24. A New Neighbor

42.5K 6.9K 661
                                    

Happy lunch everyone
Semoga seneng ya makan siangnya ditemani Bima

Enjoy
*
*
*

Bima

Bangga, bahagia, dan terharu adalah tiga hal yang menggambarkan air muka Bara saat ini.  Bagaimana tidak. Dia dan Kadek baru saja dikaruniai seorang putri cantik. Namanya Anyelir.

Setelah tiga hari di rumah sakit, Kadek diizinkan pulang ke rumah. Aku baru punya waktu sekarang untuk menemui keponakan baruku.

"Walaupun adiknya perempuan tetap bisa diajak main PS kan, Om?" tanya Deryl sambil memandangi Anyelir yang kini dipangku oleh Kadek.

Aku tertawa mendengar pertanyaan Deryl. PS melulu.

"Bisa dong. Entar kita ajak main ya. Om, Deryl, Dimas sama Anyelir," kata Bara sembari mengusap-usap rambut anakku.

"Tapi mainnya mesti weekend. Kalau hari sekolah bisa diomelin Papa," lanjut Deryl lagi. Dia melirikku.

Kami tertawa mendengarnya.

"Kalau perempuan semua-semua warna pink. Nggak kayak aku yang suka blue. Kalau Dimas sukanya apa, Dek? Red, ya?"

Dimas mengangguk semangat. "Red. Angry birds. Red."

"Dimas kita nonton Angry Birds The Movie, yuk. Ada di Youtube kan, Om?"

"Daripada nonton Youtube, mendingan Kak Deryl sama Dimas main mobil-mobilan," sambung Kadek lalu menunjuk ruang bermain Dimas.

Deryl langsung memegang tangan Dimas. "Ayo main sama Kakak."

Mereka berlari kecil meninggalkan kami.

"Semoga Deryl bisa ceria terus kayak gitu ya, Mas. Aku suka sedih kalau ingat dia sering masuk rumah sakit," ucap Bara.

"Apalagi aku, Bar. Rasanya—entahlah," jawabku. "Deryl priotitasku saat ini. Aku udah resign dari KAP. Fokus jadi dosen aja biar lebih sering habisin waktu sama dia."

"Pemasukan berkurang dong," ledek Bara.

"Untuk kami berdua udah cukup kok."

"Untuk bertiga juga cukup sih, Mas," lanjut Bara kalem.

Aku membalasnya dengan senyuman tipis.

Anyelir kemudian menangis. Kadek bangkit. "Kayaknya dia haus. Aku ke kamar dulu, ya."

Kami mengangguk.

"Dia benar-benar nggak hubungi Mas lagi?" tanya Bara.

Aku menggeleng. "Yasudahlah. Udah lewat juga."

"Kapan terakhir kalian ketemu?"

"Dua bulan lebih kayaknya."

"Aku jauh dari Kadek seminggu aja udah kangen berat, Mas," kata Bara kemudian.

"Kalau saling cinta ya pasti gitu. Kita beda nasib, Bar. Kalau aku cuma suka sepihak doang."

"Masa?"

"Ya menurut kamu aja," aku mendesah. "Ya kali aku ngemis-ngemis cinta ke dia, Bar. Aku juga punya harga diri."

"Setuju sih. Mas kan high quality duda. Tapi aku nggak nyangka level insecurity-nya sampai separah itu. Kasian tau, Mas. Udah mukanya baik-baik gitu. Badannya kecil pula. Pasti butuh support banget tuh."

"Ada yang mau support dia malah disuruh menjauh."

Bara menepuk bahuku. "Belum jodohnya mungkin, Mas."

A Healing PillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang