Chapter 18

10.8K 727 14
                                    

Braakk

"Damar!!!" Teriak Rima saat melihat suaminya yang sudah tersungkur di depan Faiz. Ia berlari ke arah Damar yang merintih kesakitan.

"Kak!! Kak Faiz, udah!!" Gadis gendut itu menahan Faiz yang kembali siap dengan bogeman mentahnya.

"Kali ini saya masih bisa maafkan kamu. Tapi jika kamu menyakiti adik saya lagi, lihat saja akibatnya!!" Faiz berbicara dengan amarah yang berkobar-kobar. Ia menatap tajam Damar yang tengah meringis, menahan perih di pelipis dan bibirnya. Setelah itu Faiz pergi dengan membanting pintu apartment dengan keras.

"Kita pulang ya, ucap Rima setengah berbisik yang dibalas anggukan oleh Damar.

Rima membantu laki-laki itu berdiri, menggandeng lengan suaminya kemudian mengajak Damar untuk berpamitan kepada Intan terlebih dahulu. Ia yakin bahwa kakak iparnya belum tidur.

Diketuknya pintu kamar Fikri-yang ia yakini juga ada Intan di dalamnya. Setelah ketukan kedua, barulah pintu coklat itu terbuka, menampakkan Intan yang sudah memakai piyama tidur. Wanita berkerudung itu tersenyum manis melihat mereka. Namun tidak berapa lama karena kini Intan sudah menatap Damar dengan khawatir. Merasa yakin jika suaminya tadi sempat datang ke rumah, lalu membuat Damar babak belur seperti ini.

Damar menenangkan Intan dengan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Lelaki itu meminta maaf kepada kakak iparnya, juga berterima kasih karena telah memberikan tumpangan sementara untuk istrinya. Damar mengaku menyesal telah melakukan itu semua. Ia berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Berbanding terbalik dengan suaminya, Intan malah tersenyum samar. Ia tahu jika adik iparnya itu baik. Maka ia mengizinkan Damar untuk kembali membawa Rima. Dengan harapan agar adiknya itu bisa kembali ceria seperti saat sebelum menikah.

Setelah berpamitan, Rima membantu Damar berjalan menuju basement. Ia heran, ketika sadar bahwa Damar sudah berjalan tidak menggunakan kruk. Belum sempat menanyakannya, lelaki itu sudah memulai pembicaraan. "Kamu selama di rumah Kak Faiz baik-baik saja kan?" Damar menatap Rima yang masih fokus membantunya berjalan.

"Seharusnya aku yang tanya gitu ke kamu. Kalau aku mah udah pasti baik-baik aja." Rima mengerucutkan bibirnya, membuat lelaki itu gemas dan mengacak rambutnya lembut.

"Saya juga baik-baik saja. Apalagi setelah lihat kamu."

"Ih, gombal." Rima meninju pelan lengan kekar Damar yang tengah ia peluk, menimbulkan sensasi aneh yang tidak pernah Damar rasakan sebelumnya.

Damar terkekeh, lalu meringis saat merasakan perih di bibirnya. Lelaki bertubuh tegap itu mengusap pelan tangan Rima yang masih memegang erat lengannya. Dari raut wajah, Damar paham jika istrinya tengah khawatir melihat mukanya yang dipenuhi oleh luka dan lebam, belum lagi bekas tamparan Mama yang masih terasa sakit.

"Kamu bawa mobil sendiri?" Rima bertanya saat tidak menemukan Pak Hari di dalam mobil suaminya.

Damar mengangguk.

"Terus kaki kamu gimana?" Gadis gendut itu kembali menatap Damar khawatir.

"Nggak masalah, kaki saya sudah lumayan membaik. Untungnya bisa diajak kompromi buat jemput kamu." Damar tersenyum menenangkan saat melihat gurat kecemasan ada di wajah Rima.

Ia menyilakan Rima masuk ke dalam mobil. Lalu berjalan pelan mengitari mobilnya, duduk di depan kemudi. Tanpa diminta, Damar membantu Rima yang kesusahan memakai seatbelt. Jarak mereka kini sangat dekat. Bahkan Rima bisa mencium parfum yang sedang dipakai Damar.

Rima menahan napas ketika lelaki bertubuh tegap itu mendekatkan wajahnya ke wajah Rima, menipiskan jarak di antara mereka.

Cup

My Obesity Love✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang