Chapter 23

10.8K 724 17
                                    

Braakk

Damar berjengkit kaget saat Rima menutup pintu kamar dengan keras. Spontan ia bergerak untuk merapikan beberapa koran dan majalah yang tadi dibacanya. Kemudian bergegas mengikuti Rima menuju kamar. Dengan pelan, lelaki berjambul itu membuka pintu. Menemukan istrinya yang tengah meringkuk dengan punggung bergetar.

Damar duduk di sebelah Rima, mengusap lembut punggungnya dari belakang. Berharap jika hal itu dapat membuat gadis gendut itu lebih tenang. Barulah setelah tenang, Damar akan menanyakan keadaan sekaligus sebab mengapa istrinya itu menangis.

Rima membalikkan tubuh, mendapati Damar yang menatapnya dengan sorot teduh. Tangis Rima mereda, meski sesekali ia masih menyeka air matanya.

"Dam," panggil Rima. Suaranya terdengar pilu di telinga Damar. Ia memperbaiki posisi tubuhnya menjadi duduk.

"Iya?" Lelaki itu menatap dalam Rima.

Rima tidak kuasa berucap. Kata-katanya tertahan. Karena kini ia sudah menangis lagi di pelukan Damar. Tangisnya semakin terdengar pilu. Tubuhnya bergetar hebat. Damar bisa merasakannya. Lelaki itu berusaha keras untuk menenangkan Rima. Memeluknya erat. Mencium keningnya berkali-kali. Serta mengusap lembut punggung gadis itu.

"Jangan ditahan, nangis saja." Ucap Damar masih dengan posisinya.

Rima menuruti perintah Damar. Ia menangis dengan mengeluarkan semua emosi di hatinya tanpa sisa. Masa bodoh dengan kaos yang dipakai Damar menjadi basah.

Setelah cukup tenang, Rima melepas pelukan Damar. Ia menghirup napas dalam-dalam. Lalu mengeluarkannya perlahan. Rima kembali menatap Damar yang sudah menunggunya bercerita.

"Kita nggak jadi LDR." Ujar Rima dengan senyuman palsu di bibirnya. Kening Damar berkerut, heran dengan rentetan kata yang baru diucapkan gadisnya.

"Kenapa?" Tanya Damar. Rima menghembuskan napas berat. Bahunya merosot ke bawah.

"Beasiswa aku digantikan Sarah." Jawab gadis gendut itu berusaha tegar.

"Hah? Kok bisa?"

Rima kembali tersenyum.

"Kan semuanya juga udah tahu status kita, Dam. Aku menikah. Sedangkan salah satu persyaratan untuk menerima beasiswa adalah harus single."

Raut wajah Rima berubah masam. Damar masih menunggu Rima melanjutkan ucapannya.

"Dan kamu tahu? Kak Karina masuk rumah sakit lagi. Penyakitnya kambuh setelah lihat berita kita di televisi. Tadi Nana nggak masuk gara-gara disuruh orangtuanya buat jaga Kak Karina."

Rima menatap Damar sendu. Sedangkan lelaki itu masih betah dengan keterdiamannya, memberi kesempatan penuh untuk Rima bercerita.

"Kenapa jadi rumit kayak gini sih." Keluh Rima.

Damar menggenggam tangan gadis gendut itu. Mengusapnya beberapa kali, menyalurkan sebuah energi positif yang entah berpengaruh atau tidak untuk ketenangan hati gadisnya.

"Kayaknya.. pernikahan ini yang salah, Dam. Coba aja waktu itu aku nggak nikah, nggak nurutin kemauan Ibu. Pasti ini semua nggak akan terjadi." Perkataan Rima membuat Damar termangu menatapnya. Lelaki itu masih tidak percaya dengan ucapan Rima. Dilepaskannya genggaman tangan gadis gendut itu oleh Damar. Lalu berucap,

"Apa yang membuat kamu sampai berpikiran bodoh seperti itu, Rim? Nggak seharusnya kamu menyesali pernikahan ini. Karena sekarang, nggak ada yang berhak disalahkan. Sekalipun status kita yang udah sah menjadi suami istri."

Damar berucap pelan namun kata-katanya terdengar tajam di telinga Rima. Gadis gendut itu menatapnya dengan takut. Damar memalingkan wajah, menatap sebuah pot bunga yang tersusun di pojok kamar. Rasa bersalah mulai menguasai Rima. Ia menghembuskan napas pasrah kemudian meraih tangan besar Damar yang terasa dingin.

My Obesity Love✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang