6. Her Presence

43.2K 7.4K 612
                                    

Happy weekend everyone

Ditunggu nih komen-komen yang lucu sebagai hiburan menjelang UTS.

Oh iya. Happy UTS semuanya.

Enjoy
*
*
*

Bima

Kepalaku yang semula tertunduk dengan kedua tangan menggenggam tangan Deryl yang terpasang infus menegak saat pintu kamar inap Deryl terbuka dan memunculkan sosok Sekar sambil membawa sebuah kantong plastik.

"Bapak belum makan malam," ucapnya lalu menyerahkan bungkusan plastik tersebut padaku. "Ini nasi goreng. Saya beli di kantin rumah sakit."

"Makasih, Sekar," aku mencium tangan Deryl sebelum bergabung dengan Sekar di sofa yang ada di kamar inap untuk menyantap makan malam.

Sekar langsung duduk menjauh, memberikan jarak hampir satu meter di antara aku. Mungkin dia sendiri masih shocked kenapa dia bisa ada di sini.

Sama. Aku tidak menyangka Sekar menawarkan bantuan. Aku juga tidak menyangka aku menerima bantuannya.

"Kondisi tubuh Deryl memang agak lemah. Dia gampang sakit," aku memilih memecah kesunyian dengan menyampaikan fakta tersebut. "Ini kedua kali Deryl masuk rumah sakit di tahun ini."

Deryl terkena tifes. Padahal tadi pagi dia tidak mengeluh apa-apa. Cuma memang siang si Mbak menelepon katanya Deryl tidak mau pergi les piano siang ini dan memilih tidur di kamar.

"Karena tifes juga?" tanya Sekar.

Kepalaku menggeleng. "Demam tinggi. Deryl sudah pernah di-medical check up secara full, kata dokter dia baik-baik saja. Cuma memang sistem imunnya saja lebih lemah."

Seandainya boleh bertukar posisi, biar aku saja yang terbaring di sana. Deryl yang diinfus, hati dan tubuhku yang sakit.

Mau bagaimana lagi, he's my everything now. Aku rela menebus apa pun yang ada di dunia ini asal Deryl sehat dan bahagia.

Sekar tidak bersuara. Dia hanya menatap Deryl dengan pandangan sendu. 

Baru aku akan memasukkan sesuap nasi goreng ke dalam mulut, tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Teman kamu yang tadi?"

Sekar menolehkan kepalanya padaku. Dia menunjuk layar ponselnya. "Udah sampai di rumah. Pas beli nasi goreng Bapak dia ngasih tahu saya."

"Dia...pacar kamu?"

"Bukan...dia anak teman Ibu."

"Dijodohkan?"

"Dikenalin."

"He seems good. Dia nggak marah kamu tinggalin gitu aja di warung nasi goreng cuma untuk nganterin saya ke RS."

Sekar tersenyum kecil. Manis ternyata.

"Kayaknya sih...agak marah. Sebenernya saya yang tadi inisiatif nanya dia udah di rumah atau belum."

"If I were him, I would be mad as well. Harusnya tadi kamu ngajak dia juga ke sini."

"Tapi kan anak Bapak sakit. Saya kenal dengan Bapak dan Deryl. Kita juga bisa dibilang tetanggaan. Bapak keliatan nggak siap untuk nyetir mobil ke sini. Saya cuma mau nolong orang-orang yang saya kenal. Emang salah, ya? Saling menolong itu kan baik. Lagian Jenaro bawa motor. Masa motornya ditinggal di sana? Besok pagi juga dia harus kerja. Saya cuma nggak mau dia kecapean."

Baru kali ini Sekar ngomong sepanjang ini padaku. Dari suaranya, dia terdengar sedikit tersinggung. Kuperhatikan wajahnya yang sedikit kesal. Hanya sedikit.

A Healing PillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang