Chapter 17. Bangkitnya Monster

6K 1K 122
                                    


"Kau tak membiarkan tamumu masuk?"

"Untuk apa kau mencari Rafe?"

"Apa rumah ini tak menerima tamu?"

Manik Gwen berotasi, jengah. Dengan setengah hati ia melangkah mundur, sebagai isyarat –tak sudinya− agar Scarlett masuk.

Sudah kali kedua Gwen bertanya kenapa Scarlett mencari Rafe, namun wanita menyebalkan ini terus saja mengalihkan pembicaraan. Bagaimana bisa Scarlett mengenal Rafe? Bagaimana bisa wanita sialan ini sampai tahu rumah Rafe? Ah, yang lebih penting, apa hubungan mereka?

"Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku ke sini, bukan begitu?" Scarlett mendudukkan diri di sofa –tanpa menunggu perizinan Gwen, tentunya. Diikuti Gwen yang kini juga mendudukkan diri di sisi seberang, Gwen memilih bungkam.

"Well, aku cukup terkejut saat melihat berita. Ternyata kau menghilang selama dua tahun hanya untuk mendekam di rumah ini? Yah, meskipun aku mendapat begitu banyak tawaran pekerjaan setelah kau pergi. Haruskah aku berterima kasih, Vallerie?"

"Apa urusanmu mencari Rafe?" Ujar Gwen. Sama sekali tak memedulikan perkataan Scarlett. 

Dan memang mereka berdua tidak sedekat itu. Apa katanya? Vallerie? Sok dekat sekali!

Scarlett terkekeh samar. Disilangkannya sebelah kaki sebelum menopang dagu dengan sebelah tangan. Menumpukan siku lengan itu pada kaki jenjangnya. Sudut-sudut bibirnya terangkat.

"Kau tak tahu? Apa Rafael tak bilang padamu?" katanya dengan seringaian. "Rafael Zachary akan menikahiku."

Deg.

"...Omong kosong," gumam Gwen. Meski Scarlett masih bisa mendengarnya dengan jelas. Karena itulah, Scarlett terkekeh lagi.

"Omong kosong? Kau tak percaya? Lalu untuk apa aku datang ke sini kalau bukan ingin membicarakan hal itu dengan Rafael? Kau pikir aku datang karena ingin menyapamu?" Tawanya mengudara. "Sadarlah, Vallerie. Kau pikir aku tak tahu kalau kau dan Rafael selama ini tak ada hubungan apapun? Kalian hanya tinggal serumah dan melakukan seks sepanjang malam. Tanpa ikatan dan−"

"Cukup," sela Gwen. Sekujur tubuhnya bergetar saat berusaha menahan diri. Seperti ada kobaran api yang kian lama kian membesar baranya. Namun, Gwen mencoba tenang. Ia tak ingin lepas kendali. "Lebih baik kau pergi, Scarlett. Sekarang juga."

Sudut-sudut bibir Scarlett berhasil terangkat −lagi. Ia mengedikkan bahu sebelum menegakkan diri. "Well, kau benar, aku harus pergi. Lagipula, Rafael tak ada jadi tak ada pula alasanku berlama-lama."

Kemudian Scarlett mulai melangkah, membuat ketukan heels tingginya beradu dengan dasar lantai dan –demi Tuhan, Gwen semakin dibuat geram.

"Have a nice day, Vallerie. Kupastikan kita akan bertemu lagi, secepatnya." Lalu tubuh ramping itu barulah benar-benar berlalu.

Kedua mata Gwen terpejam erat. Mendadak kepalanya pening, pun perutnya bergolak tak enak. Dipijatnya sang pelipis berharap sakitnya mereda. Namun yang ada, sakitnya makin menjadi-jadi.

"Oh, my...kumohon jangan sekarang..."

Gwen menekuk tubuh, merintih kesakitan. Rasanya seperti ada yang menggerogoti perutnya, mencabik-cabik dan menekannya berkali-kali. Sampai untuk menguarkan sepenggal katapun, ia tak sanggup. Sakit dan perih itu bercampur.

"Oh, pintunya terbuka? Gwen, aku masuk ya –oh Tuhan! Gwen, kau kenapa?!"



DIVERGENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang