"Woo, bangun."
Bahu Jeongwoo diguncang dari tempo pelan sampai akhirnya mengencang. Laki-laki itu otomatis terbangun dengan nafas tersenggal-senggal, persis seperti orang yang habis mimpi buruk.
"Kamu kenapa? Kok nangis?" Irene bingung sekaligus terkejut ketika mendapati anaknya tidur dalam keadaan menangis.
Jeongwoo menyentuh pipinya sendiri ketika mendengar pertanyaan dari Ibunya. "H-hah?" Basah. Pipinya basah.
Irene duduk di tepi kasur. Tatapannya berubah jadi khawatir, "Kamu habis mimpi buruk ya sampe nangis gitu?"
Jeongwoo bangkit dari posisinya jadi bersandar pada headboard tempat tidur. Ia mengelap sisa air matanya di pipi sebelum mengering. Lantas ia menggeleng, "Eng-enggak.. Tau.." jawabnya ragu. Ada saat ketika habis bermimpi sesuatu, terkadang memang suka lupa kan?
Irene mengelus puncak kepala anaknya. "Yaudah kalo gitu cepet kamu cuci muka terus sarapan ya di bawah. Mama tunggu,"
Jeongwoo mengangguk samar. Setelahnya Ibunya sudah tak terlihat lagi di dalam kamarnya. Otak Jeongwoo sekarang seolah mencari ingatannya tentang mimpi apa yang didapat sampai ia menangis begini?
Sesaat setelah cuci muka. Sesuai dengan instruksi Ibunya, Jeongwoo langsung bergegas menuruni anak tangga. Ia langsung menuju ruang makan rumahnya.
Jeongwoo menarik salah satu kursi meja makan lalu duduk disana. "Itu Mama cuma bikin sandwich aja sih, gapapa kan?" tanya Irene yang dibalas anggukan kepala oleh anaknya.
Tak ada perbincangan yang terjadi diantara Ibu dan anak tersebut. Jeongwoo sibuk menghabiskan sandwich nya, sementara Irene sibuk mencuci piring di dapur.
Dengan cepat Jeongwoo menghabiskan sarapannya, ia membuka kulkas berniat untuk mengambil air namun kotak bekal berwarna biru miliknya ada disana. Tangannya membuka tempat makan tersebut, "Ma, ini buat siapa? Kok pake tempat makan aku?"
"Oh, itu buat tetangga sebelah sayang." Balas Irene bersamaan dengan selesainya kegiatan mencuci piring.
"Kemarin kan mereka baru pindahan, Mama sempet ngobrol sama Tante sebelah. Sebagai untuk menyambut tetangga baru, jadi Mama sengaja bikin brownies buat mereka- buat anaknya."
Alis Jeongwoo mengerut. "Kenapa harus brownies dan kenapa harus pake tempat makan aku?"
Irene duduk berseberangan dengan anaknya. "Kamu kan tau sendiri, Woo. Mama gak bisa masak makanan enak. Jadi, yaudah Mama bikinin ini aja. Kalo masalah tempat, Mama pinjem dulu gapapa kan? Lagian nanti paling dibalikin kok kotak makannya."
Jeongwoo menghela nafas pasrah. Laki-laki itu hanya mengangguk, lalu ia pamit kembali ke kamar. Ia duduk di meja belajar, sekilas ingatan akan mimpinya muncul.
Gue mimpi Haruto pergi?
Jeongwoo otomatis menggeleng dengan kuat. Mimpi buruk! Ya Tuhan, mimpi itu yang ternyata membuat Jeongwoo sampai menangis.
Laki-laki itu melirik ke jam dinding. Matanya membelalak ketika melihat jarum jam, "Astaga! Gue telat!"
Secepat kilat ia mandi lalu bersiap-siap. Jeongwoo langsung menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa bahkan hampir saja dia terjatuh di tangga. Dengan gerakan cepat ia langsung memakai sepatunya.
Dia pikir Haruto pasti sekarang sudah sampai duluan di sekolah. Kenapa lelaki itu tidak mencari keberadaan Jeongwoo? Padahal beberapa saat lagi sudah hampir bel masuk. Apa anak berdarah Jepang itu sengaja untuk sehari tanpa Park Jeongwoo?
"Ma, aku pamit ya! Udah telat nih.." Ucap Jeongwoo. Irene justru jadi heran. Apa anaknya sedang demam sekarang?
"Woo, kamu sehat kan?" Irene mengernyit menatap Jeongwoo dengan balutan seragam SMA.
"Hah? Mama apaan sih?"
Irene menaruh punggung tangannya di dahi anaknya. "Gak panas deh.."
Jeongwoo semakin tidak mengerti dengan sikap Ibunya. "Aku gak sakit. Kenapa sih?" tanya Jeongwoo heran.
Irene justru makin terlihat bingung dan tidak mengerti dengan anaknya. "Woo, kamu kan udah lulus. Ngapain masih mau sekolah? Oh, kangen ya?"
Jeongwoo terdiam. Kalimat Ibunya seakan menusuk inti jantungnya. Jeongwoo sudah lulus sekolah. Kenapa dia jadi linglung sendiri? Lelaki itu lantas mengingat kembali.
"Kamu lupa?"
Jeongwoo menatap Ibunya dengan tatapan bingung. Sedetik kemudian ia ingat hari kelulusan itu, tapi mimpinya semalam....
"Ma, Haruto masih disini kan?" Tanya Jeongwoo was-was. Ia berharap yang ia ingat memang benar-benar mimpi.
Irene menatap anaknya sedih. "Haruto kan udah pindah sayang."
Kepala Jeongwoo otomatis berdenyut. Ada apa dengan pikirannya? Jadi yang dia ingat tadi itu apa? Lelaki itu terduduk di sofa ruang tamu. Dia masih tidak mengerti dengan apa yang baru saja dia alami, atau apa orang pernah mengalami mimpi hal yang pernah terjadi sebelumnya di kehidupan nyata? Jika iya, mungkin itu yang dialami Jeongwoo sekarang.
Ternyata Haruto beneran pergi?
Jeongwoo mengusap wajahnya kasar. Bisa-bisanya dia lupa kalau Haruto benar-benar sudah pergi. Apa kabar lelaki itu sekarang? Apa harinya baik-baik saja tanpa Jeongwoo?
"Ma, aku ganti baju dulu ya." Jeongwoo melangkah dengan lesu. Sementara Irene hanya menatap punggung anaknya yang perlahan semakin hilang dari pandangannya.
Jeongwoo duduk di kursi meja belajar. Ia menatap bingkai foto berisi fotonya dengan Haruto, lantas ia menghela nafas. "Gue percaya, lo itu salah satu bagian terbaik yang sengaja Tuhan kasih buat gue." Ucapnya sambil tersenyum.
"Tapi ternyata Tuhan cuma hadirin lo sesaat..." Ia tersenyum kecut.
Laki-laki itu memejamkan matanya sesaat, kemudian ia kembali menatap bingkai foto tersebut. "Gue sayang lo, Watanabe Haruto. Take care of yourself!" Ucapnya menirukan kalimat yang Haruto tulis di dalam surat.
But life must go on, right?
---
Bad prologue. Dikarenakan di buku sebelumnya bener bener gantung, so i decided to make a sequel of IPA. Aku gak janji rajin update, tapi kalo aku lagi gak sibuk pasti update. Keep vomments 💛
Arunica: Sunrise From Fukuoka
[The second book of IPA Series]Kindly to read IPA before this book
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunica [hajeongwoo] || TELAH TERBIT
FanfictionSequel of IPA [hajeongwoo] Bagaimanapun secercah kepingan cerita masa SMA akan selalu terekam jelas dalam ingatan Jeongwoo. Begitupun dengan apa yang Jeongwoo yakini, setiap hal yang terjadi dalam hidup sudah menjadi garisan dari Tuhan. Mungkin Haru...