Chapter 6: Lost Contact

2.9K 527 30
                                    

Jakarta, Indonesia.

"Selamat pagi sayang."

Jeongwoo tersenyum meski kedua matanya terasa masih sangat berat untuk terbuka sepenuhnya. Lantas ia berjalan gontai menghampiri Ibunya.

"Pagi, Ma." Balas Jeongwoo sambil menarik kursi meja makan.

Irene tersenyum memperhatikan muka bantal anaknya. "Udah cuci muka sama sikat gigi 'kan?" Tanyanya di sela-sela sibuk menyiapkan sarapan. Jeongwoo otomatis balas mengangguk pada Ibunya.

"Good boy." Ucap Ibunya. "Yuk, kita sarapan dulu. Kamu mau apa? Sandwich, nasi goreng, atau?"

"Mau cereal aja kayaknya."

Wanita paruh baya itu lantas mengangguk. "Oke, sebentar." Ia lalu menyiapkan mangkuk cereal untuk anak semata wayangnya.

Sebenarnya bukannya Jeongwoo yang manja, tapi memang lebih tepatnya ia selalu dimanja oleh Ibunya sejak kecil. Maklum saja karena memang dia anak tunggal di rumah ini. That's why his mom loves him so much.

"Nih. Udah siap,"

Jeongwoo tersenyum lebar menatap ke mangkuk cereal nya, lalu beralih menatap Ibunya. "Makasih ya, Ma."

Irene tersenyum hangat menatap anak laki-lakinya. "Sama-sama sayang. Makan yang banyak ya!" Sahutnya sambil mengelus puncak kepala anaknya.

Kemudian Irene sibuk mengambil nasi goreng untuk dirinya sendiri. Ia duduk berhadapan dengan anaknya di meja makan. Keduanya sama-sama larut dalam keheningan yang mereka ciptakan sembari sibuk dengan sarapannya masing-masing.

"Woo, semalem kamu telfonan sama siapa?" Tanya Irene dengan tiba-tiba di tengah keheningan membuat cereal yang sedang Jeongwoo kunyah mendadak seakan menyangkut di tenggorokan. "Haruto?" Lol.

Kali ini Jeongwoo benar jadi terbatuk mendengar pertanyaan Ibunya. Mama nih ada ada aja deh heran. "Eh... Pelan pelan, Woo. Ayo minum dulu," Irene ikut panik melihat anaknya tersedak.

Jeongwoo menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya. Kenapa pertanyaan Ibunya aneh aneh aja sih? Buat apa Jeongwoo telfonan sama Haruto? Nomornya saja tidak punya. Ralat, lebih tepatnya sudah tidak punya.

"Kok Haruto sih, Ma?"

Irene mengernyit. "Loh. Bukannya biasanya kamu emang suka telfonan sama Haruto ya?" Ya, benar juga sih. Tapi itu kan dulu.

Jeongwoo, lelaki itu menatap mangkuk cereal nya dengan tatapan kosong. Sebenarnya dia rindu. Entah rindu pada Haruto atau hanya rindu pada kebiasaan-kebiasaannya dulu seperti salah satunya yaitu telfonan.

Tanpa disadari, Irene tentu saja memperhatikannya. "Woo? Kenapa?"

Jeongwoo menggeleng. "Gapapa. Itu semalem aku ditelfon Dobby,"

"Dobby?"

"Iya. Ah, Doyoung. Temen kelas aku waktu di SMA. Sekelas sama aku dan Haruto, Ma." Jelas Jeongwoo.

Irene mengangguk paham. Ia tersenyum kemudian kembali bersuara, "Oh gitu. Mama kira kamu telfonan sama Haruto." Sahutnya. "Oh iya, Woo, Haruto gimana kabarnya di Jepang? Dia kapan main kesini lagi?"

Kenapa harus bahas si belalang sawah sih? Mama bikin gak mood aja.

"Nggak tau. Baliknya nunggu lebaran onta kali," Jeongwoo mengangkat bahunya acuh. Lagian mana dia tau Haruto akan kembali kesini lagi atau enggak. Toh, mereka berdua juga sudah tidak pernah kontakan lagi.

"Hussss... Ngaco kamu." Sahut Irene diakhiri dengan kekehannya.

Jeongwoo cepat-cepat menyelesaikan sarapannya. Sebenarnya tujuannya adalah supaya dia bisa cepat kembali ke kamar—setidaknya ia bisa menghindari pertanyaan-pertanyaan ajaib dari Ibunya, Irene.

Arunica [hajeongwoo] || TELAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang