20

543 23 0
                                    

.
.
.
Vannya terus saja bermonolog dengan berbagai tak jelas. Seharian mencari pekerjaan tak ada yang mau menerimanya. Jadi keinget pertama kali mencari kerja. Seandainya dulu tak ketemu Akbar mungkin dirinya menjadi pengangguran. Mengingat soal Akbar. Vannya tak pernah lagi melihat cowok itu.

"Awas aja loe Van. Ketemu gue gibeng loe!" gerutu Vannya.

Kesialannya hari ini disebabkan sepupu laknatnya itu. Vando datang pagi-pagi didepan rumah menghancurkan rencanannya hari ini. Tentu itu membuat para tetangga saling berbisik riah. Beluma lagi Rangga dan Ricky. Merecoki pagi, siang dan malamnya. Vannya bernafas lega jika para sepupunya itu tak mengetahui isi rumahnya. Jika tahu, pasti Vannya menjadi butiran debu karena mereka. Vannya menyembunyikan seseuatu didalam. Hanya dirinya dan tuhan saja yang tahu.

"Tau gini. Mending agenda gue hari ini. Tak gue kasih tau Vando. Ish, anak itu. Nggak sekolah yang bener malah ngurusin urusan orang. Gue aduhin om Gino tau rasa tuh anak. Kerjaannya bolos mulu." Kesal Vannya, umpatan demi umpatan terlontar. Untung jalanan sepi. Andai jalan yang Vannya lewati itu ramai. Sudah dipastikan dia dikira gila.

Tanpa Vannya ketahui. Sejak tadi Ricky dan Rangga mengikuti langkah gadis itu. Keduanya sengaja tak menampakan diri. Takut adiknya itu bertambah marah. Rangga sedari tadi ingin memaki orang yang menghubunginya terus. Ricky menghentikan langkahnya. Menyuruh Rangga mengangkat telfon. Ricky menatap tajam Rangga. Mau tak mau Rangga mengangkat panggilan itu.

"Bang, cepet ke kantor. Papa sama papi marah besar." Ucap Rangga gelisah. Ricky mengernyit. Dia tak merasa membuat salah. Bukannya ini hari libur mereka berdua. Terbebas dari urusan kantor.

"Ayo bang. Kita bisa mati kalo sampe kakek denger. Papa sama papi masih ditangani Ayah." Tarik Rangga. Ricky menurut saja. Hingga mobil yang mereka tumpang melaju menuju kantor. Soal mengikuti Vannya. Mereka berdua mengurungkan. Ada hal penting lagi selain menjadi penguntit.

"Gue kok bego ya. Kenapa gue ngikutin loe. Ini hari libur gue, bego. Tandanya gue bebas dari urusan kantor. Ngapain gue kesana." Ucap Ricky kesal.

"Ini penting, bang. Kita harus kesana. Tau sendiri kemarahan RG kaya apa. Dua papa itu kalo marah kaya macan kurang kawin." Celetuk Rangga dibalik kemudi.

"Bahasa kata loe. Gitu-gitu bokap loe juga. Tuan Rifky dan Tuan Gino terhormat. Sinting loe. Sama aja ngatain nyokap kita kurang ngasih servis." Balas Ricky terkekeh.

Fiks mereka berdua gila. Selain penguntit. Ternyata memiliki kemesuman tingkat akut. Ricky yang terkenal memiliki sifat datar. Bisa juga bercanda sereceh itu. Rangga yang kejam. Tak sebanding dengan muka sangarnya. Keduanya memiliki ciri khas dan kelebihan masing-masing. Jika mama sama mami tahu pasti keduanya mendapat hukuman, alah emak rempong. Menemani ibu sosialita itu berbelanja. Ricky dan Rangga terkadang bergedik ngeri. Membayangkan menemani berbelanja. Tak lupa menjadi kacung. Gak banget. Seorang pria bawah belanjaan wanita.

********

Adiano prove.

Masalah ini semakin rumit. Bel, kemana kamu, dek. Kakak rindu. Mama juga sakit. Kamu dimana. Apa sudah makan. Argh. Bidoh loe, no. Harusnya loe bisa tahan emosi. Loe kenapa bisa lupa pula. Padahal loe juga sudah mencari tahu latar belakang gadis itu.

"Sial!" umpatan berhasil lolos.

Cih, mending gue nemenin mama. Kasihan di rumah sakit sendiri.

******

Author prove.

Saat Adiano akan keluar ruangan. Seketaris pribadinya menghalagi jalan Adiano. Pria yang notabene atasan Zety menatapnya tajam. Tak hayal jika sekertaris pribadi sang atasan tak takut. Dia sudah paham betul tabiat Adiano. Sahabat yang merangkap jadi sekertaris. Selain Ricky. Adiano memiliki satu sahabat lain. Zery namanya. Tak hayal dia berani membantah atau menghalagi jalan atasannya jika berbuat salah.

"Loe mau kemana?" tanyanya. Kedua tangannya merentang untuk menghalagi. Adiano menatapnya nyalang. Rupanya Zery tak takut. Adiano mengeras.

"Mana sopan santunmu pada atasan. Saya adalah atasanmu! Begini kah sikap bawahan pada atasan." ucap Adiano sarkas memperingatkan posisi Zery.

Tampak wajah Zery berubah pias. Di depan ruangan Adiano. Untung tak banyak karyawan. Mungkin beberapa karyawan yang berkeliaran guna menyelesaikan tugas masing-masing. Mungkin ada beberapa karyawan yang mendengar ucapan sarkas Adiano. Zery menurunkan kedua tangannya. Bergeser. Adiano tersenyum penuh kemenangan.

"Maaf pak. Lima menit lagi anda ada rapat bersama klien." ucap Zery sopan.

Adiano tanpa membalikan badan. Berucap dengan bentakan.
"Batalkan. Atau kamu saya pecat!"
Zery memaklumi perubahan Adiano saat ini. Dia tak mau kehilangan pekerjaan. Hanya inilah kemampuannya bekerja diperusahaan sahabatnya. Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Apalagi biaya kuliah kedua adiknya. Zery menatap nanar punggung Adiano. Entah, Zery juga kurang paham. Sejak dua tahun belakangan ini. Adiano seperti membatasi diri dengannya. Terkadang Zery berfikir. Apa kah dia pernah punya salah. Zery selalu membunuh pikiran-pikiran negatif yang bisa merusak persahabatannya. Meski Zery sadar. Adiano sejak dulu selalu bersikap seperti itu semasa kuliah. Jika bukan Ricky yang meminta Adiano buat memasukannya pada pertemanan mereka. Zery tak akan pernah mendapat teman. Dia teringat. Semasa sekolah tak pernah memiliki teman. Ada yang berteman. Itupun hanya memanfaatkan kepintaraanya. Hingga masa ospek saat pertama kuliah. Ia bertemu Ricky. Pria itulah yang mau berteman tulus. Lalu Ricky memperkenalkan pada Adiano. Ricky meminta Adiano untuk menerimanya masuk dalam group mereka berdua. Seringnya bersama Ricky, Adiano, Zery menjadi sahabat. Meski Ricky dan Adiano sudah bersahabat lama. Adiano, wellcome saja ada anggota baru termasuk Ricky. Asal orang baru itu tak terlalu berisik. Karena Ricky tak menyukai kebisingan. Sama halnya Adiano.

"Biarpun loe berubah. Gue tetep akan selalu ada buat loe." ucap Zery dalam hati.

Suara ponsel Zery berdering. Ia menganggat. Lalu mengutarakan maksud pembatalan rapat pada hari ini. Setelah selesai dengan urusan telefon. Zery kembali pada ruangannya. Diperjalanan Adiano. Tampak tenang. Meski dia menyesal telah membentak sahabatnya itu. Selama ini Adiano tak pernah sedikit pun menganggap Zery hanyalah bawahannya. Adiano hanya menginginkan keterbukaan pria itu. Selama dua tahun. Adiano menunggu pria itu bercerita mengenai keluh kesahnya. Adiano tak pernah menutup mata. Adiano maupun Ricky tahu. Bahwa Zery bekerja serabutan untuk membiayai kuliah dan sekolah adik-adiknya. Makanya Adiano, menawarkan pada pria itu menjadi sekertasis pribadi. Itupun Ricky juga setuju. Karena Ricky tak mungkin menawarkan pria itu bekerja pada perusahaannya. Pasti jawaban Zery adalah tidak. Zery cukup sungkan pada Ricky. Pria yang disegani Zey, Ricky. Karena Zery sadar diri. Selama ini Ricky cukup membantu secara diam-diam. Zery berterima kasih. Bisa mengenal Ricky. Ricky pula lah yang mengratiskan biaya Rumah sakit, ibunya waktu itu. Ia beruntung bisa bersahabat dengan Ricky dan Adiano. Jika tak mengenal mereka berdua. Mungkin saat ini dia tak mungkin bisa hidup dengan nyaman. Tak bisa pula mengabulkan cita-cita kedua adiknya. Tak bisa juga melihat ibunya berada disisinya menemani hingga sekarang.

"Gue sadar. Arti dari persahabatan. Thanks buat kalian berdua bisa menerimaku dengan tulus. Kalian berdua segalanya. Aku siap mempertaruhkan nyawaku buat melindungi kalian"


Wanita Tangguh✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang