17. Rewind

43.2K 7.3K 458
                                    

Good morning everyone
Semoga weekend-nya menyenangkan

Enjoy
*
*
*

Sekar

Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku cerita ke Mas Bima. Entah apa respon yang akan diberikannya. Aku meyakinkan diri bahwa aku harus siap dengan konsekuensi tersebut.

Kami saling mengunci mulut selama perjalanan dari Bogor ke Jakarta. Sesuai dengan permintaanku yang akan mengatakan sejujurnya di rumah Mas Bima. Aku ikut tidur bersama Deryl dalam perjalanan dan baru terbangun saat mobil Mas Bima sudah keluar tol.

"Mas anter Deryl ke kamar dulu," kata Mas Bima dengan kedua tangan menggendong Deryl yang sudah terlelap.

Aku menunggunya si sofa ruang tamu. Sebelumnya, di sini juga Mas Bima menceritakan masa lalunya padaku. Selain kami gantian. Jantungku berdebar kencang.

Dua gelas air dingin diletakkan Mas Bima di meja. Dia meneguk segelas lalu duduk di sebelahku. Aku ikut meminum air tersebut.

"Now, spill it, Sekar. Please," dia menggenggam kedua tanganku erat.

Mata cokelat Mas Bima menatapku lembut, seolah berkata, "I'll be fine. Just be honest to me."

"Oke...tapi please...jangan judge aku, Mas."

"I won't."

"Dari dulu, aku memang punya insecurity yang agak berlebihan. I don't know why. Padahal...aku nggak termasuk less fortunate people," kataku dengan jantung berdebar-debar. "It got even worse waktu aku kuliah di Jakarta. Cukup shocked dengan life style di sini."

Kening Mas Bima mulai mengerut. Mungkin dia merasa heran kenapa ada perempuan dengan pemikiran serumit aku.

"Sebelumnya, aku nggak pernah suka sama laki-laki. Karena memang aku punya tujuan untuk kuliah ya demi cita-cita. Tapi...tapi...semuanya berubah waktu...waktu kenal Pak Kahfi."

"Kahfi? Kahfi Wicaksono?" tanyanya heran.

Aku menundukkan kepala. "Aku...aku suka sama Pak Kahfi, Mas."

Genggaman tangan Mas Bima menguat.

"Suka banget. Itu...pertama kalinya aku suka sama orang lain...apalagi Pak Kahfi baik banget...dia nggak memandang aku rendah, Mas. Walaupun aku dari kampung. Tapi aku mulai merasa cintaku bertepuk sebelah tangan waktu Kak Renata jadi dosen di kampus."

Mas Bima memegang daguku, memintaku untuk menegakkan kepala. Aku menatapnya takut-takut.

"Renata merendahkan kamu?" tanya Mas Bima.

Kepalaku langsung menggeleng. "Nggak sama sekali. Aku sadar diri aku jauh banget di banding Kak Renata yang udah cantik banget, pinter, lulusan Australia, anak orang kaya dan terkenal. Aku...aku semakin ngerasa kecil, Mas. Apalagi...waktu itu...nggak butuh lama buat Pak Kahfi terpesona sama Kak Renata."

Tanpa kusadari, air mataku menetes. Aku menangis pelan. Mas Bima membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Tangisku tumpah.

"Sakit banget, Mas...Butuh waktu lama banget untuk lupain itu," ucapku di sela isakan.

Mas Bima memelukku erat. Satu tangannya mengusap-usap rambutku.

"Itu pertama kalinya aku jatuh cinta dan patah hati, Mas. It felt so hard to handle the pain. Apalagi waktu itu aku lagi skripsian."

"Udah udah. Nggak usah dilanjutin," ucap Mas Bima sambil masih mengusap rambutku.

"Aku terus berpikir Pak Kahfi memilih Kak Renata karena dia lebih segala-galanya dibandingkan dengan aku. Aku jadi membentengi diri dari cowok-cowok yang ngedeketin aku. Apalagi...yang kaya banget kayak Pak Kahfi," aku tetap melanjutkan cerita.

A Healing PillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang