Chapter 17

10.7K 750 16
                                    

Di teras rumah, Damar berjalan mondar mandir. Ia merasa cemas, khawatir, dan takut terjadi apa-apa dengan istrinya. Bahkan ia tidak peduli dengan pipinya yang memar, bekas tamparan dari Mama Ratih setelah mengetahui akar permasalahan di antara Damar dan Rima.

Saat itu, kecurigaan Mama semakin menjadi-jadi ketika Damar pulang ke rumah tanpa Rima. Sewaktu ditanya, lelaki bertubuh tegap itu mengaku tidak tahu. Mama pun menuntut Damar untuk menceritakan semuanya, semua tentang masalah di antara mereka. Bukannya ikut campur, Mama hanya takut terjadi apa-apa dengan menantu kesayangannya.

Mendengar semua cerita dari Damar, membuat Mama terbakar amarah. Ditamparnya pipi lelaki itu kuat-kuat, hingga membekas kelima jari Mama. Panas, perih, ngilu, semua rasa sakit bercampur menjadi satu. Tapi itu tidak sebanding dengan rasa sakit yang diderita Rima akibat ulahnya.

Damar berdecak sembari menghembuskan napas gusar. Satu pesan yang ia terima dari Rima, tidak cukup membuatnya berhenti memikirkan gadis gendut itu. Bukannya tenang, Damar malah semakin khawatir dengan istrinya. Berkali-kali ia menelpon dan mengirim pesan, namun yang didapatkan hanyalah suara cantik operator yang menginformasikan jika ponsel Rima sedang tidak aktif lagi. Padahal baru saja lelaki itu menerima satu balasan dari istrinya.

Dddrrttt drrrttt drrtt

Getar dari ponsel membuat Damar menghentikan mondar-mandirnya. Tanpa melihat id caller, dengan semangat ia langsung menekan tombol hijau yang ada di layar. Mengira jika yang menelpon ia adalah Rima.

"Assalamualaikum Kak." Damar mengernyit heran. Ini bukan suara yang ia rindukan. Lagipula, ia tahu persis suara istrinya. Lelaki itu kembali melihat layar ponsel, menemukan nama 'Nana' di sana. Damar mengembuskan napas kasar, menempelkan kembali ponselnya di telinga.

"Waalaikumussalam, Na."

"Gimana Kak? Rima udah ketemu?" Tanya Nana, suara gadis itu terdengar cemas bercampur gemetar.

Damar menghela napas panjang.

"Belum Na. Saya bingung cari dia ke mana. Kamu tahu, tempat favorit yang sering dia kunjungi?" Tidak berbeda jauh dengan Nana, tersirat nada cemas dan kekhawatiran di dalam nada bicara Damar.

"Hm... Kak Damar coba ke taman dulu. Siapa tahu Rima ada di sana." Saran Nana.

"Selain taman, kamu tahu tempat favorit Rima yang lain nggak?" Damar bersiap akan mencari Rima, beruntung kakinya sudah tidak memerlukan kruk. Karena tadi selepas dari Karina, ia memeriksakan kondisinya terlebih dahulu. Dokter mengatakan bahwa kakinya hanya perlu pemulihan.

"Setahu Nana cuma di sana, Kak. Lagipula, Rima juga nggak punya saudara di sini. Orang tua sama kakak-kakak Rima kan lagi di Bandung dan Jakarta."

"Oh iya, Rima pernah bilang ke saya kalau Kak Faiz sedang di Surabaya. Ada keperluan bisnis katanya." Damar sudah siap dengan jaket hitamnya. Ia meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja ruang tamu.

"Kalau gitu, Kak Damar sekalian samperin tempatnya Kak Faiz aja. Eh, emang Kak Damar udah tahu alamatnya?" Tanya Nana membuat Damar terdiam sesaat. Damar meringis.

"Wadduh, nggak tahu," jawab Damar lirih.

"Hm... Gimana kalau Kak Damar telepon Kak Faiz dulu. Kalau nggak, coba telpon Mbak Intan-kakak iparnya Rima. Punya nomornya kan?" Saran Nana. Damar ingat jika ia pernah menyimpan nomor kakak-kakaknya Rima.

"Iya, saya punya," jawab Damar pada akhirnya, membuat Nana bernapas lega.

"Ya udah tunggu apalagi. Kak Damar langsung aja telpon Kak Faiz. Good luck Kak Dam. Maaf nggak bisa bantu, lagi mau nemenin Kak Karina jalan-jalan ke taman. Assalamualaikum," cerocos Nana tanpa henti. Dengan tidak sopan, gadis bertubuh kurus itu pun langsung mematikan ponselnya sepihak tanpa menunggu jawaban dari Damar.

My Obesity Love✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang