12. A New Way of Calling His Name

39.7K 7.9K 902
                                    

Mau update semalem, eh ketiduran
Mau update pagi ini, eh kelupaan
Maklum ya beb, lagi lomba lari sama deadline tugas dan lain sebagainya

Enjoy
*
*
*

Bima

Kami duduk berhadapan di kedai kopi yang ada di depan gedung apartemen Sekar. Dia cuma memesan air mineral. Aku minum latte.

Melihat Sekar dalam tampilan baru seperti ini bikin kerongkonganku jadi agak sulit berbicara. Dia keliatan jauh lebih segar dari biasanya.

Bukan berarti Sekar dengan rambut lurus panjang berwarna hitam tidak kelihatan cantik. Hanya saja dengan potongan baru ini, Sekar terlihat berbeda. Aku sampai ragu apa dia beneran Sekar yang kukenal atau bukan.

Kalau ditanya aku lebih suka Sekar versi yang mana, aku akan jawab keduanya. I'm not picking.

"Makasih sudah nganterin goodie bag ini."

Wah, ternyata memotong rambut juga bisa memotong ketakutan. Baru pertama kali Sekar memulai pembicaraan denganku.

I like it. Tapi aku harus menahan senyum. Nanti dia bisa salah paham lagi.

"Walaupun sebenarnya Bapak bisa titip di resepsionis aja," lanjutnya. "Ini sudah malam. Deryl pasti nungguin papanya."

"Deryl kebingungan waktu kamu ninggalin kami. Sambil nangis pula," aku berkata.

Sekar mulai gelisah. Tapi kudapati dia berusaha terlihat kuat dengan balas menatap mataku.

"Your words hurt me," ucapnya pelan, tajam, dan kembali berhasil memunculkan rasa bersalah dalam diriku.

"Maafin saya, Sekar. Saya nggak bermaksud merendahkan kamu," ungkapku jujur.

"But you did."

"That's why I'm sorry. Saya mengatakan itu cuma supaya terlihat lebih hebat dari temanmu aja."

"Namanya Jenaro. Dia bukan sekedar teman saya, Pak. Dia...dia orang yang dikenalkan ibu saya pada saya."

"Ya."

"Dia menghargai saya. Dia menganggap kami sejajar. Dia nggak pernah berusaha sok powerful di depan saya."

Sialan. Banyak sekali kelebihan si Jenaro di mata Sekar.

"Saya juga menghargai kamu, Sekar. Saya ngomong kayak gitu karena saya nggak suka ada yang dekatin kamu."

Jujur saja lah. Kepalang basah. Biar dia sekalian tahu maksud aku mengatakan itu apa.

"Saya serius dengan kamu. Saya mau kamj juga begitu. But lately I realized, I was wrong. Saya belum berhak mengatur-ngatur. Makanya saya mau minta maaf. Tapi kamu harus tahu, saya mengatakan itu karena saya nggak suka ada laki-laki lain yang mendekati kamu."

"Bapak...cemburu?"

"You name it," aku mengusap wajah. "Ya Tuhan. Udah seumuran ini masih cemburuan. Nggak pantes lagi, ya?"

"Nggak tahu," Sekar mengedikkan bahu.

"Dia masih muda dan single, berbanding terbalik dengan saya. Kamu kira saya nggak merasa insecure?"

"Saya...saya lebih insecure berada di dekat Bapak."

"You don't have to be. Sekar, saya nggak pernah mengkotak-kotakkan orang berdasarkan materi. I found you cool and interesting. Saya nggak peduli kamu anak siapa, hartanya berapa."

A Healing PillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang