⚠ part ini sudah direvisi, yang baca cerita aku dari awal pasti tau dibagian mana alurnya berubah ❤
•••
Nara memasuki kamarnya dengan dinding yang dipenuhi lukisan kopi. Meletakkan tasnya di atas meja belajarnya.
Tangannya mengambil sebuah bingkai foto yang terdapat wajah orang yang berarti dalam hidupnya, mengelus foto tersebut dengan jari-jari mungilnya
"Nara kangen, Bun." Setetes air mata terjatuh mengenai bingkai foto yang gadis itu pegang
Gadis itu mengingat kembali masa-masa dimana sosok bundanya masih ada. Begitu banyak kenangan yang bundanya tinggalkan membuat Nara selalu merindukan sosoknya. Gadis itupun melekatkan kembali bingkai foto tersebut, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
"Mbok, Papa belum pulang?" tanya Nara saat ia sampai di meja makan untuk makan malam.
Mbok Yanti yang sedang menyiapkan makan malam menolehkan kepalanya menatap anak majikannya.
"Belum neng," jawabnya sambil menata makanan di meja makan.
"Mbok mau kemana? Temenin Nara makan ya," tanya dan ucap gadis itu kepada Mbok Yanti yang baru saja ingin kembali ke dapur.
"Tapi neng-" terlihat raut wajah yang tak enak dari wanita baya itu.
"Plis mbok, biasanya yang temenin Nara makankan cuma mbok Yanti," ujar Nara dan Mbok Yantipun mengangguk.
Setelah mengisi perut, kini Nara sedang berada di ruang keluarga bersama Mbok Yanti. Kehilangan sikap Papa-nya yang dulu membuat Nara begitu akrab terhadap asisten rumah tangganya. Seperti saat ini, Gadis itu menjadikan paha Mbok Yanti sebagai bantalan untuk ia tiduran di sofa.
"Mbok, Nara kangen deh sama bunda, dulu sering banget Nara tiduran di paha bunda kaya gini sambil kepalanya dielus," ujar Nara.
Gadis itu mengarahkan pandangan matanya, menatap wajah Mbok Yanti saat tangan wanita itu mengelus kepala Nara.
"Mbok siap jadi penawar rindu." gadis itu dibuat tersenyum karena ucapan asisten rumah tangganya.
Dering telepon rumah membuat Nara bangun dari tidurannya.
"Biar mbok aja neng," instruksi Mbok Yanti, setelah menerima telepon wanita baya itu kembali kehadapan Nara.
"Siapa Mbok?" tanya gadis itu mengalihkan pandangannya dari televisi.
"Bapak, neng. Katanya malam ini Bapak enggak pulang," beri tahu Mbok Yanti.
"Oh, yaudah Mbok kalo gitu Nara naik ke atas ya, Mbok langsung istirahat aja ya." Nara melangkahkan kakinya meninggalkan ruang keluarga dengan senyuman kecutnya.
Sedangkan wanita baya yang tak lain Mbok y mengerti apa yang dirasakan Nara, semakin hari gadis itu kehilangan sosok Papa-nya.
☕☕☕
Pukul 06:00 pagi Nara sudah siap dengan seragam sekolahnya, berjalan menuruni anak tangga satu persatu, hingga Nara memberhentikan langkahnya di pertengahan anak tangga menatap ke arah di mana terdapat sosok pria paruh baya yang sedang menikmati sarapan paginya.
Nara tidak menghiraukan keberadaan pria itu, melanjutkan langkahnya menuruni anak tangga berjalan ke arah pintu depan, sebelum langkah Nara sampai di pintu itu, terdengar suara tegas yang memanggil namanya.
"Nara," panggilan pria paruh baya itu sambil berdiri menghampiri Nara
"Nara buru-buru, Pah," ucap Nara dengan mata berkaca-kaca dan pergi begitu saja dari hadapan pria itu.
"Hufft," helaan napas terdengar dari mulut Andre-papa Nara.
Setelah tiba di sekolah beberapa menit lalu, sekarang Nara berada di rooftop sekolah duduk merenung memikirkan alur hidupnya, Nara ingin mendapatkan kasih sayang dari sosok ibu, Nara rela semua harta yang dia punya diambil asalkan sosok malaikatnya dikembalikan tapi, Nara tau semua itu tidak akan pernah bisa terjadi, karna takdirnya Nara adalah hidup tanpa ada sosok ibu di sisinya
Ayah? Nara memang memilikinya, bahkan Nara baru saja bertemu dengan sosok itu, tapi Nara tidak pernah merasakan kehadirannya.
"Bun, kenapa bunda harus pergi ninggalin Nara sendiri disini, Nara kangen bunda, Nara pengen ngerasain pelukan hangat lagi dari bunda." tetes demi tetes air mata mengalir dari kedua mata nara, angin meniup rambut Nara yang dibiarkan tergerai.
"Coba aja Bun, kalo kejadian itu ga pernah terjadi mungkin sekarang bunda masih ada di sini sama Nara, kita wujudin mimpi kita sama-sama, tapi Nara tau Bun semua ini takdir dari Allah, Allah sayang sama bunda makanya Allah ngambil bunda dari Nara," ucap Nara sambil memandang langit seolah sedang berbicara dengan sosok malaikatnya.
Tet...tet...tet...
Bell pelajaran jam pertama sudah berbunyi membuat Nara berdiri dan menghapus jejak air matanya, menarik nafas dan menuruni anak tangga menuju kelasnya.
"Lo dari mana si Na?" tanya sahabat Nara yang bernama Anggi
"Biasa, cari angin," ucap Nara mencoba terlihat baik-baik saja.
Tapi Anggi tau bahwa sahabatnya sedang ada masalah
Anggi menghela napas dan menepuk pundak Nara, sahabatnya."Lo kalo ada masalah cerita aja sama gua Na, gua siap dengerin cerita Lo," kata Anggi dengan senyuman yang menenangkan. Tak lama guru pun masuk memulai KBM jam pertama.
Anggi Vanessa, sahabat Nara dari kecil, Anggi sangat tau kehidupan Nara seperti apa. Bagi Anggi kehidupan Nara begitu rumit semenjak kepergian Bundanya ditambah perubahan Papa-nya.
"Nara, ibu minta tolong ambilkan buku biologi di perpustakaan," ucap Bu Fatma, guru biologi di SMA Garuda
"Baik bu," kata Nara sambil berjalan meninggalkan kelas
Sesampainya di perpustakaan Nara berjalan ke arah rak di mana buku biologi di susun. Nara mengambil buku biologi itu dan kembali menuju kelas. Belum sampai keluar Nara melihat seorang lelaki sedang melukis secangkir kopi dengan bentuk abstrak dan itu cukup indah menurut Nara. Memandangnya cukup lama membuat Nara tersadar bahwa Nara harus cepat-cepat kembali ke kelas untuk memberikan buku biologi kepada Bu Fatma.
Disepanjang pelajaran Nara tidak fokus mendengarkan apa yang di sampaikan oleh guru yang mengajar. karna Nara terus memikirkan sosok lelaki yang ada di perpustakaan. Nara yakin bahwa lelaki itu memiliki ketertarikan akan kopi. Nara tersenyum cukup lama dan Nara akan mencari lelaki itu.
☕☕☕
KAMU SEDANG MEMBACA
Impian Dari Kopi [ Proses Revisi ]
أدب المراهقينJudul awal: a glass of coffee filled with dreams Nara Alviva, harus menghadapi perubahan papa-nya karena kedatangan wanita yang begitu Nara benci, ia juga harus mewujudkan impian almarhumah bunda-nya disaat ia mengidap penyakit yang mendiagnosa bahw...