saja. Mengetahui bahwa Fatma masih terkagum dengan Arsya. "Rela meninggalkan Jakarta dan jauh dari ayah ibunya untuk menjaga nenek di semarang. Padahal waktu itu masih kelas 7 SMP. Pasti dia orang yang mandiri dan sabar. Ya allah, tolong dengarkan hamba, jadikanlah dia jodohku, hamba mohon. Atau berikanlah hamba jodoh yang seperti dia." Gumam Fatma sedari tadi yang tidak menyadari bahwa Uzma sudah naik ke bus beberapa detik yang lalu.

Tbc . . .

Note:
Mungkin ini catatan pertama saya di cerita ini, sebenarnya untuk bab ini saya sedang buntu dan bingung mau bawa cerita ini kemana. Bingung gimana konfliknya. Mohon pengertiannya karena saya juga masih amatir. Oleh karena itu, teman teman bisa komentar dan memberikan saran pada saya.
Vote kalian dapat menjadi penyemangat saya. Maaf kalau cerita ini mainstream, pasaran, dll. Tapi memang ini kemampuan saya. Bagi saya menulis sebagai hobi.

Formal banget ya tadi 😂.
Oh iya mau ngasih tahu (bagi yg baca) kalau part 10 udah langsung masuk ke beberapa tahun kemudian. Nah, inti cerita ini nanti ada disana.

Thanks for all

Imam Idaman (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang