Chapter 5

12K 832 13
                                    

"Aku menikah sama Damar karena dijodohin orang tua kita. Nggak tau juga kenapa dia bisa nerima aku yang kayak gentong ini. Waktu ditanya Damar mau apa nggak dijodohin sama aku, jawabnya enteng banget. Mau. Cuma itu yang keluar dari mulutnya. Padahal nih ya, dari segi fisik jelas kita beda banget. Apalagi dari segi sikap. Argh. Aku jadi makin penasaran, sebenarnya dia itu tulus nggak sih nerima perjodohan ini?" Bahunya merosot ke bawah. Pandangannya lurus ke depan. Sedikit pun Rima tidak menoleh ke lawan bicaranya.

"Mungkin Kak Damar emang suka kamu kali, Rim." Nana berargumentasi. Jari telunjuk dan jempol sudah berada di dagunya, membentuk gerakan seperti berpikir.

"Ish, ya nggak mungkin lah. Dia kan atlet, pasti banyak cewek di luar sana yang lebih cantik daripada aku." Rima menampik bahu Nana sedikit keras, membuat gadis setengah tiang itu meringis ngilu. Sadis memang.

"Ah elah, nggak usah nabok juga kali." Nana menekuk wajah, dengan tangan yang masih mengusap lembut bahunya.

Rima pun memeluk tubuh kecil Nana dari samping. "Maaf-maaf. Lagian sih kamu, jawabnya ngawur banget," ucapnya cemberut. "Mana yang sakit? Uhhh tayangg (baca: sayang). Maafin Rima yang bar-bar ini yah." Tangan gadis gendut itu ikut mengusap lembut bahu Nana, merasa tidak tega.

Setelah dirasa tangannya kram akibat kebanyakan mengelus bahu Nana, Rima beralih mengamati suasana taman yang semakin ramai seiring bergulirnya waktu dari sore ke malam. Lampu dengan berbagai warna mulai memenuhi indera penglihatannya, mengingatkan Rima jika hari sudah beranjak malam.

"Pulang yuk, Na. Udah maghrib nih. Mana belum sholat lagi." Rima beranjak dari duduknya, merapikan kaos, lalu menggandeng tangan Nana, membantunya untuk bangkit.

"Eh iya. Ayo pulang, nanti aku dimarahin mama kalau tau aku belum sholat." Nana berbicara cepat seraya mendenguskan napas tak suka.

Mereka pun berjalan menuju parkiran, mencari motor masing-masing lalu berpisah menuju arah rumah yang berbeda. Rima melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Tidak lama lagi, ia sudah sampai di rumahnya. Tepatnya rumah miliknya dan Damar.

Setelah memarkirkan motor di garasi, ia melangkahkan kakinya menuju rumah. Beberapa kali mengucap salam namun tidak ada tanda-tanda Damar akan membukakan pintu untuknya. Rima harap-harap cemas, khawatir jika lelaki itu akan menguncinya seperti kemarin. Ia pun mencoba membuka pintu besar itu. Terbuka! Pintunya tidak terkunci! Pandangan gadis gendut itu langsung menyapu seluruh sudut ruang tamu yang sangat gelap. Karena takut, Rima bergegas berlari menuju kamarnya.

Ckleek

Speechless.

Mulutnya menganga saat melihat Damar yang masih lengkap dengan pakaian sholatnya, berdiri di sana dengan membawa sebuket bunga mawar. Kamarnya dan Damar telah disulap menjadi tempat yang romantis. Kelopak bunga mawar berhamburan di lantai dan ranjang. Tidak lupa juga dengan berbagai makanan dan lilin merah yang terletak di depan ranjang mereka. Seperti pengantin baru saja. Ehh..

Tubuh Rima semakin menegang ketika Damar mulai berjalan mendekat ke arahnya. Ia merasa gerakan Damar seperti slowmotion, sangat pelan hingga Rima tidak dapat mengalihkan pandangannya. Bahkan kini jantungnya sudah berdegup tak karuan, tubuhnya terasa seperti jeli.

"Saya hanya bisa kasih ini sebagai bentuk permintaan maaf saya." Lelaki itu menyerahkan buket bunga mawar dengan mata yang terus menatap intens ke arah Rima.

Dengan cengiran lebarnya, Rima menerima bunga mawar itu, menghirupnya dalam-dalam hingga aromanya merebak di setiap sudut hidungnya.

"Terima kasih banyak!" Pekiknya tertahan sambil memeluk tubuh atletis Damar dengan sedikit erat. Saat itu juga, ia bisa merasakan tubuh suaminya yang menegang akibat pelukan darinya. "Kamu nggak perlu lakuin ini semua buat aku. Aku udah maafin kamu," sambungnya.

Perlahan tubuh Damar tak lagi menegang, bahkan ia sudah membalas pelukan Rima.
Tangannya pun bergerak mengusap rambut dan punggung gadis gendut itu, memberikan sensasi aneh yang menjalar di seluruh tubuh keduanya.

"Makan yuk! Laper banget ini." Rima merenggangkan pelukan, tapi tidak berniat menjauh dari Damar.

"Udah sholat?"

Rima enggan menjawab. Ia hanya menunjukkan cengiran khasnya, juga gelengan kepala yang membuat Damar bisa menyimpulkan bahwa gadis itu belum sholat.

"Ya sudah, cepat sholat. Saya tunggu." Rima mengangguk seraya melepaskan tangannya pada pinggang Damar. Diletakkannya buket bunga itu di atas nakas. Kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk berwudhu.

Selesai sholat, Rima menghampiri Damar yang sedang asyik dengan ponselnya. Ia berdehem cukup keras yang ternyata tidak dapat membuat Damar menoleh padanya. Gadis gendut itu pun menyentuh bahu Damar pelan, mencoba menyadarkan pria itu.

"Makan yuk." Rima memaksakan senyumnya setelah Damar mendongak menatapnya dengan bingung.

Ah ya, ia jadi melupakan acaranya dengan Rima. Ingin rasanya Damar menemani gadis gendut itu makan malam. Namun, ada hal lain yang mendesaknya untuk meninggalkan gadis gendut itu. Sesuatu yang masih ia tutup rapat dari Rima. 'Belum saatnya dia tahu' pikirnya.

"Kamu makan duluan aja, ya. Saya masih ada urusan."

Rima menatap Damar tak percaya. Bisa-bisanya lelaki itu meninggalkan Rima setelah meminta maaf dengan segala keromantisan yang dibuatnya. Ia merasa ada sesuatu yang lelaki itu sembunyikan sampai harus meninggalkannya malam-malam begini.

Damar menghampiri Rima lalu mencium keningnya lama. Ini adalah kali pertama lelaki itu mencium keningnya, bahkan saat akad nikah pun mereka sama sekali tidak melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Seperti mencium tangan sang suami dan mengecup kening sang istri, karena mereka hanya bertukar cincin satu sama lain.

Seperti biasa, Rima meraih telapak tangan Damar yang sudah berkeringat dingin. Ia menciumnya lembut dengan perasaan campur aduk. Entah kenapa hatinya jadi gusar, mengingat perubahan sikap Damar yang kembali dingin kepadanya.

"Assalamualaikum."

Rima menghela napas, "Waalaikumussalam." Bahunya meluruh bertepatan dengan punggung tegap Damar yang perlahan menghilang dari pandangannya.

Tidak lama setelah itu, ia mendengar deru mobil Damar yang sudah menjauh dari pekarangan rumah. Rima menutup pintu kamarnya, melampiaskan segala bentuk kekecewaannya. Mood makannya juga sudah hilang. Ia sama sekali tidak berniat menjamah makanan yang sudah disiapkan Damar tadi. Kakinya justru kembali melangkah menuju ranjang, menarik selimut sebatas kepala, lalu menangis dalam diam.

Bibirnya membentuk lengkungan senyum. Bukan, bukan senyum tulus yang ia tampilkan. Melainkan senyum getir, mengingat bahwa ia tidak ada apa-apa nya di mata Damar.

Jika jatuh cinta sesakit ini, lebih baik dari awal ia memagari hatinya agar tidak terjatuh ke dalam pesona seorang Damar Putra Al-Faraby. Lelaki yang sudah berhasil meluluhlantakkan hatinya hanya dalam sekejap.

###

si_melon💜

My Obesity Love✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang