Hari ini, Raffael mengajaknya ke suatu tempat. Nataya menyetujui karena ia juga punya tujuan lain.
"Jadi, kamu bukan temennya Brian Djatta?"
"Bukan. Yang ngerekomendasiin florist kamu temen saya, Brian Pradipta."
Nataya membentuk huruf O dengan mulutnya. Siapa sangka? Selama ini ia sudah berburuk sangka pada Brian.
Mereka berjalan beriringan, masing-masing sibuk dengan pikirannya. Raffael sibuk memikirkan bagaimana cara mengungkapkan perasaannya pada Nat, ia rasa ini sudah saatnya dan Raffael tidak bisa bersabar lagi.
Sedangkan Nat, ia sibuk memikirkan bagaimana cara mengungkapkan perasaannya pada Raffael, ia harus cepat mengatakan ini sebelum terlambat.
"Nat,"
"Raf,"
Mereka berdua terhenti, terkekeh bersama.
"Kamu dulu," Raffael mempersilahkan Nat. Tangannya di dalam saku jaketnya basah akibat gugup, sesekali ia memainkan benda kecil yang sedari tadi digenggamnya. Setelah Nat selesai dengan perkataannya, Raffael akan langsung memberikan benda ini.
"Saya suka kamu..." Nat memulai perkataannya dengan tertunduk. Raffael yang mendengar 3 kata itu tidak bisa menahan senyumnya,
"Saya suka kamu, Raf. Kamu temen yang baik." Senyum Raffael luntur, ia berhenti memainkan cincin di dalam kantong jaketnya.
"Tapi saya udah punya suami. Saya udah terikat, dan selamanya saya akan mencintai dia. Saya harap kamu ngerti, karena kita sudah agak melebihi batas. Tenang aja, saya masih tetap temen kamu. Kita cuma harus tetap dalam batasan berteman."
Raffael memalingkan wajah, menyembunyikan kekecewaannya. Cincin dalam saku jaketnya, sudah digenggamnya erat-erat.
"Tadi kamu mau ngomong apa?" Nataya akhirnya mendongak menatap Raffael.
Raffael berdeham, menggeleng, "Saya anter kamu pulang, ya?"
"Gausah, gapapa, saya mau balik ke florist dulu, ada barang yang ketinggalan. Saya duluan ya, thank you, Raf."
Raffael yang masih menggenggam cincin, menatap kepergian Nataya. Kemudian berkata lirih, "Love you, Nat."
Ia mengeluarkan cincin yang indah itu dari sakunya, senyum getir terukir di wajahnya,
"Sekarang, cincin ini untuk siapa?"
***
Beban yang sedari tadi hinggap di bahu Nataya berangsur-angsur mulai hilang. Tapi tetap saja, ia buru-buru pergi dari hadapan Raffael karena tidak tahan melihat raut yang terpancar dari wajah Raffael.Lebih baik cepat lebih baik, Nataya menatap jalanan lewat jendela taksi yang akan membawanya ke florist.
Sesampainya di florist, Nat melongo tidak percaya. Ia menatap bangunan indah dan asri hasil kerja kerasnya selama ini yang kini sudah berubah menjadi bangunan hangus dan porak-poranda,
Floristnya terbakar,
Nat bingung, ia benar-benar syok. Ia melihat Jae dengan penampilan kacau sedang berbincang serius dengan petugas pemadam kebakaran.
"J-jae..."
Jae menoleh, ia terkejut melihat Nat ada disini. Dengan langkah lebar, ia menghampiri Nat untuk memeluknya.
Dan didalam pelukan Jae lah, tangis Nataya tumpah. Walaupun ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi melihat bangunan kesayangannya hangus terbakar api, ia tidak bisa tidak menangis.
Jae mendekap Nat dengan erat, berharap pelukannya mampu meredakan tangisnya. Jae hancur melihat Nat hancur, ia bahkan harus memegangi Nat agar tidak terjatuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] karet dua • parkjae
Fanfiction[CEO6 Series #1] CEO tinggi, putih, badannya segaris, suka gitar, tapi mulutnya ber-karet dua, ya cuma dia. "Jaeeee, suapin." "Tangan lo lumpuh?" ©dapiyoo, 2019