"Ko Yoongi."
Yoongi berdiri begitu namanya disebut. Dengan gugup ia melangkah ke depan kelas, mengulurkan tangannya dengan sopan untuk meminta secarik kertas hasil penilaian harian yang diadakan beberapa waktu lalu.
Saat itu juga jantung Yoongi berpacu lebih cepat. Matanya menatap kosong lembar berisi coretan tinta yang membentuk angka delapan dengan tujuh yang bersanding.
"Tidak biasanya kau mendapat nilai di bawah sembilan, Yoongi."
Ucapan gurunya menambah takut yang ia rasa. Benar, ada apa dengan dirinya? Tidak biasanya ia mendapat nilai di bawah sembilan, dan tentu saja, ini bukan hal baik untuknya.
.
.
.
"Delapan puluh tujuh?"
Suara dingin sang ayah mengalun. Membuat si bungsu menunduk dengan tangan yang saling meremat kuat.
Delapan puluh tujuh itu buruk. Terlalu rendah dari keinginan sang ayah akan nilai sempurna.
"Berbalik."
Satu kata membuat Yoongi memejamkan matanya erat. Ia berbalik, mengikuti ucapan sang ayah. Yoongi tahu betul, jika Ko Dowoon tidak suka dibantah.
Helaan napas sang ayah dan suara ikat pinggang yang dilepas dari singgasananya membuat tubuh Yoongi berjengit kecil. Ia memejamkan matanya erat, sebab takut luar biasa yang tengah melanda dalam dirinya.
Ia takut, tapi mau memohon pun tidak akan bisa. Ayahnya tidak semudah itu untuk dibujuk.
Tiga kali ikat pinggang diayun hingga menyentuh punggung. Menyalurkan sakit dan ngilu yang terasa hingga ke seluruh tubuh. Dalam diamnya Yoongi mengerang. Bocah itu terlalu takut untuk mengeluarkan suara.
"Mau lagi?" Dowoon bertanya, Yoongi menggeleng ribut. Anak itu menegakkan punggungnya dengan segera. Kepalanya menunduk, bibirnya ia gigit getir.
"Maaf, Abeoji."
"Maka dapatkan nilai sempurna."
Yoongi mengangguk.
"Pergi ke kamarmu."
Sang ayah berucap sembari melempar kertas ulangan yang telah ia remat hingga serupa bola. Setelahnya ia pergi dari hadapan Yoongi. Meninggalkan si bungsu dengan erangan sakit yang terus ia tahan.
Ko Doowon mengusap wajahnya kasar. Ada rasa kecewa besar di dalam hatinya. Ia hanya meminta nilai sempurna, sesulit itu, kah?
.
.
.
Yoongi menatap kertas yang telah berubah lusuh itu. Delapan puluh tujuh nilai yang tertera di sana.
Napasnya ia embus kasar. Lembar penilaian harian itu ia simpan dalam map biru.
Delapan puluh tujuh bukan nilai yang buruk. Ia tidak perlu mendapat nilai di atas sembilan ataupun nilai sempurna untuk selamanya, gurunya berkata seperti itu. Tapi ayahnya ...
Kata-kata seperti itu layaknya khayal bagi dirinya.
Ia mengacaukan semuanya. Pengharapan sang ayah, juga dirinya sendiri.
Helaan napas itu terdengar lagi. Seberapa pun giatnya ia belajar, seberapa pun ia mencoba, Yoongi tidak akan pernah bisa menjadi seperti Seokjin, atau bahkan berjalan beriringan dengan kakaknya.
Kakaknya yang selalu mendapat nilai sempurna, kakaknya yang punya tempat di hati sang ayah. Yoongi rasa, semua hanya fantasi untuknya.
Kembali pada selembar kertas itu, Yoongi tahu ini salahnya. Salah dirinya tak tak bisa mengerjakan dengan fokus. Yoongi mengutuk dirinya yang sedikit mengantuk saat itu. Jika saja Yoongi bisa mengalahkan kantuk, angka sembilan pasti sampai di tangannya.
Yoongi berbaring di kasur dengan sedikit bersusah payah. Perih di punggungnya sangat mengganggu. Yoongi ingin mengusirnya, sejauh mungkin. Tapi ia tak bisa. Dan hal itu membuat Yoongi membuang napas kasar. Kurang lebih dua hari ia harus menunggu agar rasa sakit di punggungnya menghilang.
Bayangkan saja!
Ia harus menahan perih saat punggungnya terguyur air mandi.
.
.
.
"Di mana Yoongi?" Dowoon bertanya pada salah satu pekerja di rumah.
"Tuan muda ada di kamar, Tuan ...." Im Ahjumma--nama pekerja itu--menjawab sopan. Dowoon mengangguk, ia melangkahkan kakinya menaiki anak tangga penghubung dua lantai.
Dowoon masuk ke kamar si bungsu tanpa mengetuk pintu, dan tentu saja, kedatangannya yang tiba-tiba membuat Yoongi menoleh.
"Abeoji?"
Yoongi bergumam heran. Secara spontan ia menghentikan acara menulisnya dan menyimpan buku bersampul coklat tua di rak buku, agar berbaur dengan sesamanya.
"Sedang apa?"
Yoongi tersentak barang sebentar. Maniknya bergulir gugup.
"A-aku ... belajar," jawabnya, lirih.
Dowoon berjalan mendekat. Menatap punggung anak bungsunya dengan tatapan yang tak bisa diurai.
"Punggungmu sakit?" tanyanya. Pertanyaan tiba-tiba yang tidak pernah Yoongi sangka akan keluar dari mulut sang ayah.
"T-tidak," jawabnya seraya menggeleng kecil. Tentu ia berbohong. Bekas cambukan tadi masih merah dan perih.
Doowon mengangguk angkuh. Ia tepuk punggung si bungsu, membuat Yoongi meringis tertahan saat perih kembali terasa.
"Setelah ini kau akan dapat nilai sempurna, 'kan?" tanyanya. Yoongi mengangguk cepat. Kalimat itu tidak terdengar seperti pertanyaan baginya, melainkan sebuah perintah.
"Iya ...."
"Bagus."
Sepeninggal sang ayah Yoongi menunduk, menyembunyikan senyum kecil yang membuat tulang pipinya sedikit terangkat. 'Bagus', kata itu mungkin adalah pujian tertinggi yang pernah Yoongi dapat.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY | Brothership ✔
FanfictionDisclaimer: fanfiction | Brothership - Completed Ko Yoongi .... Semua ia lakukan hanya untuk mendapat setitik kasih sayang dari sang Ayah. [03-10-19]-[30-12-19]