Jae membuka pintu apart-nya. Sepi langsung menerpa, entah kenapa ia bisa merasakannya. Tumben sekali, pikirnya. Padahal Jae hari ini pulang lebih awal, Karina-nya masih diluar kota.
Ia mengecek meja makan, kosong.
Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kemana kurcaci itu pergi, disaat hujan deras seperti ini?
Tiba-tiba ia teringat kejadian kertas musik itu. Jae tidak bisa mengelak bahwa ia merasa menyesal membentak Nataya seperti itu hanya karena kertas musik. Tapi jika di telaah lagi, amarah Jae bukan karena kertas musik.
Ia sebenarnya panik saat melihat benda itu tidak ada di tempatnya. Awalnya ia mengira benda itu hilang, ia tidak akan memaafkan Nataya jika itu terjadi, untungnya hanya tergeletak di bawah meja. Sepertinya terjatuh saat Nataya membereskan kertas musik.
Suara perutnya menyadarkannya. Sial, ia lapar sekali. Setelah menimbang-nimbang, Jae memutuskan membeli makanan cepat saji di aplikasi online. Persetan dengan hujan deras, cacing di perutnya sudah meronta minta makan.
Baru saja ia akan memesan, Nat datang dengan basah kuyup.
***
"Hachim" Nat membuang bersinnya, agar tidak masuk ke masakan yang sedang ia masak.Positif flu.
Jae melihat itu dari meja makan sambil mengernyitkan dahi. Ia risih sekali melihatnya, dalam 5 sampai 10 detik sekali pasti Nat akan bersin. Jae bangkit, mengambil sesuatu.
Nataya bersin untuk yang kesekian kalinya, hidungnya semerah tomat. Jae tiba-tiba menariknya, dan dengan cepat menautkan masker bergambar babi.
"Pake. Gue gamau makanan gue kena virus dari lo."
Nataya sempat bingung, tapi dibalik maskernya yang bergambar babi, ada senyum yang tidak bisa ia tahan. Nataya melanjutkan kegiatannya dengan lebih semangat.
***
Nataya bersin untuk yang kesekian kalinya, ia memegang tumpukan selimut di tangannya—untuk tidur di sofa. Nat duduk sejenak di kasur, kepalanya terasa berputar. Flu nya semakin parah, ia bahkan tidak kuat mengambil obat flu di kotak P3K.Tiba-tiba Jae masuk, meletakkan sesuatu di hadapan Nat, lalu membawa bantal dan selimutnya keluar kamar.
Obat flu. Jae membawakannya obat flu. Tanpa sadar nampak lengkungan di wajah Nat. Kesambet apa suaminya? Nat ingin sakit saja kalau begini perlakuan Jae padanya. Pria jangkung itu mampu membuat jantung Nat berdegup cepat, dengan hal kecil seperti itu.
Paginya, Nataya bangun, diatas tempat tidur. Sepertinya ia ketiduran setelah meminum obat flu. Flunya terasa lebih baik, walau tak sepenuhnya baik.
Nat menyusuri seluruh rumah, Jae sepertinya telah berangkat ke kantor. Nataya tiba-tiba menyentuh dahinya, kering.
Cuma mimpi. Mana mungkin Jae melakukan itu? Ia berani memberi Flo bonus besar jika Jae melakukan itu, pikir Nat
Semalam, Nat bermimpi Jae mengompres dahinya. Mengingat dahinya ternyata tidak basah, dan itu artinya cuma mimpi.
"Loh kalo tadi malem gue tidur di kasur, berarti..." Nat berlari kecil ke kamar. Kemudian menghela napas lega (sekaligus kecewa), bantal dan selimut Jae tidak ada, artinya Jae tidak tidur bersama Nat di kasur tadi malam.
Tidak salah lagi, Jae tidur di studionya tadi malam.
Nat berencana mengambil bantal dan selimut Jae setelah ia sarapan. Nat membuat sereal sebagai sarapan, saat sedang asyik menyantap serealnya, ponsel Nat berbunyi.
Raffael.
"Halo?"
"Flu sih, tapi ga parah kok." Raffael menanyakan keadaannya. Pertemuannya dengan Raffael kemarin memang berjalan cukup lancar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] karet dua • parkjae
Fanfiction[CEO6 Series #1] CEO tinggi, putih, badannya segaris, suka gitar, tapi mulutnya ber-karet dua, ya cuma dia. "Jaeeee, suapin." "Tangan lo lumpuh?" ©dapiyoo, 2019