Chapter 1

33.4K 1.4K 22
                                    

This is my first story🤗

***

Rima menggerakkan kakinya gelisah. Ia menatap Damar-lelaki yang beberapa jam lalu sudah menjadi suaminya itu tertidur pulas. Jujur saja, ia tidak terbiasa tidur dengan seorang laki-laki. Sejak kecil pun ia tidak pernah tidur bersama dua kakak laki-lakinya karena perbedaan umur mereka yang cukup jauh.

Dengan napas yang terhembus kasar, Rima berbalik memunggungi Damar. Ia tidak ingin menatap punggung kokoh itu lebih lama. Yang ada, ia malah insecure saat melihat tubuh atletis Damar yang berlawanan dengan tubuh gemuknya.

"Tidur, ini sudah malam." Damar yang merasakan pergerakan di sampingnya pun terganggu. Lelaki itu kembali meringkuk membelakangi Rima setelah berucap tegas.

Rima mendengus sebal. Ia tidak habis pikir dengan ibunya yang bersikeras menjodohkan ia dengan lelaki pendiam seperti Damar. Ya meskipun Rima tahu kalau orang tua Damar adalah sahabat karib almarhum ayahnya.

Jdaaarr

Suara petir disertai kilat dan gemuruh pun bersahutan. Sejak sore tadi, hujan memang belum mereda. Seketika itu Rima tersentak dari lamunannya. Tidak bisa dipungkiri, ia memang takut dengan suara menggelegar itu. Maka setiap kali hujan, Rima akan menutup rapat-rapat jendela kamarnya. Jika perlu, ia akan tidur dengan memeluk ibunya.

Dengan sisa keberanian yang dimiliki, Rima pun memutuskan untuk pergi ke kamar mandi. Bersikat gigi, mencuci muka, kemudian tidur berbalutkan selimut tebal. Itu rencananya setelah berhasil turun dari ranjang dengan gerakan tertahan tanpa membuat Damar terbangun.

Saat sedang asyik menggosok gigi, gadis itu kembali dikejutkan dengan suara petir yang menggelegar juga lampu kamar mandi yang tiba-tiba mati.

"Aaaaaaaaa..."

Tanpa pikir panjang, Rima berlari keluar kamar mandi dengan mulutnya yang masih terdapat sisa busa. Karena gelap, ia tidak sengaja menabrak tubuh tegap Damar yang ternyata sedang berdiri di depan kamar mandi. Bahkan tangan Rima kini sudah bertumpu di depan dada lelaki itu.

"Damar," ucap Rima lirih, bersamaan dengan degup jantungnya yang tengah berpacu cepat. Terlebih lagi saat Damar mulai memeluk kedua pinggang lebarnya dengan erat.

Dalam jarak sedekat ini, Rima bisa mencium aroma parfum Damar yang persis seperti wangi kamar lelaki itu, menenangkan.

"Kenapa?"

"Hah?" Rima gagal paham.

"Kenapa teriak?" Damar memutar bola matanya malas.

"A- aku takut," cicit Rima.

Bukannya melepas kedua tangannya, Damar malah memeluk Rima erat, menyalurkan sebuah kehangatan yang tidak pernah Rima rasakan sebelumnya.

Gadis gendut itu mematung, tanpa membalas ataupun menolak pelukan Damar. Karena memang ia pun nyaman dengan posisi seperti itu, saat kedua lengan kokoh Damar mengelus punggung dan rambut panjangnya dengan gerakan teratur.

"Masih takut?" Tanya Damar lagi.

"Eh.. nggak kok." Rima sedikit mendorong tubuh Damar hingga pelukan mereka terlepas.

"Ya udah, saya carikan lilin dulu. Kamu di sini aja," titah Damar yang hanya dibalas anggukan oleh Rima.

Rima melangkahkan kaki menuju kamar mandi, meneruskan kegiatannya yang sempat tertunda. Oh tidak, bahkan busa di dalam mulutnya sudah tertelan karena sibuk berbicara dengan Damar tadi.

Setelah selesai berkumur dan mencuci muka, Rima langsung bergabung dengan Damar yang sudah menyalakan lilin di atas nakas. Ia menaiki kasur lalu duduk dengan kepala yang bersandar pada bantal. Keduanya diam, menikmati suasana temaram serta gemericik hujan.

"Nggak tidur? Besok kamu kuliah, kan?" Damar membuka percakapan sembari membetulkan letak kepalanya di atas bantal.

"Belum ngantuk. Lagian, kenapa nggak kamu aja yang tidur?" Balas Rima seadanya.

"Saya mau jaga kamu, takutnya nanti lilinnya mati terus kamu teriak-teriak lagi."

Rima mencibir, "Idiiiih.. sok peduli. Ingat ya Dam, kita menikah karena dijodohkan. Bukan karena saling cinta. Jujur aja, sebenarnya kamu ilfeel kan sama aku?" Gadis gendut itu mendengus. Bukan sebuah hal yang asing ketika ia diejek dan dipermainkan seseorang, apalagi tentang perasaannya.

"Saya nggak pernah ilfeel sama kamu. Seiring berjalannya waktu, kita pasti bisa saling menerima seperti pasangan lain pada umumnya. Masalah pernikahan kita, kamu nggak perlu repot memikirkan apa pun. Karena sekarang kamu sudah semester akhir, saya nggak mau kamu lulus dengan hasil yang tidak memuaskan." Ucap Damar santai.

"Okay, jadi-- First impression kamu waktu ketemu aku gimana?"

"Hmm.. perlu ya?"

"Ah yaudah deh, nggak usah dijawab. Aku udah ngantuk lihat kamu mikir." Rima membaringkan tubuhnya membelakangi Damar, berpura-pura tidur.

Sebenarnya, ia ingin sekali mendengar jawaban dari Damar mengenai pertemuan awal mereka yang terkesan sangat buruk. Karena saat itu, Rima langsung menolak lamaran Damar mentah-mentah tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu. Gadis gendut itu masih cukup waras untuk tidak menikah di umur yang bahkan belum genap dua puluh dua tahun.

"Saya tahu kamu belum tidur. Saya akan menjawab pertanyaan kamu." Damar bergerak membetulkan posisi tidurnya.

"Pertama yang saya lihat-- kamu itu sopan, sederhana, rajin beribadah, pintar. Yah.. walaupun sedikit pecicilan dan bar-bar sih." Rima mendelik di balik punggungnya. Ia belum bergerak, membiarkan Damar terus melirik tubuh gempalnya.

"Yakin cuma itu? Nggak ada yang ketinggalan?" Sinisnya.

Damar mengerutkan dahi sambil menatap heran ke arah Rima. "He'em.. sejauh ini yang saya lihat cuma itu. Memang kenapa?"

Rima membalikkan tubuhnya, "Nggak ada gitu di pikiran kamu kalau aku ini jelek, gendut, terus nggak cocok sama kamu?" Selalu. Ia melontarkan pertanyaan ini saat bertemu dengan orang-orang baru di sekitarnya.

"Kenapa kamu berpikiran seperti itu? Malah saya sama sekali nggak mikir sampai sana."

"Hm, aku cuma heran aja sih. Kenapa kamu mau menikah dengan aku," gumam Rima sambil menatap iris coklat milik Damar.

"Rima, kita ini dijodohkan. Saya sama sekali nggak keberatan dengan perempuan pilihan mama. Saya hanya ingin membahagiakan kedua orangtua saya dengan menerima perjodohan ini. Lagipula, saya tidak pernah memandang seseorang dari fisiknya. Semua manusia sama, sama-sama terbuat dari tanah dan akan kembali ke tanah," jelas Damar panjang lebar. Masih dengan wajah tanpa ekspresinya, lelaki itu membalas tatapan Rima tak kalah intens.

Rima menghembuskan napas kasar, "oke. Terjawab sudah apa yang selama ini membuatku penasaran."

Ia kembali berbaring memunggungi Damar, "Ah ya. Besok, aku akan mengajukan sebuah kesepakatan untuk kita, kamu bisa menolak ataupun berargumen sesuai dengan apa yang kamu inginkan. Dengan syarat, kesepakatan ini harus menguntungkan kedua belah pihak. Tidak memberatkan salah satunya." Sambung Rima sebelum benar-benar tidur di alam bawah sadarnya, mengacuhkan Damar yang masih membisu tanpa memberinya respon atau jawaban.

###

Maafkan aku yang masih banyak kesalahan dalam menulis🙏

si_melon💜

My Obesity Love✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang