Chapter 22

10.6K 717 36
                                    

Rima berjalan tertatih menuju kamar dengan Damar yang senantiasa menuntunnya. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi, bahkan semakin menjalar ke seluruh tubuh. Ia sedikit meringis ketika Damar membaringkannya di kasur, menyelimutinya sebatas dada.

"Malam ini, kamu tidur di kamar sebelah ya. Aku lagi pengen sendiri," pinta Rima kepada Damar yang sedang merapikan tempat tidur.

Lelaki itu mengusap wajahnya gusar. Lalu mengangguk sebagai persetujuan atas permintaan Rima. "Kalau perlu apa-apa, panggil saya saja." Damar mengusap lembut rambut Rima, seraya mencium keningnya dalam.

Lelaki itu beranjak dari posisinya, melangkah perlahan menuju pintu kamar yang sudah terbuka lebar. Sebelum menutupnya, Damar menyempatkan diri untuk kembali melihat Rima. Ia khawatir jika sesuatu akan menimpa gadis gendut itu lagi. Setelah menghela napas panjang, pintu kamar itu pun akhirnya berhasil ia tutup. Ia memberikan ruang untuk Rima berpikir dan merenung atas kejadian hari ini yang menurutnya terjadi begitu cepat.

Selepas Damar pergi, Rima menatap langit-langit kamar. Setitik air mata kembali menjatuhi pipi. Ia membiarkan benda cair itu mengalir bersamaan dengan pikiran negatifnya. Semua saluran televisi saat ini pasti menayangkan berita tentangnya. Entah bagaimana reaksi teman seangkatan Rima saat mengetahui jika dirinya sudah menikah. Bahkan membayangkan hal itu saja ia sudah tidak sanggup.

Rima menghela napas panjang. Tangannya berusaha mengusap air mata yang masih betah membasahi kedua pipinya. Ia berusaha tegar sebab menangis hanya akan membuatnya semakin terpuruk. Maka ia pun memutuskan untuk segera tidur, meski hati dan akalnya sudah menolak diistirahatkan.

###

Selepas sholat subuh, Rima bergegas menyiapkan segala keperluan kuliahnya. Ia sudah memantapkan niat untuk berkuliah. Ya, meskipun hanya untuk bimbingan saja, minggu depan dirinya sudah dijadwalkan untuk seminar proposal.

Deritan pintu kamar membuat kegiatannya berhenti.

"Makan dulu. Saya sudah siapkan sandwich di atas meja makan," ucap Damar yang sudah menyembulkan kepala di balik pintu yang terbuka setengah itu.

"Iya. Bentar lagi udah selesai siap-siapnya." Rima tersenyum manis kepada Damar. Alhasil lelaki itu heran dengan perubahan sikap Rima yang sangat drastis. Meski begitu, hati kecilnya tetap bersyukur karena kondisi Rima yang memang jauh lebih baik dari semalam.

"Yakin tetep kuliah?" Tanya Damar seraya melangkah masuk ke kamar gadis itu. Ia duduk di atas ranjang dengan kaki yang menjuntai ke bawah.

"Yakin lah," jawab Rima dengan sangat percaya diri. Tangannya masih sibuk menyisir rambutnya.

"Kepala kamu udah nggak pusing?" Tanya Damar yang kini berdiri di samping Rima. Tatapannya jatuh kepada bayangan gadis gendut yang ada di dalam cermin.

"Nggak." Rima kembali tersenyum, merasa senang jika Damar perhatian kepadanya. "Aku udah nggak papa, Dam." Jawabnya santai.

Helaan napas terdengar begitu pasrah di telinga Rima. Ia mengerti jika Damar sangat mengkhawatirkannya. Namun, biar bagaimana pun juga ia harus bangkit dari kejadian kemarin. Ia harus bisa bangkit sendiri. Sekalipun tanpa Damar yang akan menggandengnya.

"Rim," panggil lelaki bertubuh tegap itu, membuat gadis disampingnya menoleh.

Ia meletakkan kedua tangannya di bahu Rima, menariknya perlahan ke samping agar keduanya berhadapan. Rima terdiam. Mata jernih Damar mengisyaratkan jika lelakinya itu akan membicarakan hal bersifat serius setelah ini.

"Saya yakin kamu kuat. Percaya sama saya, kita pasti bisa lewati ini semua dengan mudah. Asal kita saling percaya." Damar menatap kedua manik mata hitam Rima, menyalurkan sebuah kesungguhan yang tersirat jelas di mata jernihnya.

My Obesity Love✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang