21

499 21 0
                                    

Vannya menatap ketiga pria didepannya dengan tatapan marah. Vannya menunjukan ketidaksukanya secara terang-terangan. Sedangkan ketiga pria itu hanya bersikap santai. Masalahnya Vannya ingin mengusir ketiga pria itu dari rumahnya. Ada sesuatu yang lebih penting dari amarahnya.

"Kalian mau pergi atau Vannya batalkan saja perjanjian kerja sama resto saat acara kalian." ancam Vannya. Meski Vannya memutuskan pergi dari kehidupan megah. Vannya masih memiliki tanggung jawab pada resto VSK. Mengingat Vando memelas minggu lalu. Vannya menyetujui. Asal Vando tak membocorkan rahasiannya. Tentu Vando mengangguk setuju. Tapi kali ini Vannya benar-benar marah. Vando mengingkari janji. Malah mengajak kedua kakaknya berkunjung ke rumah ini.

"Eh, jangan dong kak." sahut Vando.

Ricky memandang Vando meremeh. Bagi Ricky. Kenapa mau menuruti ancaman Vannya. Ricky bisa saja mengambil makanan catering pada cabang VSK lainnya. Ricky merutuki kebodohan adiknya itu, Vando. Rangga menatap Vando datar. Adiknya itu merusak image kaum laki-laki. Bisa-bisanya melemah pada perempuan hanya dengan satu ancaman. Payah!

"Silahkan." ucap Ricky santai.

Vando menatap Ricky lemas. Vando hanyalah memikirkan kantor. Jika Vannya benar-benar membatalkan pesanan catering. Gimana dengan pesta aniversary perusahaan. Bisa taj ada makanan. Bisa turun image perusahaan nantinya. Akan beredar di media. Viska group telah bangkrut. Dalam pesta aniversary perusahaan tak ada satupun makanan yang dihidangkan. Oh no, jangan sampai.

"Bang, loe gila apa. Vannya membatalkan kontrak itu. Bisa turun image perusahaan. Masa pesta tak ada hidangan makanan." bisik Vando.

Ricky menatap sebal. Memang perlu di ketok mejic otak adiknya itu. Supaya kinclong dalam berpikir. Apa-apaan ucapannya itu. Dikira perusahaan bangkrut apa tak menyediakan makanan.

"Tak akan mungkin. Coba aja kalo Vannya berani mutusin kontrak. Denda yang ia bayar pada perusahaan nominalnya berapa nolnya 9 digit. Uang dari mana dia." kekeh Rangga, Ricky menyerigai adik perempuannya itu. Vannya menegang. Lalu berlari ke kamarnya. Mencari salinan dari perjanjian itu. Mata bulat Vannya membelalak. Benar kata Rangga. Shitt, abang Ricky menjebaknya. Saat Vannya ke kamar tadi. Dua pasang mata. Menatap bingung wajah Vannya. Ingin bertanya. Tapi Vannya lebih dulu keluar kamar.

Vannya kembali pada ruang tamu dengan wajah lesu. Ketiga pria itu terkekeh. Vannya bringsut duduk di sofa single. Ricky menaikan alisnya. Cemberut menatap Ricky. Terkekeh geli melihat Vannya. Ricky gemas dengan adiknya itu. Ricky berdiri menghampiri Vannya. Berjongkok dihadapan adiknya. Vannya tak melihat kebawah. Ia menoleh ke kiri menghindari tatapan Ricky.

"Hei, tatap abang sini." ucap Ricky. Dengan terpaksa Vannya menatap Ricky. Muka cemberut Vannya pun masih. Ricky tersenyum kecil.

"Abang nggak maksa kamu buat kerja ditempat lain. Kamu nggak kasihan sama ayah lalu bundamu. Kemarin papa sama papi marah besar sama kami. Mereka kecewa, kami mengizinkanmu buat ambil langkah ini. Ayahmu hanya pasrah mendapat amarah dari kedua kakaknya. Tapi jujur aku salut pada Ayah. Ia mampu menuruti keputusan sebesar ini meski berat demi kebahagiaan anaknya. Van, coba kamu pikirkan ulang. Kamu kuliah ya." ucap Rikcy lembut. Vannya masih menatap Ricky dalam.

"Tidak."

Rangga menghela nafas. Dia tak setenang Ricky dalam menyelesaikan masalah. Makanya ia menyerahkan pada Ricky. Cukup dia diam menyaksikan. Sedangkan Vando sudah asik kedunianya. Bermain ponsel, lebih tepatnya game online. Ricky terus membujuk Vannya. Namun tetap. Vannya keras kepala. Mau gimana pun Ricky tak bisa memaksa lagi. Akhirnya Ricky menyetujui keputusan Vannya untuk kedua kalinya. Ricky berdiri. Mengambil langkah menuju keluar rumah. Duduk didepan teras mengeluarkan bungkus rokok pada saku jaketnya. Menyalahkan rokok menyesapnya dalam lalu mengeluarkan keudara. Kegiatan Ricky didepan teras. Tak lepas dari pengawasan perempuan tak jauh dari duduk Ricky.

"Sudah puas merokoknya?!" alunan suara itu. Membuat Ricky menghentikan aktivitasnya menyesap benda berbahan nikotin itu. Sontak Ricky menengok kebelakang. Perempuan berdiri tepat di kursi teras. Entah perasaan apa yang dirasakan Ricky saat ini.

"Be-la?" gelagap Ricky. Perempuan itu mengangguk.

Yeah, hilangnya Bela selama ini. Dia tak jauh dari Adiano maupun Ricky. Ia tinggal di rumah Vannya. Itupun syukur, Vannya mau menerimanya. Bela juga sudah tau. Jika Vannya itu adalah adik sepupu Ricky.

"Kenapa kamu disini." tanya Ricky. Tentu pria itu memunggunggi Bela. Tapi tanpa disadari Bela. Ricky tersenyum. Jelas tak ada yang melihat itu.

"Menikmati hidup" balas Bela. Sesantai itu. Gadis ini membalas ucapan Ricky. Padahal diluar sana ada pria yang kalang kabut mencari gadis ini. Ricky berdiri. Menatap Bela.

"SEBAIKNYA KAMU PULANG. KERUMAHMU SENDIRI!" ucap Ricky penuh tekanan. Lalu masuk kembali ke dalam rumah. Bela menunduk. Harapan Bela pupus. Ingin sekali msndengar Ricky menyapa penuh rindu. Eh malah menerima sebaliknya. Tatapan tajam dari Ricky lah. Bela tak kuat dengan itu. Ricky selalu bisa membuat moodnya buruk. Ricky masuk kedalam. Disana Vannya, Vando tak lupa Rangga. Menatap Ricky yang baru masuk. Ketiganya menegang.

"Sejak kapan kalian sembunyiin ini?"

Rangga menutup kelopak matanya. Membuka dan menatap Ricky.

"Sebulan lalu."

"Fuck, kecewa abang pada kalian!" Ricky menyambar kunci motornya Vando pada meja. Sedangkan pemiliknya tak berani mencegah. Rangga tak suka dengan situasi begini. Apalagi Vannya saat ini menatap punggung Ricky tak bergeming. Arg, ketigannya berteriak. Bela menatap ketiganya dengan permohonan maaf. Bela sadar. Ketiganya pasti kena amarah Ricky. Hanya gara-gara menampungnya.

"Maafin aku ya. Gara-gara aku kalian kena marah. Sebaiknya aku pergi aja dari sini." ucap Bela, merasabersalah pada ketiga orang didepannya. Terutama pada Vannya.

"Eh nggak usah. Kamu disini aja. Kamu udah aku anggap seperti kakak. Masa aku tega biarin kamu pergi." cegah Vannya. Rangga tetap diam sembari memainkan ponselnya. Vando mengangguk setuju dengan ucapan Vannya.

"Kak Be, mending kakak disini. Kak Vannya juga tinggal sendiri. Biar dia luluh kalo ada kakak. Dia sangat keras kepala, soalnya." sahut Vando. Vannya melotot tak terima dengan ucapan sepupunya. Vannya cemberut. Lalu duduk disebelah Rangga. Kakak sepupunya itu mematikan layar ponselnya. Terkekeh dengan raut wajah kesal Vannya.

"Izinin aku pergi dari sini Van. Kakak nggak enak sama abangmu. Dia marah sama kalian gara-gara aku." Vannya menatap Rangga. Meminta pendapat. Rangga mengangguk.

"Okelah terserah kak Be aja. Kalo mau nginep lagi ya, silahkan." Vannya tersenyum. Bela mengambil kopernya. Koper yang berisi barang-barang miliknya. Vannya tak percaya jika Bela sudah menyiapkannya. Bela pamit. Vannya, Vando, serta Rangga mengantar Bela sampai depan teras rumah Vannya. Bela melambaikan tangan saat di dalam taksi.

"Yuks masuk. Kakak lapar, Van. Kamu masak gih." ajak Rangga. Vannya mengangguk. Keduanya berjalan beriringan. Vando mengikuti dari belakang. Saat menoleh ke samping. Di penghujung jalan Vando melihat motor abangnya tak jauh dari rumah Vannya. Vando tersenyum geli. Abangnya itu memang ajaib. Memperlihatkan wajah tak peduli dihadapan orang banyak. Tapi sesungguhnya peduli. Tak mungkin bukan, sampai menunggu.

"Gue tahu loe, bang. Semarahnya loe pasti masih ada kepedulian dalam diri loe. Mbak Bela pasti cocok buat abang."

Wanita Tangguh✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang