Seokjin diam mematung. Duduk di kursi panjang depan ruang gawat darurat dengan mata basah yang menatap kosong ubin keramik. Semua teringat dengan jelas dalam kepalanya. Saat ambulans datang, lalu sang ayah memintanya agar ikut masuk ke dalam mobil ambulans. Saat itu, Seokjin hanya bisa menurut.
"Ini reaksi alergi. Apa yang adikmu makan terakhir kali, Nak?"
Seokjin mematung. Alergi? Adiknya punya alergi?
"Nak?"
"Kami ... t-tadi kami makan makanan laut bersama," lirihnya.
Petugas kesehatan itu mengangguk paham. Ia bergerak cepat, mengambil sebotol cairan adrenalin untuk segera disuntikkan.
"T-tunggu!" Seokjin menyela, "Adikku punya gangguan ginjal. Dengan suntikkan itu, apa ia akan baik-baik saja?" tanyanya.
Si petugas kesehatan itu tersenyum tipis. Dari informasi yang diberikan oleh Seokjin, ia kurangi dosis adrenalin dalam suntikan.
"Terima kasih sudah memberitahu kami informasi penting itu. Sekarang, Adikmu akan baik-baik saja," ujarnya menenangkan.
Nyatanya, perkataan perawat itu belum bisa membuat Seokjin merasa tenang, karena sampai saat ini, kalimat baik-baik saja itu masih menjadi harapan Seokjin. Ia benar-benar berharap, adiknya akan baik-baik saja, seperti yang dikatakan petugas kesehatan dalam ambulans.
Omong-omong, sudah cukup lama ia dan sang ayah menunggu di depan ruang gawat darurat dengan rasa takut bercampur resah yang membuat keduanya merasa tidak tenang, hingga pintu ruang gawat darurat dibuka dan seorang dokter keluar untuk menemui keduanya.
"Bagaimana, Eusia-nim?" Ko Dowoon, lelaki paruh baya itu berharap cemas.
"Reaksi alerginya memicu syok anafilaktik. Namun, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi tentang hal itu," jelas sang Dokter dan seketika, Seokjin dan sang Ayah dapat merasa berat di dadanya menghilang. Keduanya dapat bernapas lega, hingga Dokter di hadapan melanjutkan perkataannya.
"Yang menjadi perhatian kami saat ini adalah kondisi ginjal tunggal Pasien yang fungsinya terus menurun. Kerusakannya sudah parah, ditambah Pasien hanya memiliki ginjal tunggal. Hal itu membuat fungsi ginjal tidak berjalan dengan semestinya," lanjut Dokter itu, Dokter Yo.
Saat itulah Ko Dowoon kembali merasakan berat pada tubuhnya. Tiba-tiba saja, dirinya seperti kehilangan pijakan, lengkap dengan gelenyar aneh yang terasa di dadanya.
"Apa yang bisa saya lakukan?" lirihnya.
Sang dokter tersenyum singkat. "Pilihannya hanya di antara dua: cuci darah secara rutin, atau mendapatkan ginjal pengganti yang sesuai," jelasnya.
"Lalu, a-apa aku bisa melihat adikku?" Seokjin bertanya. Lelaki dengan mata merah menahan tangis itu menatap Dokter Yo dengan penuh harap.
Namun, tatapan harapnya dibalas dengan gelengan kecil.
"Pasien saat ini berada dalam kondisi yang rawan. Kami akan lakukan monitoring dan perawatan intensif hingga kondisinya berangsur membaik. Setelahnya, Pasien baru dapat dijenguk," tandas sang dokter.
Seokjin menunduk. Kali ini, tangis lelaki itu tidak lagi bisa dibendung. Tangisannya terdengar lirih, tapi menyimpan banyak rasa sakit. Hingga-hingga, sang ayah yang berada di sampingnya tidak bisa berbuat apa pun untuk menenangkannya.
.
.
.
Pintu dari ruangan yang telah lama tak dihuni itu dibuka. Seseorang masuk ke dalam ruangan itu. Seorang lelaki berwibawa yang kali ini nampak kelabu. Ia--lelaki itu--menatap setiap sudut ruangan yang tidak mengalami banyak perubahan dari terakhir kali ia memasuki kamar ini.
Lelaki itu menatap sekeliling, hingga matanya mulai berembun. Entah mengapa dirinya merasa sangat lemah beberapa hari ini. Dadanya luar biasa sakit, dihantam oleh rasa bersalah yang begitu besarnya.
Atensinya terpaku pada meja belajar yang terletak di sudut. Senyum miris terlukis di wajahnya, ketika mengingat kelakuannya yang jauh dari kata pantas.
Ia ... telah gagal menjadi seorang ayah untuk bungsunya.
Dowoon melangkahkan kakinya, beralih mendudukkan diri di kursi belajar putra bungsunya.
Tangannya terulur meraba satu-persatu buku yang masih tertata rapi. Sama sekali tak berpindah tempat sejak sang pemilik meninggalkan ruangan ini berhari-hari lamanya.
Dari banyaknya buku yang tertata rapi di meja belajar, sebuah buku bersampul cokelat tua berhasil menarik perhatiannya. Tanpa kata, ia raih buku tersebut, lalu membuka sampul tebal yang menyembunyikan isi buku.
Ini adalah ... catatan harian.
Buku itu berisi catatan harian bungsunya. Tertulis di sana keluh kesahnya yang tidak pernah Dowoon ketahui. Sebab barangkali, buku itu adalah satu-satunya tempat di mana Yoongi bisa menuangkan ceritanya tanpa kepalsuan dan melampiaskan seluruh rasa sakitnya yang tidak terkira.
Cukup lama, hingga kata perkata, kalimat, dan paragraf habis dibaca oleh Ko Dowoon, dan tanpa sadar, kini hanya halaman terakhir yang tersisa. Air mata yang telah jatuh begitu banyak dari pelupuk kini kembali tumpah menetesi lembar terakhir catatan harian malaikat bungsunya.
Tulisan di lembar terakhir itu berhasil membuatnya merasa teramat sesak. Rasanya, seperti sebuah palu besar menghantam dadanya. Membuahkan sakit dan sesak yang luar biasa hebat.
Lama ia pandangi halaman terakhir catatan harian bungsunya, hingga ia merasa lebih tenang. Lantas, ia kembalikan buku cokelat tua itu pada tempatnya, sebelum keluar dari ruangan yang membuatnya serasa dijatuhkan dari tebing tertinggi.
"Tuhan ... satu permintaan untukku, bolehkah? Setelah ini Yoongi berjanji tidak akan meminta lagi. Yoongi hanya ingin merasakan bagaimana rasanya pelukan Abeoji. Itu saja. Seokjin Hyung bilang, pelukan Abeoji itu hangat dan menyenangkan. Yoongi ... juga ingin," bunyi tulisan di lembar terakhir catatan harian bungsunya.
Sebuah permintaan sederhana yang membuat kelopak mata lelaki paruh baya itu digenangi oleh air mata.
Satu saja, berikan kesempatan untukku untuk meminta maaf, berikan satu kesempatan untukku merengkuhnya. Membawanya dalam pelukan hangat seperti apa yang ia tulis di lembar terakhir dalam catatan hariannya ....
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY | Brothership ✔
FanfictionDisclaimer: fanfiction | Brothership - Completed Ko Yoongi .... Semua ia lakukan hanya untuk mendapat setitik kasih sayang dari sang Ayah. [03-10-19]-[30-12-19]