Chapter 3: I Hate You

3.7K 663 91
                                    

Tepat tiga hari setelah pertemuan Jeongwoo dengan lelaki dari masa lalunya. Jeongwoo yang masih bergulung dalam selimutnya lantas bangun. Ia mendudukkan diri di tepi kasur sambil menghirup udara di ruangan kamarnya.

Setelah pasokan udara masuk ke dalam dirinya, ia lantas bangkit menuju meja belajar. Benda itu sudah jarang ia gunakan semenjak lulus sekolah. Padahal dulu sewaktu sekolah, meja belajar menjadi benda di sudut kamarnya yang sering ia hampiri. Dulu, tak jarang pula Jeongwoo sampai ketiduran saat sedang belajar disitu. Tapi, tidak lagi untuk sekarang.

Omong-omong belajar, Jeongwoo jadi rindu sekolah. Rindu teman-teman dan suasana sekolah lebih tepatnya. Ia rindu bagaimana perhatiannya seorang Kim Doyoung padanya. Ia rindu omongan ceplas ceplos dari So Junghwan. Ia rindu dengan kelembutan seorang Kim Yeongue. Ia rindu teman-teman lainnya, dan tentu saja rindu dengan Haruto.

"Apa gue main aja ya ke rumah Dobby?" Tanya Jeongwoo sendiri.

Tangannya lantas meraih ponselnya di atas meja belajar. Ia mencari kontak Doyoung disana, tapi hasilnya nihil. Tidak ada kontak Doyoung. Ah, ternyata dia lupa sesuatu.

"Kalo langsung kesana, gue lupa jalan rumahnya Dobby." keluh Jeongwoo. Pasalnya sudah lama sekali dia tidak berkunjung ke rumah Doyoung. Dulu sewaktu kerja kelompok di rumah lelaki itu, pertama kali dan terakhir kalinya Jeongwoo main kesana. Jadi, wajar 'kan kalau dia lupa?

Jeongwoo melirik jam di dinding kamarnya. Pukul 4 sore. Jujur dia sangat bosan di dalam rumah terus menerus sejak lulus dari bangku sekolah. Tanpa berpikir lebih lama lagi lantas ia bangkit lalu turun ke lantai bawah rumahnya.

"Mau kemana sayang?"

"Mau main sepeda dulu sebentar,"

Irene mengernyit. "Tumben?"

Jeongwoo menghela nafas. Rasanya memang sudah lama sekali sepedanya tidak ia gunakan semenjak Haruto pindah ke Jepang. Karena biasanya ia kalau main sepeda dengan Haruto. Tapi itu dulu........

"Gapapa, Ma." kata Jeongwoo. "Lagian aku udah lama juga gak main sepe—"

"—semenjak Haruto pindah ya?" potong Irene sambil mengganti channel televisi. Jeongwoo lagi-lagi menghela nafas. Memang benar kenyataannya begitu.

"Aku keluar dulu ya, Ma."

"Hati-hati, Woo."

Jeongwoo memilih untuk segera pergi keluar dibanding harus terkurung dengan pertanyaan yang berhubungan dengan cowok berdarah Jepang itu. Jeongwoo benci jika harus terus menerus mengingat Haruto. Lagi pula belum tentu Haruto masih ingat dengannya 'kan?

Cih. Ngapain kangen sendirian?

Jeongwoo mengeluarkan sepedanya dari garasi kemudian ia kembali menutup pintu pagar rumahnya. Bahkan sepedanya ini sudah terlihat usang dipenuhi debu. Beberapa saat Jeongwoo meneliti sepedanya sambil menyingkirkan debu sebelum akhirnya ia mengayuh pedalnya.

Sepeda Jeongwoo menyusuri jalanan komplek. Hening sekali rasanya. Padahal dulu main sepeda jadi salah satu hal yang menyenangkan baginya, tapi tidak untuk sekarang. Dia merasa kesepian dan main sepeda sudah tidak semenyenangkan dulu lagi.

Mengayuh sepeda keliling komplek tentu membuat lelah. Dengan begitu Jeongwoo langsung mengarahkan sepedanya menuju taman komplek. Ia pikir ingin duduk istirahat sebentar disana sebelum pulang ke rumah.

Jeongwoo merapatkan sepedanya masuk ke taman, menurunkan standar sepedanya, lalu duduk di salah satu kursi yang ada di taman. Sebenarnya tidak ada yang berubah dari taman ini, yang berbeda hanya ada beberapa tanaman baru yang terlihat ditanam disekitar taman.

Jeongwoo menarik nafas dalam. Ia memejamkan mata, lantas ingatannya seperti menerawang jauh ke belakang—mengingat kembali memori masa lalu yang bisa ia ingat.

"Hei."

Jeongwoo yang merasa seseorang baru saja menepuk pundaknya otomatis mengerjap beberapa kali. Pandangan Jeongwoo langsung disambut oleh sosok yang selama tiga hari ini ia hindari—tengah tersenyum menatap ke arahnya.

"Elo?"

Lagi-lagi lelaki itu tersenyum. "Iya, ini gue." Balasnya. "Kenapa?"

Jeongwoo cepat-cepat menggeleng. "Gak." Jawabnya jutek. Hhh, gak pernah berubah lo, Woo.

"Gue duduk ya?"

Percuma. Tanpa dijawab sekalipun oleh Jeongwoo pun, toh dia akan tetap duduk di sebelah Jeongwoo. Jadi, Jeongwoo hanya memilih diam.

Kenapa sih ketemu dia lagi?

"Ngapain, Woo, disini? Sendirian?"

Jeongwoo malas banget deh kalau basa basi begini. "Menurut lo?"

"Lo jutek kayak gini, gue 'kan jadi flashback waktu pertama kali ketemu sama lo." katanya. Ya peduli gue apa brengsek? Gue jutek lagi juga karna lo.

"Suka suka gue lah." sungut Jeongwoo. Nahan kesal dia tuh dengan orang di sebelahnya.

Setelah itu tidak ada percakapan lagi diantara keduanya. Jeongwoo yang memilih diam karena tidak ingin berbincang lebih banyak dengan orang itu, sementara lelaki itu bingung harus bicara apa lagi.

Sekian lama terdiam. Akhirnya lelaki yang duduk disamping Jeongwoo kembali buka suara, "Woo..."

"Gue mau minta maaf."

Jeongwoo yang mendengar kalimat itu hanya diam—membiarkan laki-laki disebelahnya bicara lebih lanjut.

"Gue gak maksud kayak gitu ke lo. Gue tau lo kecewa sama gue. Tapi—"

Jeongwoo bangkit dari tempatnya. Lantas ia menatap penuh benci ke lelaki yang masih duduk di kursi. "—udah lah, Kak. Gak usah dibahas lagi. Gak penting," ucapnya.

Tanpa aba-aba lelaki itu langsung mengenggan pergelangan tangan Jeongwoo. "Tapi, sikap lo sekarang kayak gini ke gue bikin gue ngerasa bersalah. Gue tau gue salah.."

Jeongwoo segera menepis tangan laki-laki itu. "Yaudah gini aja. Lo ya lo, gue ya gue. Sekarang udah gak ada kata 'kita' lagi, paham? Jadi gak usah bahas yang udah lewat." Tegas Jeongwoo.

Laki-laki itu lantas berniat untuk pergi, tapi tangannya kembali ditahan....

"Woo, tapi gue sayang sama lo."

Gila!

Jeongwoo menepis tangan itu lagi. "Gak! Tapi, gue enggak! Lo udah sinting? Seenaknya aja lo jadi orang."

"Woo...." Suaranya terdengar putus asa. "Sorry for all I have done to you,"

Suasananya tentu jadi tidak enak. Dada Jeongwoo naik turun, udara disekitarnya seakan menipis. Ia terlalu kesal dengan lelaki di hadapannya. Bisa tidak, Tuhan tidak mempertemukannya lagi dengan dia?

Laki-laki itu bangkit. Berdiri tepat di depan Jeongwoo. Matanya menatap Jeongwoo dengan tatapan sendu. Jujur ia sangat merasa bersalah atas masa lalu. Ia senang bertemu lagi dengan Jeongwoo, tapi tidak dengan sikap Jeongwoo yang acuh seperti ini padanya. Ia kesiksa.

"Woo.. forgive me please?"

Jeongwoo terdiam. Ia masih berusaha menetralkan nafasnya. Ditatapnya lekat-lekat lelaki dihadapannya, sebelum ia berkata. "Gue benci lo, Yoon Jaehyuk. Minggir!"

Lantas Jeongwoo langsung pergi dari tempat itu. Dia terlalu muak dengan Jaehyuk. Dulu dia pernah menaruh hati pada laki-laki itu. Dulu Jaehyuk juga pernah memberi harapan seakan kata 'kita' itu memang ada, tapi semuanya bullshit. Lalu, untuk apa sekarang ia datang lagi dan dengan semudah itu bilang kalau ia sayang dengan Jeongwoo?

Jeongwoo menatap nanar sepedanya. Beruntungnya dia sekarang bisa mengucapkan kalimat itu pada Jaehyuk, setelah bertahun-tahun lamanya hanya dapat ia pendam sendiri. Rasa benci itu tertanam dalam dirinya. Tapi, rasa itu sempat terlupakan olehnya semenjak ia bertemu dengan Haruto.

Namun, kini Haruto sudah pergi dan takdir kembali mempertemukannya dengan masa lalunya. Dia benci. Dia tidak butuh Jaehyuk kembali, yang dia butuh hanya satu.

Haru, i need you...

Arunica [hajeongwoo] || TELAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang