Chapter 8

10.1K 763 11
                                    

"Kamu di rumah Mama aja, ya." Sejenak Damar menatap Rima yang duduk di samping kemudi. Mereka tengah berada di perjalanan menuju bandara. "Mama sangat berharap kamu mau tinggal bersama beliau." Mohonnya dengan tangan yang hampir menggenggam tangan Rima.

Gadis gendut itu langsung menarik tangannya, sambil menjawab ogah-ogahan. "Iya." Ia sedang tidak dalam mood untuk berdebat dengan suaminya.

Empat puluh lima menit berlalu, mereka sudah sampai di bandara. Damar memarkirkan mobilnya, kemudian mengeluarkan koper dan ranselnya dari bagasi.

Rima cukup peka untuk membantu lelaki itu dengan membawakan sebuah ransel yang terasa berat untuknya, meskipun jika dibandingkan dengan koper yang dibawa Damar pun tidak ada apa-apanya. Gadis itu berjalan membuntuti suaminya, memperhatikan punggung kokoh milik Damar yang membuatnya kembali sadar kalau lelaki itu selalu terlihat menawan.

Tubuh tegapnya terbalut jaket Timnas, celana trining hitam, dengan aksesoris seperti jam tangan, kacamata hitam, dan sepatu kets abu yang ikut melengkapinya. Oh ya, jangan lupakan rambut jambul Damar yang sudah menjadi ikon lelaki itu.

Duk

Karena melamun, Rima tidak sadar jika Damar sudah berhenti di depannya. Bodohnya lagi, ternyata ia bukan menabrak punggung Damar, melainkan dada lelaki itu yang entah sejak kapan sudah berbalik menghadapnya. Segera saja Rima menjauhkan tubuhnya. Ia mengusap-usap dahi lebar miliknya yang terasa ngilu. Masa bodoh dengan poni rambutnya yang sudah tidak beraturan.

"Hati-hati kalau jalan. Untung yang ditabrak saya, kalau orang lain gimana?" Damar berucap, kembali dengan wajah datarnya.

Rima mencebik. Ia kembali terkejut ketika tiba-tiba lelaki itu ikut mengusap-usap dahinya, menggantikan posisi tangan Rima yang bahkan kini sudah bergelantungan bebas di sini kanan dan kirinya. Hatinya menghangat. Gadis gendut itu memberanikan diri untuk menatap wajah tampan Damar.

"Kenapa? Masih sakit?" Tanya Damar khawatir.

Rima menggeleng, membuat lelaki itu tersenyum lega.

Usapan tangan Damar semakin melamban, ia bisa merasakan kalau tangan lelaki itu sudah beralih ke belakang kepalanya, mengusap rambutnya lembut sembari mendorong kepala Rima agar mendekat kepadanya. Dengan jarak sedekat ini, Rima bisa mencium aroma parfum khas suaminya. Jantungnya pun berdetak tak karuan. Ia menegang, lalu memutuskan untuk memejamkan mata.

Cup

Damar mencium keningnya lama, membuat Rima tak kuasa melakukan apapun selain mematung dengan perasaan gugupnya.

"Udah selesai, mesra-mesraannya?" Tegur seseorang yang suaranya sangat mereka kenal. Rima sedikit mendorong dada Damar.

"Mama sejak kapan di sini?" Tanya lelaki itu santai, seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Berbeda dengan Rima yang sudah tersenyum malu dengan pipi merahnya.

"Sejak tadi, waktu kamu usap-usap dahinya Rima. Nggak dengar kan waktu mama ngucap salam?" Sinis Mama kepada Damar yang malah asyik dengan kegiatannya sendiri, lelaki itu tengah mengotak-atik ponselnya. Dasar, tidak sopan!

Tatapan Mama mengarah pada Rima yang masih menundukkan kepalanya. Senyum wanita paruh baya itu merekah, tangannya terulur untuk merangkul tubuh subur menantunya. "Kamu cantik banget sayang."

Dipuji oleh mertua sendiri adalah hal yang sangat takut untuk Rima bayangkan. Sejak dulu, ia sudah mempersiapkan diri jika nantinya ia akan mendapat mertua yang tidak sesuai dengan harapannya. Tapi syukurlah, Allah masih berbaik hati memberikan seorang mertua yang bahkan tidak pernah mencelanya. Ah, ia jadi tersenyum malu.

Mama melepaskan rangkulannya dari bahu Rima. Tatapannya beralih meneliti tubuh gadis itu, sadar jika sedari tadi menantunya masih membawa sebuah ransel besar yang pastinya terasa berat bagi perempuan seukuran Rima. Dengan geram, Mama menjewer telinga Damar, membuat sang empunya meringis kesakitan.

My Obesity Love✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang